KEKABURAN MAKNA PADA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DALAM PERSPEKTIF SIYASAH DUSTURIYAH

KEKABURAN MAKNA PADA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DALAM PERSPEKTIF SIYASAH DUSTURIYAH

SKRIPSI

Ditulis Sebagai Syarat Untuk Memperolah Gelar Sarjana Hukum (SH) Jurusan Hukum Tata Negara

Oleh: HIBATUL WAFI NIM. 1630203026

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BATUSANGKAR

2020


BIODATA PENULIS

 Nama Tempat/Tanggal Lahir Alamat

E-mail

Nama Orang Tua

- Ayah

- Ibu Jumlah Saudara

Anak Ke Motto Hidup

: Hibatul Wafi

: Batusangkar, 05 Mei 1997

: Jorong Ranah Jaya, Nagari Koto Gadang, Kecamatan

Koto Besar, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi

Sumatera Barat

: hibatulwafi551997@gmail.com

: Nasvialdi

: Elmawati

: 4 (Empat) Bersaudara

: 1 (Satu)

: “Peluang itu suatu hal yang harus diciptakan, bukan

hal yang harus ditunggu”


Riwayat Pendidikan

1. SDN 09 Koto Besar Pada Tahun 2004-2009

2. SMPN 02 Koto Besar Pada Tahun 2009-2013

3. SMAN 02 Sungai Tarab Pada Tahun 2013-2016

4. S1 IAIN Batusangkar Pada Tahun 2016-2020

Riwayat Organisasi

1. Keanggotaan UKM Olahraga 2016

2. Keanggotaan UKM SMART 2016

3. Pengurus HMJ Hukum Tata Negara 2018

4. Bendahara SEMA Fakultas Syari‟ah 2020.


KATA PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, yang telah membantu hamba untuk menyelesaikan skripsi ini. Segala syukur saya ucapkan kepada-Mu Ya Allah karena telah menghadirkan mereka yang selalu memberikan semangat dan doa disaat saya tertatih. Karena-Mu lah skripsi ini terselesaikan. Hanya pada-Mu tempat saya mengadu dan hanya kepadaMu lah saya mengucapkan syukur.

Terimakasih kepada kedua orang tua saya Ayah (Nasvialdi) dan Ibu (Elmawati). Ayah terimakasih untuk doa dan dukungan yang telah ayah berikan korbankan untuk membahagiakan putramu ini, setiap peluh keringatmu untuk menafkahi keluarga semoga diberikan balasan oleh Allah SWT dan semoga selalu dijauhi dari siksa api neraka-Nya, teruntuk Ibu terimakasih telah menjadi malaikat di dalam hidup saya, terimakasih telah mendengarkan keluh kesah saya dan terimakasih juga telah bersabar menghadapi tingkah laku saya, saya persembahkan sebuah karya kecil ini untuk Ayah dan Ibu tercinta. Gelar Sarjana Hukum (SH) ini saya persembahkan untuk mengobati rasa lelahmu Ayah dan Ibu tersayang.

Dan terimakasih juga saya ucapkan kepada adik-adik kecil saya (Salsa Salsabila, Khairunnisa, Abdul Raziq) dengan hadirnya mereka menjadikan saya selalu termotivasi untuk menjadi lebih baik lagi dengan tujuan agar saya dapat menjadi contoh yang baik bagi diri mereka. Dan berharap kelak mereka juga bisa menjadi yang terbaik dan dapat membaggakan kedua orang tua. Untuk kakek dan nenek

 

serta seluruh sanak saudara. Saya juga mengucapkan terimakasih karna telah menjadi bagian dari perjalanan hidup saya, memberikan saya semangat dan motivasi agar menjadi diri yang jauh lebih baik.

Terimakasih juga untuk teman-teman seperjuangan HTN’ 16 A yang sudah saya anggap sebagai keluarga selama menyelesaikan proses perkuliahan ini. Semoga kita semua menjadi orang-orang besar yang kemudian memiliki hati yang besar. Dan terkhusus kepada keluarga besar Kerajaan Sultan Keraton (Indra, Ilham, Aldi, Riko, Ade, David, Arif, Juan dan Yulia).

Terimakasih juga untuk teman-teman organisasi HMJ HTN, SEMA Fakultas Syari’ah, KKN A 23 A (Andre, Nurul, Widya, Cindy, Fina, Lili, Yanti) telah menjadi keluarga untuk bertukar fikiran dan pengalaman selama empat tahun ini.

Terimakasih juga untuk teman-teman Varian Band (Iboy, Gapi, Abdi, David, Bahrul) telah menjadi keluarga untuk penyaluran hobiku, dan sebagai tempat pelipur laraku.

Keluarga Besar Kos Panukuik (Bang Iqbal, Bang Akil, Bang Roma, Bang Ahda, Al, Megi, Fadlan, Rio, Arif, Nanda, Uki) sudah menjadi keluarga serta saudara di tempat perantauan.

Terimakasih juga kepada Selva Himalaya, S.H., yang sudah sangat membantu dalam hal memotivasi, menyemangati, menghibur, mengingatkan untuk selalu kegiatan yang dilakukan, menemani di setiap perjuangan dalam menyelesaikan karya kecil ini, sukses perkuliahan sukses wisuda.

Kata persembahan ini tak lebih tak kurang hanya untuk mengaturkan perasaan syukur saya kepada Allah SWT dan seluruh pihak yang telah membantu yang tak


mungkin saya sebutkan satu-persatu dan orang-orang yang selalu mengirimkan doa, semoga doa yang baik dikabulkan kemudian dikembalikan kepada orang-orang baik yang mendoakan, Terimakasih semuanya.

By : Hibatul Wafi


 i


 ii


 iii


KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat dan karunia Allah SWT yang telah mengizinkan penulis untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Sebuah karya yang berisikan sebuah penelitian kualitatif tentang yang melatar belakangi kekaburan makna pada Peraturan Daerah Tanah Datar yang penulis beri judul “Kekaburan Makna Pada Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Dalam Perspektif Siyasah Dusturiyah”.

Dalam penyelesaian skripsi ini, tidak lupa pula ucapan terima kasih dari berbagai pihak berkat bantuan, bimbingan, dorongan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis sampai pada sejauh ini. Maka izinkan penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih kepada:

1. Rektor IAIN Batusangkar Bapak Dr. Kasmuri, M.A., beserta wakil rektor IAIN

Batusangkar.

2. Bapak Dr. H. Zainuddin, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah sekaligus sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi dan dorongan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan skripsi ini.

3. Ibunda Dr. Farida Arianti, MA., selaku Ketua Jurusan Hukum Tata Negara, beserta staff Jurusan Hukum Tata yang telah banyak memberikan dorongan dan fasilitas belajar kepada penulis selama mengikuti pendidikan dan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.

4. Ibunda Dr. Elsy Renie, M.Ag., selaku Pembimbing Utama, yang telah membimbing dan mengarahkan dengan penuh kesabaran, kasih sayang dan

 iv


kebijaksanaannya, meluangkan waktu, memberikan nasehat serta saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini

5. Ibunda Dra. Irma Suryani, M.H., selaku reviewer yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penyempurnaan skripsi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

6. Bapak dan Ibu dosen yang banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menuntut ilmu di Institut Agama Islam Negeri Batusangkar sehingga memperluas cakrawala keilmuan penulis.

7. Kepala Perpustakaan IAIN Batusangkar beserta staff Perpustakaan IAIN Batusangkar.

8. Kepada Semua teman-teman seperjuangan Jurusan Hukum Tata Negara angkatan “16” yang telah memberikan semangat dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. Terkhususnya seluruh Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

Penulis berdoa semoga segala bantuan dan pertolongan yang diberikan dapat

menjadi amal ibadah di sisi Allah SWT dan dibalasi dengan pahala yang berlipat ganda. Amin ya Rabbal‟alamin Penulis mohon maaf, jika dalam skripsi ini terdapat kekhilafan dan kekeliruan, baik teknis maupun isinya. Kritik yang konstruktif dan sehat sangat penulis harapkan demi sempurnanya skripsi ini.

Batusangkar, 6 Juli 2020 Penulis,

Hibatul Wafi NIM. 1630203026

  v


ABSTRAK

Hibatul Wafi. NIM 1630203026. Judul Skripsi: “Kekaburan Makna Pada Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Dalam Perspektif Siyasah Dusturiyah”. Jurusan Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar tahun akademik 2020.

Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi fokus penelitian adalah bagaimana kekaburan makna pada Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah. Tujuan dalam penulisan ini adalah untuk menjelaskan, menganalisis apakah kekaburan makna terjadi pada pasal 43 ayat 1, pasal 44 ayat 1, pasal 65 ayat 4 huruf h Kekaburan Makna Pada Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah dan untuk mengetahui bagaimana tinjauan pasal 43 ayat 1, pasal 44 ayat 1, pasal 65 ayat 4 huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Dalam Perspektif Siyasah Dusturiyah terhadap Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik dalam tinjauan Siyasah Dusturiah.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (library research). Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif teori yang dipakai adalah teori Perundang-Undangan, Kepastian Hukum dan Siyasah Dusturiyah.

Dari hasil penelitian yang penulis lakukan ini dapat disimpulkan bahwa, kekaburan makna terjadi pada pasal 43 ayat 1, pasal 44 ayat 1, pasal 65 ayat 4 huruf h Kekaburan Makna Pada Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah dan Pasal 43 ayat 1, pasal 44 ayat 1, pasal 65 ayat 4 huruf h pasal 43 ayat 1, pasal 44 ayat 1, pasal 65 ayat 4 huruf h Kekaburan Makna Pada Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar

vi


Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah mencerminkan sistem Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik dalam kajian Siyasah Dusturiyah.

Kata Kunci: Undang-Undang, Kekaburan Makna, dan Siyasah Dusturiyah.

vii


DAFTAR ISI

LEMBAR BIODATA

LEMBAR PERSEMBAHAN

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................ i LEMBAR PENGESAHAN TIM PENGUJI.............................................................ii LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................iii KATA PENGANTAR................................................................................................iv ABSTRAK .................................................................................................................. vi DAFTAR ISI.............................................................................................................viii BAB I PENDAHULUAN

A. LatarBelakangMasalah....................................................................................1

B. Fokus Penelitian ................................................................................................ 8

C. Rumusan Masalah ............................................................................................. 9

D. Tujuan Penelitian .............................................................................................. 9

E. Manfaat dan Luaran Penelitian ....................................................................... 10

F. Luaran Penelitian ............................................................................................ 11

G. DefinisiOperasional........................................................................................11

BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori .................................................................................................... 13

1. Teori Perundang-Undangan........................................................................ 13

a. Undang-Undang dan Perundang-Undangan ....................................... 13

b. Fungsi Undang-Undang dan Perundang-Undangan............................ 15

c. Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan................................... 16

2. Teori Kepastian Hukum.............................................................................. 18

viii


B.

a. Hukum................................................................................................. 18

b. Nilai Hukum........................................................................................ 19

c. Kepastian Dasar Hukum ..................................................................... 22

3. Teori Siyasah Dusturiyah ........................................................................... 26

a. Fiqh Siyasah Dusturiyah....................................................................... 26

b. Sumber Hukum Siyasah Dusturiyah..................................................... 27

c. Lesgislasi Siyasah Dusturiyah (Al-Sulthah Al-Tasyri‟iyah) ................ 29

4. Teori Kaidah Ushul Fiqh ............................................................................ 32

a. Urgensi Qaidah Ushul Fiqh................................................................. 32

b. Pengaruh Kaidah Ushul Fiqh Dalam Pembentukan Hukum............... 34

Penelitian Yang Relevan ................................................................................. 35

a. Skripsi Moment Afrialdi, S.H............................................................... 35

b. Skripsi Randez Noviarman ................................................................... 36

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian................................................................................................ 37

B. Latar dan Waktu Penelitian ............................................................................. 37

C. Instrumen Penelitian........................................................................................ 38

D. Sumber Data .................................................................................................... 38

E. Teknik Pengumpulan Data .............................................................................. 39

F. Teknik Analisis Data....................................................................................... 40

G. Teknik Penjamin Keabsahan Data .................................................................. 40

ix


BAB IV TEMUAN PENELITIAN

A. Kekaburan makna terjadi pada pasal 43 ayat 1, pasal 44 ayat 1, pasal 65 ayat 4 huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah ............................................................................................................. 41

B. Tinjauan pasal 43 ayat 1, pasal 44 ayat 1, pasal 65 ayat 4 huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah ..................... 52

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan.....................................................................................................61

B. Saran................................................................................................................62

DAFTAR KEPUSTAKAAN LAMPIRAN

x


A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN

Al-Qur‟an, As-Sunnah, Und‏ang-Undang‏Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Peraturan Perundang-Undangan meru‏pakan landasan yang prinsipil dan wajib diamalkan oleh setiap warga negara. Untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan disegala bidang kehidupan, khususnya bidang hukum dilaksanakan oleh unsur pemerintah, umat Islam pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya wajib mengikuti petunjuk Tuhan Yang Maha Esa, karena kita semua wajib mengikuti perintah Allah SWT dan Rasul-Nya serta pemerintah (Peraturan Perundang-undangan).

Perintah ini disebutkan dalam surat An-Nisa‟ ayat (59) sebagai berikut: ‏‏‏‏‏‏‏‏‏‏‏‏‏

‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏‏‏‏‏‏

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisa’ ayat 59)

1

Ayat ini memerintahkan kita untuk taat kepada Allah SWT, taat kepada Rasulullah dan taat kepada penguasa. Oleh karena itu, kita wajib mengamalkan peraturan Allah, peraturan Rasul-Nya dan peraturan yang dibuat oleh pemimpin atau penguasa, dalam hal ini pemerintah berupa Peraturan Perundang-Undangan atau Qanun, baik yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun yang dibuat oleh pemerintah daerah. (Afrialdi, 2018: 1)

Sebagai negara yang berlandaskan yuridis pada Undang-Undang Dasar 1945, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan kebangsaan dan keanekaragaman termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan hukum. Sebelumnya, landasan negara hukum Indonesia ditemukan dalam bagian Penjelasan Umum UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara, yaitu sebagai berikut:

1. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat). Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).

2. Sistem Konstitusional yaitu Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

Berdasarkan perumusan di atas, negara Indonesia memakai sistem Rechsstaat. Konsepsi negara hukum Indonesia dapat dimasukkan negara hukum yang dapat dilihat pada Pembukaan UUD 1945 Alenia IV. Dimasukkannya ketentuan Indonesia sebagai negara hukum ke dalam bagian pasal UUD 1945 menunjukkan semakin kuatnya dasar hukum serta menjadi amanat negara, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi segala bentuk Peraturan Perundang-Undangan. (Ni‟matul, 2010:36)

Undang-Undang adalah suatu produk hukum yang berfungsi sebagai sumber rujukan peraturan hidup di dalam bermasyarakat dan bernegara yang memiliki sifat mengarahkan, mencegah, mengekang, dan memaksa dalam penerapannya. (Syarifin dan Jubaedah, 2012:17)

2


Undang-Undang dapat dilihat dari dua sudut pandang, pertama yaitu Undang-Undang dalam artian formil yaitu keputusan (beslissing) yang dimuat secara tertulis dan diadakan oleh badan kenegaraan yang pada saat ini badan kenegaraan yang dimaksud adalah Presiden bersama DPR, dan yang ke dua Undang-Undang dalam artian materil yaitu suatu peraturan tertulis yang memiliki kekuatan hukum dan diciptakan oleh pihak yang berwenang, baik pihak pusat maupun pihak daerah yang sah. (Purbacaraka, 1993:3)

Penjelasan Peraturan Perundangan-Undangan dapat ditemukan di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan Pasal 1 Ayat 2 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undang “Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan”. (UU No15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan).

Perundang-Undangan atau dikenal juga dengan istilah legislation, gesetzgebung memiliki perbedaan defenisi masing-masingnya, dalam beberapa sumber mempunyai dua penjelasan yang berbeda. Menurut Kamus Hukum, peristilahan legislation bisa didefenisikan dengan Perundang-Undangan dan pembuatan Undang-undang, dan keseluruhan dari Perundang-Undang negara, sementara istilah gesetzebung dispahami dengan pengertian Perundang- Undangan. (Hamzah, 2005:272)

Dalam pembentukan Hukum Nasional dikenal ada tiga fungsi utama Perundang-Undangan, pertama untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang senantiasa berkembang, kedua untuk menjembatani lingkungan hukum adat dengan hukum

3


yang tertulis lainya, ketiga untuk memenuhi kebutuhan kepastian hukum tidak tertulis bagi masyarakat. (Syamsuddin, 2015:19)

Dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dikenal rangkaian proses yang mencakup tahapan-tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Rangkaian tahapan tersebut diatur di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kendati tidak seluruh macam Peraturan Perundang- Undangan melalui proses yang sama disetiap langkah perancangannya. Setiap macam Peraturan Perundang-Undangan mempunyai materi muatan yang tidak sama, dan masing-masingnya memiliki peranan tertentu. (Fadil, 2018:68)

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik dan benar, haruslah merujuk kepada landasan pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, yang di dalamnya harus memuat landasan yuridis. Setiap produk hukum, harus mempunyai dasar berlaku secara yuridis. Dasar yuridis ini sangat penting dalam pembuatan peraturan Perundang-undangan (termasuk Peraturan Derah), yang akan menunjukan keharusan adanya kewenangan dari pembuat produk-produk hukum. Setiap produk-produk hukum harus dibuat oleh pejabat yang berwenang. Kalau tidak, produk-produk hukum itu batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal demi hukum, keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis produk-produk hukum dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan Perundang-Undangan yang tingkatannya lebih tinggi atau sederajat. Ketidak sesuaian bentuk atau jenis dapat menjadi alasan untuk membatalkan atau dapat dibatalkan (vernietigbaar) produk hukum tersebut, keharusan mengikuti tata cara tertentu, apabila tata cara tertentu tidak diikuti, maka produk-produk hukum tersebut belum mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dapat dibatalkan demi hukum, keharusan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi

4


tingkatanya, Produk-produk hukum yang dibuat untuk umum dapat diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan.

Dengan adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Grundnorm khusunya Pasal 20 Ayat 1 yang menentukan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang, maka untuk itu diperlukan Undang- Undang yang mengatur mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai landasan yuridis dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, dan itu semua telah dimuat di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan.

Dalam Fiqh Siyasah, prinsip pembentukan Peraturan Perundang- Undangan adalah menjamin hak asasi manusia setiap anggota masyarakat dan persamaan kedudukan di mata hukum, tanpa membeda-bedakan strafikasi sosial, kekayaan, pendidikan, agama dengan Peraturan Perundang-Undangangan yang memenuhi asas kepastian hukum.

Demi mencapai hal tersebut sebuah Undang-Undang yang akan dirumuskan harus mempunyai landasan atau pedoman dalam pengundangannya. Dengan landasan dan perujukan yang kuat Undang-Undang tersebut akan memiliki kekuatan pula untuk mengikat dan mengatur masyarakat dalam negara yang bersangkutan. Maka dari itu Perundang-Undangan yang dirumuskan tidak akan bertentangan dengan Perundang-Undangan yang lainnya. (Djazuli, 2004:49)

Sebagai negara yang berdasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan kebangsaan dan keanekaragaman termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan hukum sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 Ayat 3 “Negara Indonesia adalah negara hukum”, hal ini sesuai dengan asas hukum yaitu suatu hukum harus memiliki asas kepastian hukum. (Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945)

5


Banyak dari para ahli hukum telah memberikan pendapatnya terhadap apa yang dimaksud dengan asas hukum. Menurut Satjipto Rahardjo, “asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena asas hukum merupakan dasar lahirnya peraturan hukum”. Menurut Sudikno, “asas hukum merupakan ratio legis-nya peraturan hukum. Asas hukum (rechtsbeginsel) adalah pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit (hukum positif) dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit”. Menurut Roeslan Saleh, “asas hukum merupakan pikiran-pikiran dasar sebagai aturan yang bersifat umum menjadi fondamen sistem hukum”. Menurut Bellefroid, “asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum, jadi asas hukum merupakan pengendapan hukum positif di dalam masyarakat”. Menurut Paul Scholten, “asas hukum adalah kecenderungan- kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada”. Gustaf Radbruch, dalam konsep “Ajaran Prioritas Baku” mengemukakan ada tiga ide dasar hukum atau tiga tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Keadilan merupakan hal yang utama dari ketiga hal itu tetapi tidak berarti dua unsur yang lain dapat dengan serta merta diabaikan. Hukum yang baik adalah hukum yang mampu mensinergikan ketiga unsur tersebut demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.Menurut Radbruch, “kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati”. (Prayogo, 2016:163).

Teori kepastian hukum berasal dari teori Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran postivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai suatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. kepastian

6


hukum itu terwujud oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau pemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian hukum. (Manullang, 2016:14)

Untuk mewujudkan asas kepastian hukum maka perlu dilakukan tatanan yang tertib antara lain di bidang pembentukan peraturan Perundang-Undangan. Tertib pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus dimulai sejak Perencanaan sampai dengan pengesahan Perundang-Undangannya. (Martiah, 2008:13)

Segala bentuk peraturan Pembentukan Perundang-Undangan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, sebagai bentuk diwujudkannya Indonesia sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah memiliki tiga pasal yang berimplikasi multitafsir yaitu, Pertama Pasal 43 Ayat 1 “Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan atau untuk pengusahaan sarang burung walet”, Kedua Pasal 44 Ayat 1 “Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan atau mengusahakan sarang burung walet.”, ketiga Pasal 65 Ayat 4 Huruf h “Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan”.

7


Ketiga pasal di atas menggunakan kata sambung “dan atau” yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Lampiran 1 Nomor 90 “Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan alternatif, ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir”.

Penulis akan mengkaji apakah kekaburan makna terjadi pada Pasal 43 Ayat 1, Pasal 44 Ayat 1, Pasal 65 Ayat 4 huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah.

Bertitik tolak dari permasalahan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna dituangkan dalam skripsi yang berjudul “KEKABURAN MAKNA PADA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DALAM PERSPEKTIF SIYASAH DUSTURIYAH”.

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini hanya terbatas mengenai “Kekaburan Makna Pada Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Dalam Perspektif Siyasah Dusturiyah”.

8


C. Rumusan Masalah

Berdasarkan fokus penelitian yang penulis paparkan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah kekaburan makna terjadi pada Pasal 43 Ayat 1, Pasal 44 Ayat 1,

Pasal 65 Ayat 4 huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah?

2. Bagaimana tinjauan Pasal 43 Ayat 1, Pasal 44 Ayat 1, Pasal 65 Ayat 4 huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah terhadap pembentukan Peraturan Perundang- Undangan yang baik dalam Siyasah Dusturiah?

D. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan:

1. Untuk mengetahui apakah kekaburan makna terjadi Pasal 43 Ayat 1, Pasal 44

Ayat 1, Pasal 65 Ayat 4 huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah.

2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan Pasal 43 Ayat 1, Pasal 44 Ayat 1, Pasal 65 Ayat 4 huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan

9


Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah terhadap Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik dalam tinjauan Siyasah Dusturiah.

E. Manfaat dan Luaran Penulisan

Berdasarkan tujuan penulisan yang penulis paparkan di atas, maka diharapkan akan memberikan manfaat yaitu:

1.

2.

Manfaat Teoritis

a. Memberikan kontribusi bagi pengembangan Ilmu Hukum, khususnya

Hukum Tata Negara/Ilmu Perundang-undangan berkenaan Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan yang baik dan benar.

b. Menjadi referensi bagi penelitilain terkait Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan yang baik dan benar.

Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan menambah wawasan pengetahuan dalam bidang ilmu hukum, terutamanya Hukum Tata Nagara/Ilmu Perundang-undangan berkenaan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik dan benar.

b. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undagan yang baik dan benar.

c. Bagi Pemerintahan Daerah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan (input) yang berguna dalam memberikan pertimbangan untuk pengambilan kebijakan didalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik dan benar.

10


F. LuaranPenelitian

Luaran Skripsi ini diterbitkan pada jurnal/artikel ilmiah Institut Agama Islam Negeri Batusangkar, diarsipkan di Perpustakaan Sekretariat Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Datar, Perpustakaan Sekretariat DPRD Kabupaten Tanah Datar, Perpustakaan Institut Agama Islam Negeri Batusangkar.

G. Defenisi Operasional

Untuk membantu penulis dalam memahami judul, serta menghindari adanya pemahaman yang berbeda dengan maksud penulis. Maka penulis akan menguraikan secara singkat istilah-istilah penting yang penulis gunakan pada judul:

Kekaburan Makna adalah sesuatu yang tidak jelas maknanya atau mendukung makna yang berlainan sehingga memiliki ketidak jelasan dalam kepastian hukumnya atau memiliki penafsiran yang berbeda-beda.

Peraturan Daerah Kabupaten adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten dengan persetujuan bersama Bupati (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Pasal 1 angka 8). Jadi Peraturan Daerah yang dimaksud penulis adalah Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tanah Datar dengan Pesetujuan Bupati Tanah Datar.

Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengertian tersebut

11

   

termuat di dalam Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Nomor 28 Tahun 2009.

Siyasah Dusturiyah adalah sistem peraturan perundang-undangan, konstitusi, lembaga negara dan hubungan antara warga negara dan negara dalam konsepsi Islam yang berlandaskan kepada Al-Qur‟an dan Hadits.

12


A. Kajian Teori

BAB II KAJIAN TEORI

Sebagai bentuk pelandasan kekuatan masalah yang akan penulis diteliti, maka dari itu penulis melakukanpenelaahan datakepustakaan dengan cara menemukan teori-teori yang nantinya akan penulis jadikan sebagai landasan dalam penelitian.

1.

Teori Perundang-Undangan

Sebagai Negara yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-undang 1945, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan kebangsaan dan keanekaragaman termasuk pemerintah harus senantiasa berdasarkan hukum.

Untuk mewujudkan negara hukum tersebut perlu dilakukan tatanan yan tertib antara lain dibidang pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tertib pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus dimulai sejak Perencanaan sampai dengan Perundang-undangannya.

a. Undang-Undang dan Perundang-Undangan

Undang-undang adalah produk hukum sebagai ketentuan peraturan hidup suatu masyarakat yang bersifat mengendalikan, mencegah, mengikat, dan memaksa. (Syarifin dan Jubaedah, 2012:17)

Sehubungan dengan pengertian undang-undang tersebut, perlu diingat adanya dua arti undang-undang, yakni:

1) Undang-undangdalamartiformil,yaitukeputusan(beslissing)tertulis

yang diadakan oleh Badan-badan negara. Pada dewasa ini badan-

badan tersebut di Indonesia, adalah Presiden bersama DPR.

2) Undang-undang dalam arti materil, yaitu peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa (Pusat maupun Daerah) yang

sah, misalnya:

13


a) Undang-undang,

b) Peraturan Pemerintah,

c) Keputusan Presiden,

d) Peraturan Daerah, dan seterusnya. (Purbacaraka, 1993:3)

Ihwal defenisi dari “Peraturan Perundangan-undangan” dapat dilihat dari pendapat Van Der Tak dan yang ditentukan oleh UU No 15 Tahun 2019 Perubahan Kedua Atas UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Istilah Perundang-undangan (legislation, wetgeving, atau gesetzgebung) dalam beberapa kepustakaan mempunyai dua pengertian yang berbeda.

Dalam kamus yang berlaku, istilah legislation dapat diartikan dengan Perundang-undangan dan pembuatan Undang-undang, dan keseluruhan dari pada undang-undang negara, sedangkan istilah gesetzebung diterjemahkan dengan pengertian Perundang-undangan.

Menurut Bagir Manan, pengertian Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

1) Setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat umum;

2) Merupakanaturan-aturantingkahlakuyangberisiketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan;

3) Merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau abstrak-umum, artinya tidak mengatur atau tidak ditunjukan pada obyek, peristiwa atau gejala konkret tertentu;

4) Dengan megambil pemahaman dalam kepustakaan Belanda, Peraturan Perundang-undangan lazim disebut dengan wet in materiele zin, atau sering juga disebut dengan algemeen verbindende voorschrift yang

14


b.

meliputi antara lain: de supra nationale algemeen verbindende voorshriften, wet, AmvB, de Ministeriele verordening, de gemeentelijke raadsverordeningen, de provinciali staten verordeningen. (Indrati S, 2007:10)

Van Der Tak mendefenisikan Peraturan Perundang-undangan sebagai kaidah hukum tertulis yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, berisi aturan-aturan tingkah laku yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Sementara itu, pengertian Peraturan Perundang-undangan sebagai mana tercantum dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 15 Tahun 2019 Perubahan Kedua Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:

“Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan”. (Syamsuddin, 2015:19)

Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden untuk melaksanakan Undang-undang Dasar 1945 serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. (Syarifin dan Jubaedah, 2012:110)

Fungsi Undang-Undang dan Perundang-Undangan

Dalam konteks pembentukan Hukum Nasional, Profesor A. Hamid Attamimi mengatakan ada tiga fungsi utama Perundang-undangan, yaitu:

1) Untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara yang senantiasa berkembang;

2) Untuk menjembatani lingkungan hukum adat dengan hukum yang

tertulis lainya;

15


c.

Untuk memenuhi kebutuhan kepastian hukum tidak tertulis bagi masyarakat. (Syamsuddin, 2015:19)

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Pembentukan peraturan perundang- undangan merupakan suatu rangkaian proses yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Rangkaian tahapan tersebut sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Walau tidak semua jenis peraturan perundang-undangan memiliki proses yang sama di setiap tahapan. Setiap jenis peraturan perundang-undangan memiliki materi muatan yang berbeda-beda, masing-masing memiliki fungsi tertentu, Misalnya materi undang-undang. (Fadli, 2018:68)

Untuk membentuk Peraturan Perundang-undangan yang baik diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tatacara persiapan dan pembahasan teknik penyusunan maupun pemberlakuannya.

Bagir Manan mengemukakan, bahwa dalam pembentukan peraturan Perundang-undangan, haruslah mengacu pada landasan pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang didalamnya terdiri:

Pertama, landasan yuridis. Setiap produk hukum, haruslah mempunyai dasar berlaku secara yuridis (juridische gelding). Dasar yuridis ini sangat penting dalam pembuatan peraturan Perundang-undangan (termasuk Peraturan Derah), karena akan menunjukan:

1) Keharusan adanya kewenangan dari pembuat produk-produk hukum.

Setiap produk-produk hukum harus dibuat oleh pejabat yang berwenang. Kalau tidak, produk-produk hukum itu batal demi hukum

16


(van rechtswegenietig) atau dianggap tidak pernah ada dan segala

akibatnya batal demi hukum.

2) Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis produk-produk hukum

dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi atau sederajat. Ketidak sesuaian bentuk atau jenis dapat menjadi alasan untuk membatalkan atau dapat dibatalkan (vernietigbaar) produk hukum tersebut.

3) Keharusan mengikuti tata cara tertentu, apabila tata cara tertentu tidak diikuti, maka produk-produk hukum tersebut belum mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dapat dibatalkan demi hukum.

4) Keharusan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi tingkatanya.

5) Produk-produk hukum yang dibuat untuk umum dapat diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. (Yuliandri, 2013:134)

Mengingat adanya perubahan Undang-undang Dasar 1945 khusunya

Pasal 20 ayat (1) yang menentukan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-undang, maka untuk itu diperlukan Undang-undang yang mengatur mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai landasan Yuridis dalam pembentukan Peraturan Perundang- undangan baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, dan Undang- undang itu telah dikeluarkan pada tahun 2011 dan diperbarui pada 2019 yaitu UU Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.Dalam Fiqh Siyasah, prinsip pembentukan peraturan perundang- undangan adalah menjamin hak asasi manusia setiap anggota masyarakat dan persamaan kedudukan dimata hukum, tanpa membeda-bedakan strafikasi sosial, kekayaan, pendidikan, agama, demi mencapai hal tersebut sebuah undang- undang yang akan dirumuskan harus mempunyai landasan atau pedoman

17


dalam pengundangannya. Dengan landasan dan perujukan yang kuat undang- undang tersebut akan memiliki kekuatan pula untuk mengikat dan mengatur masyarakat dalam negara yang bersangkutan. Maka dari itu perundang-undangan yang dirumuskan tidak akan bertentangan dengan perundang- undangan yang lainnya. (Yuliandri, 2013:136)

2. Teori Kepastian Hukum a. Hukum

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum. Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 nilai identitas dan salah satunya merupakan asas kepastian hukum (rechtmatigheid) yang meninjau dari sudut yuridis. Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yang pertamaadanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu darikesenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. (Yuliandri, 2013:138)

18


b. NilaiDasarHukum

Gustav Radbruch adalah seorang filosof hukum dan seorang legal scholar dari Jerman yang terkemuka yang mengajarkan konsep tiga unsur dasar hukum. Ketiga konsep dasar tersebut dikemukakannya pada era Perang Dunia II. Tujuan hukum yang dikemukakannya tersebut oleh berbagai pakar diidentikkan juga sebagai tujuan hukum. Adapun tiga tujuan hukum tersebut adalah keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.

1) Keadilan

Keadilan berasal dari kata adil, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil adalah tidak sewenang–wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah. Adil terutama mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma–norma yang obyektif, jadi tidak subyektif apalagi sewenang-wenang. Di dalam keadilan terdapat aspek filosofis yaitu norma hukum, nilai keadilan, moral dan etika. Hukum sebagai pengemban nilai keadilan, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolak ukur sistem hukum positif dan tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum. Jika hukum tanpa keadilan akan terjadi kesewenang–wenangan. Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Tujuan hukum bukan hanya keadilan, tapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Idealnya, hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim misalnya, sedapat mungkin merupakan resultant dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat , bahwa di antara ketiga tujuan hukum tersebut keadilan merupakan tujuan hukum yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat bahwa keadilan adala tujuan hukum satu-satunya. Keadilan pada dasarnya suatu

19


konsep yang relatif. Skala keadilan sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, setiap skala didefinisikan dan sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan ketertiban umum dari masyarakat tersebut. Bagi kebanyakan orang, keadilan adalah prinsip umum, bahwa individu–individu tersebut seharusnya menerima apa yang sepantasnya mereka terima. Di Indonesia keadilan digambarkan dalam Pancasila sebagai dasar negara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka didalam sila kelima tersebut terkandung nilai–nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial). Adapun keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungannya manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, menusia dengan masyarakat, bangsa, dan negara, serta hubungan manusia dengan Tuhannya.

2) Kepastian

Kepastian hukum (Belanda: rechtszekerheid; Inggris: legal certainty) adalah kepastian mengenai hak dan kewajiban, mengenai apa yang menurut hukum boleh atau tidak boleh.Menurut Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi, yaitu :

a) Soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal konkret, yakni pihak-pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang khusus sebelum ia memulai perkara. Menurut Roscoe Pound ini merupakan segi predictability (kemungkinan meramalkan). Demikian juga menurut Algra et. al, aspek penting dari kepastian hukum ialah bahwa putusan hakim itu dapat diramalkan lebih dahulu.

b) Kepastianhukumberartikeamananhukum,artinyaperlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim. Kepastian

20


hukum merupakan nilai lebih dari peraturan tertulis dari pada yang tidak tertulis.Dengan adanya peraturan tertulis orang dapat lebih mudah untuk menemukan, membaca, dan memastikan bagaimana hukumnya. Dengan adanya Pasal 1576 KUHPerdata, orang dapat membaca bahwa dengan dijualnya barang yang disewaa, sewa yang dibuat sebelumnya belum diputuskan kecuali bila telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang- jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa, sehingga orang dapat meramalkan bagaimana putusannya jika terjadi perselisihan.

3) Kemanfaatan

Ide dasar utilitarianisme sangat sederhana yang mudah untuk dilakukan adalah yang menghasilkan kebaikan terbesar. Karena fakta menunjukkan bahwa ide seperti ini merupakan cara banyak orang mendekati putusan-putusan etis. Definisi singkat utilitarian atau kemanfaatan ini dikemukakan oleh Jhon Stuart Mill yaitu kemanfaatan menyatakan bahwa tindakan tertentu benar jika cenderung memperbesar kebahagiaan. Yang di maksud dengan kebahagiaan adalah kesenangan tanpa ada rasa sakit. Dalam pernyataan singkat tersebut terletak dua asumsi kursial yang meladasi; Pertama tujuan hidup adalah kebahgiaan. Mill maupun pendahulunya, jeremy bentham, berpendapat seperti ini kebahgiaan adalah tujuan hidup. Dia mengklaim bawah kita memegang erat tujuan-tujuan ini numun dia juga mengakui bahwa prinsip-prinsip fundamental ini tidak bisa dibuktikan secara langsung; Kedua kebenaran dari suatu tindakkan ditentukan oleh konstribusinya bagi kebahagiaan. Kaidah ini menjadikan kemanfaatan sebuah teleologi, tujuan menetukan apa yang benar. Yang benar ditentukan dengan mengkalkulasi jumlah baik yang di hasilkan, yang baik

21


mendahulukan yang benar, yang benar bergantung pada yang baik. Penganut aliran utilitas menganggap bahwa tujuan hukum semata- mata memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebenar benarnya, dan hukum merupakan salah satu alat. Akan tetapi , konsep utilitas ini mendapatkan kritikan tajam seperti halnya yang di alami oleh nilai pertama di atas, sehingga kritikan kritikan terhadap prinsip-prinsip kemafaatan hukum tersebut, maka Jhon Rawis mengembangakan sebuah teori baru yang menghindari banyak masalah yang tidak terjawab oleh utilitarianisme. Teori kritikan terhadap utilitas dinamaskan dengan teori Rawls atau justice as fairness (keadilan sebagai kejujuran). (Sova, 2013: 23)

c. Kepastian Hukum

Banyak dari para ahli hukum telah memberikan pendapatnya terhadap apa yang dimaksud dengan asas hukum. Menurut Satjipto Rahardjo, “asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena asas hukum merupakan dasar lahirnya peraturan hukum”. Menurut Sudikno, “asas hukum merupakan ratio legis-nya peraturan hukum. Asas hukum (rechtsbeginsel) adalah pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret (hukum positif) dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret”. Menurut Roeslan Saleh, “asas hukum merupakan pikiran-pikiran dasar sebagai aturan yang bersifat umum menjadi fondamen sistem hukum”. Menurut Bellefroid, “asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan- aturan yang lebih umum, jadi asas hukum merupakan pengendapan hukum positif di dalam masyarakat”. Menurut Paul Scholten, “asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala

22


keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada”. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, terhadap pengertian asas hukum, dapat disimpulkan bahwa asas hukum itu mengandung ciri-ciri sebagai berikut:

1) Asas hukum merupakan pikiran dasar atau norma dasar.

2) Asas hukum itu bukan peraturan hukum kongkrit melainkan latar

belakang dari peraturan hukum kongkrit.

3) Asas hukum itu mengandung penilaian kesusilaan, jadi mempunyai

dimensi etis.

4) Asas hukum itu dapat ditemukan pada peraturan perundang-undangan

dan putusan hakim.

Gustaf Radbruch, dalam konsep “Ajaran Prioritas Baku”

mengemukakan ada tiga ide dasar hukum atau tiga tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Keadilan merupakan hal yang utama dari ketiga hal itu tetapi tidak berarti dua unsur yang lain dapat dengan serta merta diabaikan. Hukum yang baik adalah hukum yang mampu mensinergikan ketiga unsur tersebut demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Menurut Radbruch, “kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati”. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum terutama untuk noma hukum tertulis. Menurut Fence M. Wantu, “hukum tanpa nilai kepastian hukum akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang”. Kepastian hukum diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat yang dikenakan peraturan ini. Pengertian kepastian tersebut dapat dimaknai bahwa ada kejelasan dan ketegasan terhadap berlakunya hukum di dalam masyarakat. Hal agar tidak menimbulkan banyak salah tafsir. Menurut Van Apeldoorn,

23


“kepastian hukum dapat juga berarti hal yang dapat ditentukan oleh hukum dalam hal-hal yang konkret”. Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Secara gramatikal kepastian berasal dari kata pasti yang artinya sudah tetap, mesti dan tentu. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian kepastian yaitu perihal (keadaan) pasti (sudah tetap), ketentuan, ketetapan sedangkan pengertian hukum adalah perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara, jadi kepastian hukum adalah ketentuan atau ketetapan yang dibuat oleh perangkat hukum suatu negara yang mampu memberikan jaminan atas hak dan kewajiban setiap warga negara. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap dan konsisten dimana pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Mengutip pendapat Lawrence M. Wriedman, seorang Guru Besar di Stanford University, berpendapat bahwa untuk mewujudkan “kepastian hukum” paling tidak haruslah didukung oleh unsur-unsur sebagai berikut, yaitu: substansi hukum, aparatur hukum, dan budaya hukum. (Yuliandri, 2013:140)

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa kepastian hukum merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum, yaitu merupakan yustiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.Menurut Maria S.W. Sumardjono bahwa tentang konsep kepastian hukum yaitu bahwa “secara normatif, kepastian hukum itu memerlukan tersediannya perangkat peraturan perundang-undangan yang secara operasional maupun mendukung pelaksanaannya. Secara empiris,

24


keberadaan peraturan perundang-undangan itu perlu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya”. Suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis sehingga menjadi suatu sistem norma dengan norma lain yang tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidak pastian aturan dapat berbentuk kontentasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum yang sesungguhnya adalah bila peraturan perundang-undangan dapat dijalankan sesuai dengan prinsip dan norma hukum. Menurut Bisdan sigalingging: ”antara kepastian substansi hukum dan kepastian penegakan hukum seharusnya harus sejalan, tidak boleh hanya kepastian hukum bergantung pada law in the books tetapi kepastian hukum yang sesungguhnya adalah bila kepastian dalam law in the books tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-norma hukum dalam menegakkan keadilan hukum”. (Prayogo,2016:163)

Teori kepastian hukum ini berasal dari teori Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran Postivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai suatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum.kepastian hukum itu terwujud oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau pemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian hukum. Legalitas dan legisme adalah dua gagasan yang mengklaim dapat memberikan kepastian hukum. Namun polemik akan gagasan kepastian hukum dalam penegakan hukum ini sesungguhnya telah dipersoalkan oleh banyak pihak, di luar Rousseau,

25


Montesqueieu, dan Beccaria. Yang membedakan Austin dan HolmesJr dengan ketiga filsuf masa abad pencerahan itu, meskipun austin dan holmesjr menyinggung secara tidak langsung gagasan kepastian hukum, keduanya tidak menyentuh selain kepastian hukum. Mereka menarik persoalan kepastian hukum itu ke lingkup refleksi yang berdasarkan situasi dan pengalaman nyata saat itu.Refleksi kritis mereka melulu dipenuhi dengan perdebatan filsafat politik, tidak menjangkau ranah teknis instrumen, khususnya dalam hukum pidana, yakni legalitas sebagai salah satu bukti paling awal tentang adanya klaim kepastian hukum. (Manullang, 2016:14)

3. Teori Siyasah Dusturiyah

a. Fiqh Siyasah Dusturiyah

Fiqih siyasah dusturiyah secara konseptual teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini dan dapat dijadikan acuan dalam pembahasan. Kata fiqih berasal dari faqaha-yafqahu-fiqhan. Secara bahasa pengertian fiqih adalah „‟paham yang mendalam‟‟.Imam al-Tirmidzi, seperti dikutip Amir Syarifuddin, menyebut „‟Fiqih tentang sesuatu‟‟ berarti mengetahui batinya sampai kedalamnya. Berbeda dengan ilmu yang sudah berbentuk pasti (qat’i), fiqih merupakan „‟ilmu‟‟ tentang hukum yang tidak pasti (zanni). Siyasah dusturiyah adalah bagian fiqh yang membahas masalah perundang–undangan negara. Dalam bab ini membahas tentang konsep– konsep konstitusi (undang–undang dasar Negara dan sejarah lahirnya perundang–undangan dalam suatu Negara), Legislasi (bagaimana cara perumusan undang–undang), lembaga demokrasi dan syuro yang merupakan pilar penting dalam pembuatan perundang–undangan tersebut. Di samping itu, kajian ini juga membahas konsep Negara hukum dalam siyasah dan hubungan timbal balik antara pemerintah dan warga Negara serta hak – hak warga negara yang wajib dilindungi. Dalam wacana fiqh siyasah, istilah al-sultah at-tashri’iyah digunakan untuk menunjukan salah satu kekuasaan

26


pemerintah Islam dalam mengatur masalah kenegaraan, di samping kekuasaan tanfidhiyah (eksekutif) dan kekuasaan qada’iyah (yudikatif). Dalam konteks in, kekuasaan legislatif (alsultah at-tashri’iyah) yang dijalankan oleh lembaga ahlu halli walaqdi berarti kewenangan pemerintah Islam untuk membentuk hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakatnya berdasarkan ketentuan yang diturunkan Allah SWT dalam syariat Islam. (Djazuli, 2004:48)

b. SumberHukumSiyasahDusturiyah

Sumber Hukum Siyasah Dusturiyah yang menjadi landasan fundamental dalam pemikiran:

a) Al-Qur‟an

Al-Qur‟an adalah sumber pokok aturan agama islam yang utama

dijadikan dasar dalam menentukan hukum. Al-Qur‟an merupakan kalam Allah yang berisi firman-firman Allah dalam bentuk ragam hukum di dalamnya. Karena al-Quran diyakini berasal dari Allah dan teks-teksnya dianggap suci, maka setiap muslim harus mengakuinya sebagai pondasi segala macam superstruktur Islam. Para tokoh-tokoh muslim banyak mencatat bahwasannya al-Quran merupakan satu-satunya sumber yang paling tinggi dalam menentukan hukum-hukum lainnya, karena al-Quran tidak pernah mengalami kondisi dan perubahan apapun walau perkembangan zaman terus berjalan. Adapun ayat al-Quran yang berkenaan dengan pemimpin terkait dengan pembahasan siyasah dusturiyah terdapat dalam surat an-Nisa ayat 59 :

27


‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏ ‏‏‏‏‏‏‏‏‏‏‏‏‏‏ ‏‏‏‏‏‏‏‏

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisa’ ayat 59)

b) Sunnah

Sunnah secara harfiah adalah suatu praktek kehidupan yang membudaya atau suatu norma perilaku yang diterima secara komunal oleh masyarakat yang meyakininya meliputi segenap ucapan dan tingkah laku Nabi. Proses periwayatan Sunnah biasanya disaksikan oleh beberapa orang yang mengetahui langsung kejadiannya tersebut dan disampaikan dari generasi ke generasi sejak zaman Nabi hingga akhir dari perawi yang meriwayatkannya dengan meniliti sederetan perawi yang berkesinambungan.

c) Ijma‟

Dalam hukum Islam, ijma‟ merupakan suatu keputusan bersama untuk menentukan suatu hukum yang baik demi kemaslahatan umat dengan cara musyawarah. Musyawarah ini timbul dari pemikiran kalangan ulama, mufti, ahli fikih maupun jajaran pemerintahan. apabila di dalam musyawarah tersebut ada beberapa orang yang tidak setuju dengan hasil keputusan mayoritas peserta musyawarah, maka ijma‟ tersebut dinyatakan batal.

d) Qiyas

28

Qiyas adalah metode logika yang digunakan untuk memecahkan suatu masalah yang berkenaan dengan legalitas suatu bentuk perilaku tertentu dengan cara menetapkansatu kaitan positif atau negatif antara bentuk perilaku yang satu dengan bentuk perilaku yang lainnya dengan suatu prinsip umum. Metode qiyas ini biasanya dipergunakan untuk menentukan hukum yang jelas ada berbagai permasalahan yang banyak dan kompleks. Qiyas biasanya menggunakan dalil-dalil al-Quran maupun hadist yang sekiranya sama bentuk perbuatan hukum yang dihadapi.

e) Adat Kebiasaan

Adat kebiasaan suatu bangsa yang tidak bertentangan dengan prinsip-

prinsip al-Quran dan Hadits. Adat kebiasaan semacam ini tidak tertulis yang sering di istilahkan dengan konvensi. Dan ada pula dari adat kebiasaan itu diangkat menjadi suatu ketentuan yang tertulis, yang persyaratan adat untuk dapat diterima sebagai hukum yang harus diperhatikan. (Djazuli, 2004:53)

c. Legislasi Siyasah Dusturiyah (al-sulthah al-tasyri’iyah)

Legislasi atau kekuasaan legislasi disebut juga dengan al-sulthah al- tasyri’iyah yaitu kekuasaan pemerintah Islam dalam membuat dan menetapkan suatu hukum. Menurut Islam tidak seorangpun berhak menetapkan hukum yang akan diberlakukan bagi umat Islam. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Allah dalam surat al-An’am ayat 57 (in al-hukm illa lillah). Akan tetapi, dalam wancana fiqh siyasah, istilah al suthah al- tasyri’iyah digunakan untuk menunju salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur masalah kenegaraan, disamping keluasaan eksekutif (al-sulthah al-tanfidziyah), dan kekuasaan

yudikatif (al-sulthah al-qadha’iyah).

dalam konteks ini, kekuasaan legislatif (al-sulthah al-tasyri’iyah)

berarti kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakat

29


berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah SWT dalam syariat Islam.

Berdasarkan adanya pembagian kekuasaan maka dengan demikian unsur–unsur legislasi dalam Islam meliputi beberapa hal pula:

1) Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dalam masyarakat Islam;

2) Masyarakat Islam yang akan melaksanakanya;

3) Isiperaturanatauhukumitusendiriyangharussesuaidengannilai–

nilai dasar syariat Islam.

Jadi, dengan kata lain, dalam al-sulthah al-tasyri’iyah pemerintah

melakukan tugas siyasah syar’iyahnya untuk membentuk suatu hukum yang akan diberlakukan di dalam masyarakat Islam demi kemaslahatan umat Islam, sesuai dengan semangat ajaran Islam. Sebenarnya, pembagian kekuasaan dengan beberapa kekhususan dan perbedaan, telah terdapat dalam Islam jauh sebelum pemikir-pemikir barat merumuskan teori tentang Trias Politica. Ketiga kekuasaan ini dirincikan sebagai berikut:

1) KekuasaanTasyri’iyah(KekuasaanLegislatif) 2) Kekuasaan Tandfiziyah (Kekuasaan Eksekutif) 3) KekuasaanQada’iyah(KekuasaanYudikatif)

Ketiga sistem ini sudah berjalan sejak zaman Nabi Muhammad SAW di Madinah. Sebagai kepala negara, Nabi member tugas-tugas tersebut kepada para sahabat yang mampu dan menguasai bidang-bidangnya, meskipun secara umum semuanya bermuara kepada Nabi juga. Dalam perkembangan selanjutnya, pelaksanaan tugas-tugas tersebut pun berkembang dan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan masa dan tempat. (Iqbal, 2014: 187-188)

Kekuasaan negara pada tingkat peradaban dunia telah merumuskan pemisahan ketiga fungsi besar menampilkan kekuasaan membentuk undang- undang (legislation), pemerintah (executive), dan peradilan (yudiciary).

30


Khusus pada kekuasaan pembentukan undang – undang mempunyai asas akan mengatur seluruh aspek kehidupan bernegara dalam melaksanakan seluruh aktifitasnya. Oleh karena itu tugas berat sang legislator yang akan menjabarkan setiap kebutuhan masyarakat kedalam rumusan undang-undang dan selalu mengalami perubahan setiap saat. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, legislasi di dalam siyasah dusturiyah adalah suatu proses pembentukan undang-undang, yang dilakukan oleh suatu badan yang dibentuk secara khusus untuk tujuan itu , dalam hal ini badan yang dimaksud adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Ditinjau secara kebahasaan maupun dalam khasanah ilmu hukum, legislasi mengandung makna dikotomis, yang bisa berarti proses pembentukan hukum. Didalam siyasah dusturiyah istilah Ahlu halli walaqdi menjadi arti penting yang melakukan tugas siyasah shar‟iyah untuk membentuk suatu hukum yang akan diberlakukan di dalam masyarakat Islam demi kemaslahatan umat Islam, sesuai dengan semangat ajaran Islam. (Djazuli, 2204:49)

Dalam kajian siyasah dusturiyah, legislasi merupakan kekuasaan pemerintah Islam dalam membuat dan menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakatnya berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah dalam syariat Islam. Pada masa Nabi Muhammad, otoritas yang membuat tasyri‟ (hukum) adalah Allah. Allah menurunkan ayat-ayat al-Qur‟an secara bertahap selama lebih kurang 23 tahun. Adakalanya ayat tersebut diturunkan untuk menjawab suatu pertanyaan, adakalanya pula untuk menanggapi suatu perubahan atau permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Nabi Muhammad juga berperan sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur‟an yang masih bersifat global dan umum. Legislasi besar-besaran dilakukan pada massa pemerintahan Usmani (1300-1924). Pada masa ini, hukum yang dipakai dalam masyarakat bukan hanya fiqh, melainkan juga keputusan khalifah atau sultan terhadap sengketa atau perselisihan yang terjadi diantara anggota

31


masyarakat. Selain itu, ada juga keputusan yang diambil dalam rapat majelis legislatif sebagai al-sulthah al-tasyri‟iyah dan disetujui oleh khalifah. Bentuk pertama disebut idarah saniyah, sedangkan yang kedua dinamakan dengan qanun. Puncak kemajuan qanun ini tejadi pada masa Khalifah Sulaiman I (1520-1566 M). (Iqbal, 2014: 177)

4. Teori Kaidah Ushul Fiqh

Istilah kaidah-kaidah fiqh adalah terjemahan dari bahasa arab al-qawa’id al- fiqhiyah. Al-qawa’id merupakan bentuk plural (jamak) dari kata al-qa‟idah yang secara kebahasaan berarti dasar, aturan atau patokan umum. Pengertian ini sejalan dengan Al-Ashfihani yang mengatakan bahwa qa`idah secara kebahasaan berarti fondasi atau dasar (al-Ashfihani, 1961: 409). Kata alqawa`id dalam Al- Qur`an ditemukan dalam surat al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 juga berarti tiang, dasar atau fondasi, yang menopang suatu bangunan. Sedangkan kata al-fiqhiyah berasal dari kata al-fiqh yang berarti paham atau pemahaman yang mendalam (al-fahm al-„amiq) yang dibubuhi ya‟an-nisbah untuk menunjukan penjenisan atau pembangsaan atau pengkategorian. Dengan demikian, secara kebahasaan, kaidah-kaidah fiqh adalah dasar-dasar, aturan- aturan atau patokan-patokan yang bersifat umum mengenai jenis-jenis atau masalah-masalah yang masuk dalam kategori fiqh. Secara kemaknaan (istilah ulama ushul al-fiqh) kaidah-kaidah fiqih dirumuskan dengan redaksi-redaksi yang berbeda. Sebagai sampel, dikemukakan beberapa rumusan ahli hukum Islam, sebagai berikut : Pertama, menurut at-Taftazani, kaidah adalah hukum yang bersifat umum (kulli) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya (juz`i) dimana hukum yang juz`i itu menjadi bagian dari hukum yang umum atau kulli. (Ali Shabah, 1967: 20).

a. Urgensi Kaidah Ushul Fiqh

Seperti dikemukakan para ulama, berdasarkan materinya, hukum Islam itu dapat diklasifikasikan kepada dua macam yaitu : Pertama, hukum ibadah,

32


seperti sholat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Hukum-hukum semacam ini dimaksudkan adalah untuk merealisir dan merupakan implementasi dari kesadaran mendalam seorang hamba akan tujuan utama hidupnya, yaitu untuk mengabdi kepada-Nya. Kedua, hukum-hukum mu‟amalah (hukum yang berkenaan dengan kemasyarakatan dalam arti luas), seperti transaksi- transaksi, tindakan-tindakan, sanksi-sanksi hukum kejahatan dan sebagainya, selain dari masalah ibadah mahdhah. Dewasa ini, hukum-hukum mu‟amalah tersebut telah berkembang pesat dan mengambil bentuk berbagai disiplin ilmu yang mengandung berbagai persoalan hukum, seperti terlihat dalam kitab- kitab ushul al-fiqh kontemporer, ketika membicarakan masalah pembagian hukum. Dengan demikian, wilayah pembahasan dan masalah-masalah hukum Islam itu sangat luas, sehingga untuk “menghafalnya” satu persatu atau untuk menentukan hukum masing-masingnya tidak mudah bagi orang yang mempelajari hukum Islam, bahkan ahli sekalipun. Oleh karena itu, solusi alternatif yang dapat dilakukan dalam mengatasinya adalah dengan merumuskan kaidah-kaidah fiqih yang merupakan generalisasi dari masalah- masalah fiqih tersebut, dan setiap generalisasi dapat menampung masalah- masalah yang serupa. Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah fiqih tersebut, para ahli hukum Islam akan merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum suatu masalah dengan memproyeksikan masalah-masalah yang akan ditentukan hukumnya itu kepada kaidah fiqih yang menampungnya. Sehubungan dengan ini, Muhammad Hamzah mengemukakan bahwa : “Masalah-masalah fiqh itu hanya dapat dipahami dengan mudah melalui kaidah-kaidah fiqih. Karena itu, menghafal dan memahami kaidah-kaidah tersebut sangat bermanfaat”. Sejalan dengan pernyataan Muhammad Hamzah di atas, al-Qarafi mengemukakan bahwa: kaidah-kaidah fiqih ini sangat urgen dan bermanfaat, dengan menguasainya membuat ahli hukum itu mulia dan berprestise. Barang siapa menetapkan hukum-hukum cabang yang partikularnya bersesuaian, tanpa menggunakan kaidah-kaidah kuliyah, maka

33


hukum cabang itu akan saling bertentangan dan berbeda, bahkan menjadi kacau. Sejauh itu, (tanpa penggunaan kaidah-kaidah fiqih), seseorang perlu menghafal hukum-hukum cabang yang sangat banyak, sehingga akan menghabiskan energi. Dengan demikian, siapapun yang memahami kaidah- kaidah fiqih, maka ia tidak perlu menghafal hukum-hukum cabang yang jumlahnya sangat banyak, karena hukum-hukum cabang tersebut telah masuk dalam kaidah kulliyah atau kaidah umum tersebut. (Zahra, 2006: 96)

b. Pengaruh Kaidah Ushul Fiqh Dalam Pembentukan Hukum

Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fikih ini, Ushul Fikih itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat AlOur'an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqh" (ilmu Fikih) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil. Dengan kata lain ushul fiqih adalah Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara‟. Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Fikih ialah Adillah Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah Syar'iyah itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-masing dalil itu. Dalam kaitan Hukum dengan Ushul Fiqh tidak ubahnya dengan penetapan syariat Islam dengan memperhatikan kebutuhan dan keadaan masyarakat. (Zahra, 2006: 107)

34


B. Penelitian Yang Relevan

Penelitian ini mengenai harmonisasi Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan eksplorasi peneliti, ditemukan beberapa tulisan yang berkaitan dengan penelitian ini, sebagai berikut:

1. Skripsi dengan judul “Implementasi Pasal 56 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (Studi Pelaksanaan Kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten Tanah Datar Dalam Menyiapkan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah)”, oleh Momen Afrialdi, nim 14208014, jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Syari‟ah, IAIN Batusangkar. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji hukum dalam realitas atau kenyataan di dalam masyarakat. Dan dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan wawancara, dan dokumentasi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten Tanah Datar dalam menyiapkan naskah akademik rancangan peraturan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dilakukan melalui 5 tahapan dan Setiap Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar yang dibentuk dari tahun 2012- 2017 diluar Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Rancangan Peraturan Daerah tentang pencabutan Peraturan Daerah dan Rancangan Peraturan Daerah tentang perubahan Peraturan Daerah, sudah disertai dengan Naskah Akademik sesuai ketentuan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (Afrialdi, 2018)

35


2. Skripsi dengan judul “Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum Terhadap Pedagang Kaki Lima (Pkl) Di Pasar Batusangkar Dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Tata Negara Islam”, oleh Randez Noviarman, nim 15301500046, jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Syari‟ah, IAIN Batusangkar. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji hukum dalam realitas atau kenyataan di dalam masyarakat. Dan dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan wawancara, dan dokumentasi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Dari penelitian yang penulis lakukan ditemukan bahwa Pertama Rumusan Pasal 9, Pasal 23, dan Pasal 25 Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum tidak sesuai atau tidaklah sinkron dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu dalam hal pembuatan materimuatan, sanksi administrasi dan ketentuan pidana. Kedua Implementasi atau Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum tidak terlaksana dengan baik dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap bentuk peraturan yang telah ditetapkan pemerintah, hal tersebut dapat dilihat dari pelanggaran yang mereka lakukan secara terus menerus walaupun diantara mereka sudah ada yang mendapatkan teguran namun teguran tersebut tidak diindahkan, serta petugas yang memiliki wewenang untuk melakukan penertiban tidak secara tegas melaksanakan wewenang yang dimilikinya. Ketiga Penerapan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum terhadap Pedagang Kaki Lima tidaklah sesuai dengan Hukum Tata Negara Islam. (Noviarman, 2019)

36


A. Jenis Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis Penelitian Hukum Normatif. Penelitian Hukum Normatif atau penelitian kepustakaan (Library Research) adalah penelitian yang mengkaji studi dokumen (mengkaji data yang ada), yakni menggunakan berbagai data baik data primer seperti Peraturan Perundang- undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan data sekunder seperti pendapat sarjana, hasil penelitian. (Soekanto dan Soerjono, 2009:13-14)

Dengan demikian penelitian ini akan menggambarkan masalah hukum yang terjadi antara Teori yang dicita-citakan dengan hasil yang dicapai. Penulis akan menggambarkan apakah terjadi kekaburan makna pada Pasal 43 Ayat 1, Pasal 44 Ayat 1, Pasal 65 Ayat 4 huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah, kemudian penulis akan menganalisanya sehingga diperoleh suatu gambaran yang utuh dan menyeluruh tentang permasalahan yang akan diteliti.

B. Latar dan Waktu Penelitian

1. Latar

Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji Pasal 43 Ayat 1, Pasal 44

Ayat 1, Pasal 65 Ayat 4 huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah, serta naskah akademik Peraturan

37


Daerah tersebut. Adapun penelitian yang penulis lakukan yaitu penelitian normatif yang mengkaji data-data yang ada pada tempat-tempat yang memungkinkan untuk mendapatkan literatur yang berhubungan dengan penelitian penulis.

2. Waktu Penelitian

Adapun waktu penelitian yang penulis lakukan berlangsung selama

beberapa bulan, terhitung dari bulan November 2019 sampai dengan selesainya penelitian ini, dengan rincian sebagai berikut:

38

   No Kegiatan

1 Observasi Awal

2 Bimbingan Proposal Skripsi

3 Seminar Proposal Skripsi

4 Penelitian

5 Bimbingan Skripsi

6 Ujian Munaqasah

C. Instrument Penelitian

Nov √

Des Jan Feb √ √ √

Bulan

Mar Apr Mei Juni

√ √ √ √ √ √ √ √

                                                               Dalam penelitian hukum normatif peneliti berperan sebagai instrumen kunci atau utama. Sebagai instrumen kunci, penulis melakukan pengumpulan data dan analisis data. Dalam melakukan penelitian ini penulis mengumpulkan bahan dari perpustakaan terkait dengan masalah yang penulis teliti.

D. Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah subjek dari mana data diperoleh. Adapun sumber penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu:


1. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian, antara lain:

a. Hukum Positif

1) Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen);

2) Undang-Undang No 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas 12

Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;

3) Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar No 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar No 6

Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah.

b. Hukum Islam

Fiqh Siyasah Dusturiyah

2. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum

primer antara lain adalah beberapa buku-buku serta tulisan-tulisan beberapa ahli yang berhubungan dengan Aspek pembentukan Peraturan Perundang- Undangan yang baik dan benar.

3. Bahan hukum tersier yang menunjang penggunaan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain adalah jurnal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum dan data yang diperoleh melalui internet.

E. TeknikPengumpulanData

Pengumpulan data adalah mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan dari berbagai jenis dan bentuk data yang ada di perpustakaan dan lapangan jika perlu. Pada penelitian ini penulis menggunakan Teknik Pengumpulan Data Kualitatif yang merupakan pengumpulan data yang bersifat deskriptif. Studi kepustakaan dalam penelitianini diperoleh dari sumber data sekunder yang meliputi bahan hokum primer, sekunder dan tersier yang terkait dengan penelitian. (Sarwano, 2006:259)

39


F. TeknikAnalisisData

Pada penelitian ini, pengolahan data dilakukan dengan cara sistematisasi yaitu membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan kontruksi. (Soekanto dan Soerjono, 2009:251-252) Penelitian jenis normatif ini menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan data-data yang ada dengan kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka-angka. Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban). (Rusli, 2006:50)

G. Teknik Penjamin Keabsahan Data

Teknik penjamin keabsahan data yang akan peneliti gunakan adalah uji kredibilitas data yang dapat dilakukan melalui triangulasi yang bertujuan untuk mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data. (Sugiyono, 2013:83)

40


BAB IV TEMUAN PENELITIAN

A. Kekaburan Makna Pada Pasal 43 Ayat 1, Pasal 44 Ayat 1, Pasal 65 Ayat 4 Huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah

Implikasi dari kekaburan makna suatu Undang-undang adalah menimbulkan ketidak pastian hukum dalam pelaksanaannya, Terhadap penggunaan kata dan/atau yang tidak sesuai dengan pedoman pembentukan peraturan Perundang-undangan yang diatur oleh Undang-Undang No 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kriteria-kriteria penggunaan kata sambung tersebut menjadi hal penting yang harus dicermati agar tidak terjadi perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya, sehingga dapat dibedakan dengan jelas antara jenis kata sambung yang ada. Norma yang kabur, multi tafsir dan ambigu mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum, sementara salah satu tujuan hukum adalah untuk mewujudkan kepastian hukum. Makna kepastian hukum mempunyai dua pengertian, yaitu adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau yang tidak boleh dilakukan; dan adanya keamanan hukum bagi individu dari kesewenang-wenangan pemerintah. (Peter Mahmud M, 1999:37).

1. Sistematika Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Sebagai Negara yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-undang 1945, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan kebangsaan dan

41


keanekaragaman termasuk pembentukan Perundang-Undangan harus senantiasa berdasarkan hukum yang berlaku. Untuk mewujudkan negara hukum tersebut perlu dilakukan tatanan yan tertib antara lain dibidang pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tertib pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus dimulai sejak Perencanaan sampai dengan Perundang-undangannya. Di dalam tahapan pembentukan perundang-undangan istilah Harmonisasi Undang-Undang menjadi hal yang penting. Tahapan Harmonisasi Undang-Undang dilakukan untuk menghindari adanya disharmonisasi antara Undang-Undang yang akan dibentuk dengan Undang-Undang yang telah berlaku. Kondisi tidak harmonis (disharmoni) dalam bidang peraturan perundang-undangan sangat besar potensinya. Hal ini terjadi karena begitu banyaknya peraturan perundang- undangan di negara kita.

Setidak-tidaknya ada dua aspek yang diharmonisasikan pada waktu menyusun peraturan perundang-undangan, yaitu yang berkaitan dengan aspek konsepsi materi muatan dan aspek teknik penyusunan peraturan perundang- undangan.

a. yang berkenaan dengan konsepsi materi muatan peraturan perundang- undangan mencakup:

1) Pengharmonisasian konsepsi materi muatan rancangan peraturan

perundang-undangan dengan Pancasila. Nilai-nilai Pancasila harus menjadi sumber dalam setiap peraturan perundang-undangan, sehingga nilai-nilai tersebut menjadi aktual dan memberikan batas kepada peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Setiap peraturan perundang-undangan secara substansial mesti menjabarkan nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Pancasila merupakan cita hukum (rechtsidee).

2) Pengharmonisan konsepsi materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan dengan Undang-Undang Dasar. Materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan harus diselaraskan dengan

42


ketentuan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara. Pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan dengan Undang-Undang Dasar selain berkaitan dengan pasal-pasal tertentu yang dijadikan dasar pembentukannya dan pasal-pasal yang terkait, juga dengan prinsip-prinsip negara hukum dan negara demokrasi baik di bidang sosial politik maupun ekonomi.

3) Pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan dengan asas pembentukan dan asas materi muatan peraturan perundang- undangan. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menggolongkan asas peraturan perundang-undangan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu : asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan, dan asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

4) Pengharmonisasian materi muatan rancangan peraturan perundang- undangan secara horizontal agar tidak tumpang tindih dan saling bertentangan, karena hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ambiguitas dalam penerapannya. Dalam pelaksanaan pengharmonisasian secara horizontal sudah tentu berbagai peraturan perundang-undangan sederajat yang terkait perlu dipelajari secara cermat agar konsepsi materi muatan peraturan perundang-undangan yang erat berhubungan satu sama lain selaras. Pembentuk peraturan perundang-undangan tentu perlu melakukan koordinasi dengan instansi yang terkait, yang secara substansial menguasai materi muatan suatu peraturan perundang-undangan dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lain.

5) Pengharmonisasian materi muatan rancangan peraturan perundang- undangan dengan konvensi/perjanjian internasional. Konvensi/perjanjian internasional juga harus diperhatikan agar peraturan perundang-

43


undangan nasional tidak bertentangan dengan konvensi/perjanjian

internasional, terutama yang telah diratifikasi oleh negara Indonesia.

6) Pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung atas pengujian terhadap peraturan perundang-undangan. Putusan Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung atas pengujian terhadap peraturan perundang- undangan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dipertimbangkan oleh perancang peraturan perundang-undangan dalam

menyusun peraturan perundang-undangan.

7) Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pengharmonisasian rancangan

peraturan perundang-undangan dengan teori hukum, pendapat para ahli (dogma), yurisprudensi, hukum adat, norma-norma tidak tertulis, rancangan peraturan perundang-undangan, rancangan pasal demi pasal dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang akan disusun.

Dari ketujuh konsepsi pengharmonisan di atas yaitu Pancasila, Undang-

Undang Dasar, Asas Materi Muatan, Perundang-Undangan lain, Konvensi/perjanjian internasional, Putusan MK/Putusan MA, Teori Hukum terdapat dua aspek yang tidak terharmonisasikan yaitu Pengharmonisasian dengan Perundang-Undangan lain dan Pengharmonisasian dengan Teori Hukum, ini terbukti dari temuan di lapangan terhadap pertentangan Peraturan Daerah pasal 43 ayat 1, pasal 44 ayat 1, pasal 65 ayat 4 huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undnag-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

44


Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan untuk pengharmonisasian dengan teori hukum itu tidak terjadi karena dengan terjadinya pertentangan diantara Perundang-Undangan itu sudah membuktikan bahwa teori hukum tercapai.

b. Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan baik menyangkut kerangka peraturan perundang-undangan, hal-hal khusus, ragam bahasa dan bentuk peraturan perundang-undangan. Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan tertuang dalam lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Pengabaian terhadap teknik penyusunan peraturan perundang- undangan akibatnya memang tidak sefatal pengabaian keharusan harmonisaisi atas susbtansi peraturan perundang-undangan. Pengabaian terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, tidak dapat menjadi alasan batalnya peraturan perundang-undangan atau alasan untuk melakukan yudicial review.

Yang kedua teknik penyusunan Peraturan Perundang-Undangan yang tercantum di atas pada pasal 43 ayat 1, pasal 44 ayat 1, pasal 65 ayat 4 huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah tidak berjalan sebagai mana mestinya, karena temuan di lapangan bahwasanya Naskah Akademik pada Peraturan Daerah ini tidak terlengkapi karena memang pada tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sudah tidak berjalan sebagimana mestinya.

2. Perencanaan Perundang-Undangan

Perencanaan merupakan tahap awal dalam menyusun peraturan perundang- undangan. Dalam perencanaan diinventarisasi masalah yang ingin diselesaikan beserta latar belakang dan tujuan penyusunan peraturan perundang-undangan.

45


Masalah yang ingin diselesaikan setelah melalui pengkajian dan penyelarasan, dituangkan dalam naskah akademik. Setelah siap dengan naskah akademik, kemudian diusulkan untuk dimasukkan ke dalam program penyusunan peraturan. Untuk undang-undang, program penyusunannya disebut Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

3. Pembahasan Perundang-Undangan

Pembahasan adalah pembicaraan mengenai substansi peraturan perundang- undangan di antara pihak-pihak terkait. Untuk undang-udang, pembahasan dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri melalui tingkat-tingkat pembicaraan. Untuk peraturan di bawahnya, pembahasan dilakukan oleh instansi terkait tanpa keterlibatan DPR.

4. Penyusunan peraturan perundang-undangan

Penyusunan peraturan perundang-undangan dapat diartikan dalam 2 (dua) maksud. Pertama, penyusunan dalam arti proses, yakni proses penyampaian rancangan dari Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota atau DPR/DPD setelah melalui tahap perencanaan. Proses penyusunan ini berbeda untuk undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan presiden. Kedua, penyusunan dalam arti teknik penyusunan, yakni pengetahuan mengenai tata cara pembuatan judul, pembukaan, batang tubuh, penutup, penjelasan, dan lampiran.

5. Pengesahan Peraturan Perundang-Undangan

Untuk undang-undang, rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Untuk peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang, disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM kepada Presiden melaui Kementerian Sekretariat Negara atau Sekretariat Kabinet.

46


6. Pengundangan Peraturan Perundang-Undangan

Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. Tujuan pengundangan adalah agar masyarakat mengetahui isi peraturan perundang-undangan tersebut dan dapat menjadi acuan kapan suatu peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mengikat.

Dari kelima tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di atas yang menjadi kesalahan akan ketidak adaanya Naskah akademik Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah adalah pada tahapan Perencanaan Undang-Undang.

7. Nilai Dasar Hukum

Gustav Radbruch dengan teorinya yaitu tiga unsur dasar hukum yang dikemukakannya adalah sebagai berikut:

a. Keadilan

Keadilan adalah tidak sewenang–wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah. Adil terutama mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma–norma yang obyektif, jadi tidak subyektif apalagi sewenang-wenang. Di dalam keadilan terdapat aspek filosofis yaitu norma hukum, nilai keadilan, moral dan etika. Hukum sebagai pengemban nilai keadilan, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolak ukur sistem hukum positif dan tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum.

47


b. Kepastian hukum

Kepastian hukum (Belanda: rechtszekerheid; Inggris: legal certainty) adalah kepastian mengenai hak dan kewajiban, mengenai apa yang menurut hukum boleh atau tidak boleh.Menurut Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi, yaitu :

1) Dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal konkret,

yakni pihak-pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang khusus sebelum ia memulai perkara. Menurut Roscoe Pound ini merupakan segi predictability (kemungkinan meramalkan). Demikian juga menurut N.E. Algra, aspek penting dari kepastian hukum ialah bahwa putusan hakim itu dapat diramalkan lebih dahulu.

2) Kepastian hukum berarti keamanan hukum, artinya perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim. Kepastian hukum merupakan nilai lebih dari peraturan tertulis dari pada yang tidak tertulis.Dengan adanya peraturan tertulis orang dapat lebih mudah untuk menemukan, membaca, dan memastikan bagaimana hukumnya. Dengan adanya Pasal 1576 KUHPerdata, orang dapat membaca bahwa dengan dijualnya barang yang disewa, sewa yang dibuat sebelumnya belum diputuskan kecuali bila telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang- jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa, sehingga orang dapat meramalkan bagaimana putusannya jika terjadi perselisihan.

c. Kemanfaatan

Kemanfaatan atau utilitarianisme sangat sederhana dan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan dan dapat menghasilkan kebaikan terbesar. Karena fakta menunjukkan bahwa ide seperti ini merupakan cara banyak orang mendekati putusan-putusan etis. Definisi singkat utilitarian atau kemanfaatan ini dikemukakan oleh Jhon Stuart Mill yaitu kemanfaatan menyatakan bahwa tindakan tertentu benar jika cenderung memperbesar kebahagiaan. Yang di

48


maksud dengan kebahagiaan adalah kesenangan tanpa ada rasa sakit. Dalam pernyataan singkat tersebut terletak dua asumsi kursial yang meladasi; Pertama tujuan hidup adalah kebahgiaan. Mill maupun pendahulunya, jeremy bentham, berpendapat seperti ini kebahagiaan adalah tujuan hidup. (Sova, 2013: 23)

Jika norma dirumuskan secara kabur (vague normen), tidak jelas, maka tidak dapat memenuhi dua unsur kepastian hukum di atas. Dalam kaitanya dengan makna dan/atau yang tidak disertai dengan garis miring sehingga tertulis dan atau dengan makna yang kabur, sehingga dalam pelaksanaannya terjadi perbedaan penafsiran mengenai apa yang dimaksud sebagai dan/atau. (Indrati, 2007:86)

Lampiran II UU No 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan No. 88,89 dan 90 menjelaskan penggunaan kata sambung dan, atau, dan/atau sebagai berikut:

88. Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif, ditambahkan kata dan yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.

89. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif ditambahkan kata atau yang di letakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.

90. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan alternatif, ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir. (UU No 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan)

Lampiran II No. 88 menjelaskan penggunaan kata sambung “dan” yang digunakan dalam hal rincian kumulatif yaitu makna yang menyatu/berkaitan sehingga kata sambung ini memiliki makna baku yaitu menyatu.

49


Lampiran II No. 89 menjelaskan penggunaan kata sambung “atau” yang digunakan dalam hal rincian alternatif yaitu makna yang berbededa/pilihan sehingga kata sambung ini memiliki makna baku yaitu terpisah.

Lampiran II No. 90 menjelaskan penggunaan kata sambung “dan/atau” yang digunakan dalam hal rincian kumulatif dan alternatif yaitu makna bisa merujuk pada rincian kumulatif dan juga bisa merujuk pada rincian alternatif sehingga kata sambung ini memiliki makna baku yaitu menyatu/terpisah.

Dari pemaparan di atas, maka analasis penulis adalah salah satu dari tiga nilai dasar hukum yaitu Kepastian Hukum yang erat kaitannya dengan Harmonisasi Undang-Undang. Pasal 43 Ayat 1, Pasal 44 Ayat 1, Pasal 65 Ayat 4 Huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah merupakan bentuk ketidak timbulannya Kepastian Hukum yang merupakan nilai hukum dasar. Hal ini juga dicerminkan dengan ketidak adaannya Naskah Akademik Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah. (Hasil Wawancara, 12 Juni 2020, Plt. KABAG Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Tanah Datar). Nilai selanjutnya dalam teori nilai dasar hukum yaitu nilai kemanfaatan atau utilitarian, suatu undang-undang diciptakan untuk memenuhi dan menjawab tantangan problematika yang muncul dalam suatu wilayah hukum dalam artian bermanfaat atau memiliki peran, dalam analisis ini ketiga pasal di atas tidak mencerminkan Undang-Undang yang memiliki kemanfaatan, bahkan dengan terjadinya kekaburan makna pada suatu undang-undang akan menimbulkan kecacatan hukum yang berujung pada pencabutan Peraturan Daerah terkait.

50


Kemudian dalam konteks pertentangan dengan undang-undang lain, penulis menganalisa bahwasanya Pasal 43 Ayat 1, Pasal 44 Ayat 1, Pasal 65 Ayat 4 Huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah meggunakan kata sambung dan/atau yang tidak seperti dijelaskan di ketiga pilihan di atas. Sehingga jelas penggunaan kata “dan/atau” pada ketiga pasal Perda Kabupaten Tanah Datar di atas tidak sesuai dengan Lampiran II UU No 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kurangnya ketelitian dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan merupakan faktor utama hal seperti ini terjadi, keberadaan Naskah Akademik memiliki arti penting dalam pengkajian suatu draft perundang-undangan mulai dari nilai-nilai yang diperjuangkan hingga draft pasal-pasal yang telah disiapkan baik itu draft yang diusulkan oleh Pemerintah Daerah maupun draft yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan dengan terjadinya ketidak harmonisan Pasal 43 Ayat 1, Pasal 44 Ayat 1, Pasal 65 Ayat 4 Huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak dengan Undang-Undang No 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan maka akan terjadi kekaburan makna pada ketiga pasal Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar. Disamping ketidak harmonisan antara kedua Undang-Undang di atas, ketiga pasal Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar tidak menggambarkan nilai-nilai dasar hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch yang berarti terjadinya kecacatan hukum pada Perda Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang

51


Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah.

B. Tinjauan Pasal 43 Ayat 1, Pasal 44 Ayat 1, Pasal 65 Ayat 4 Huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah terhadap pembentukan Peraturan Perundang- Undangan yang baik dalam Siyasah Dusturiah

Mengatur, mengurus pembuatan kebijaksanaan merupakan ranah Fiqh Siyasah yang mengisyaratkan bahwa tujuan siyasah adalah mengatur dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai sesuatu. Secara terminologis, Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan bahwa siyasah adalah pengaturan perundang-undangan yang diciptakan untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan.

1. Siyasah Dusturiyah

Siyasah dusturiyah adalah bagian fiqh siyasah yang membahas masalah perundang-undangan negara. Dalam hal ini juga dibahas antara lain konsep- konsep konstitusi (undang-undang dasar negara dan sejarah lahirnya perundang- undangan dalam suatu negara), legislasi (bagaimana cara perumusan undang- undang), lembaga demokrasi dan syura yang merupakan pilar penting dalam perundang-undangan tersebut. Di samping itu, kajian ini juga membahas konsep negara hukum dalam siyasah dan hubungan timbal balik antara pemerintah dan warga negara serta hak-hak warga negara yang wajib dilindungi. (Iqbal, 2014: 177).

Dalam bab ini membahas tentang konsep–konsep konstitusi (undang– undang dasar Negara dan sejarah lahirnya perundang–undangan dalam suatu

52


Negara), Legislasi (bagaimana cara perumusan undang–undang), lembaga demokrasi dan syuro yang merupakan pilar penting dalam pembuatan perundang–undangan tersebut. Kekuasaan negara pada tingkat peradaban dunia telah merumuskan pemisahan ketiga fungsi besar menampilkan kekuasaan membentuk undang- undang (legislation), pemerintah (executive), dan peradilan (yudiciary). Khusus pada kekuasaan pembentukan undang – undang mempunyai asas akan mengatur seluruh aspek kehidupan bernegara dalam melaksanakan seluruh aktifitasnya. Oleh karena itu tugas berat sang legislator yang akan menjabarkan setiap kebutuhan masyarakat kedalam rumusan undang-undang dan selalu mengalami perubahan setiap saat. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, legislasi di dalam siyasah dusturiyah adalah suatu proses pembentukan undang- undang, yang dilakukan oleh suatu badan yang dibentuk secara khusus untuk tujuan itu , dalam hal ini badan yang dimaksud adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Ditinjau secara kebahasaan maupun dalam khasanah ilmu hukum, legislasi mengandung makna dikotomis, yang bisa berarti proses pembentukan hukum. Didalam siyasah dusturiyah istilah Ahlu halli wal aqdi menjadi arti penting yang melakukan tugas siyasah shar‟iyah untuk membentuk suatu hukum yang akan diberlakukan di dalam masyarakat Islam demi kemaslahatan umat Islam, sesuai dengan semangat ajaran Islam. (Djazuli, 2204:49)

Dalam kajian siyasah dusturiyah, legislasi merupakan kekuasaan pemerintah Islam dalam membuat dan menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakatnya berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah dalam syariat Islam. Pada masa Nabi Muhammad, otoritas yang membuat tasyri‟ (hukum) adalah Allah. Allah menurunkan ayat-ayat al- Qur‟an secara bertahap selama lebih kurang 23 tahun. Adakalanya ayat tersebut diturunkan untuk menjawab suatu pertanyaan, adakalanya pula untuk menanggapi suatu perubahan atau permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Nabi Muhammad juga berperan sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur‟an yang masih bersifat global dan umum. Legislasi besar-besaran dilakukan pada

53


massa pemerintahan Usmani (1300-1924). Pada masa ini, hukum yang dipakai dalam masyarakat bukan hanya fiqh, melainkan juga keputusan khalifah atau sultan terhadap sengketa atau perselisihan yang terjadi diantara anggota masyarakat. Selain itu, ada juga keputusan yang diambil dalam rapat majelis legislatif sebagai al-sulthah al-tasyri’iyah dan disetujui oleh khalifah. Bentuk pertama disebut idarah saniyah, sedangkan yang kedua dinamakan dengan qanun. Puncak kemajuan qanun ini tejadi pada masa Khalifah Sulaiman I (1520- 1566 M). (Iqbal, 2014: 177)

Dengan demikian unsur–unsur legislasi dalam Islam meliputi:

a. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang

akan diberlakukan dalam masyarakat Islam;

b. Masyarakat Islam yang akan melaksanakanya;

c. Isi peraturan atau hukum itu sendiri yang harus sesuai dengan nilai – nilai

dasar syariat Islam.

Jadi dengan kata lain, ahlu halli wal aqdi melakukan tugas siyasah

syar’iyah untuk membentuk suatu hukum yang akan diberlakukan di dalam masyarakat Islam demi kemaslahatan umat Islam, sesuai dengan semangat ajaran Islam. Dikaitkan dengan pasal 43 ayat 1, pasal 44 ayat 1, pasal 65 ayat 4 huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Peraturan ini diciptakan oleh penguasa sebagai pihak yang berwenang bukan oleh pemimpin ini menggambarkan bahwasanya Peraturan Perundang-Undangan tidak mendapatkan interversi dari pihak manapun termasuk pemimpin. (Djazuli, 2204:49)

54


2. Al-Sulthah al-tasyri’iyah

Bagian dari Fiqh Siyasah yang secara kusus mengatur pembentukan peraturan adalah Al-sulthah al-tasyri’iyah merupakan kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan pemerintah Islam dalam membuat dan menetapkan hukum. istilah al- sulthah al-tasyri’iyah digunakan untuk menunjukkan salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur masalah kenegaraan yang meliputi persolan ahlul halli wa al-aqdi, Hubungan muslimin dan non muslim dalam satu negara, undang-undang dasar, peraturan perundang-undangan, peraturan pelaksanaan, serta peraturan daerah. Unsur-unsur dalam al-sulthah al- tasyri’iyah adalah:

a. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang

akan diberlakukan dalam masyarakat Islam.

b. Masyarakat Islam yang akan melaksanakannya.

c. Isi peraturan atau hukum yang sesuai dengan nilai-nilai dasar syari‟at Islam

Adapun fungsi lembaga legislatif yakni yang Pertama dalam mengatur

hal-hal yang ketentuannya sudah terdapat di dalam nash al-Quran dan Sunnah. Kedua dalam melakukan penalaran kreatif ijtihad terhadap permasalahan yang secara tegas tidak dijelaskan oleh nash. Mereka melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum dengan jalan qiyas (analogi). Mereka berusaha mencari illat atau sebab hukum yang ada dalam permasalahan yang timbul dan menyesusaikannya dengan ketentuan yang terdapat dalam nash. Ijtihad mereka juga perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi sosial masyarakat, agar hasil peraturan yang akan diundangkan itu sesuai dengan aspirasi masyarakat dan tidak memberatkan mereka. Peraturan yang dikeluarkan oleh badan legislatif yakni undang-undang yang merupakan peraturan yang tidak kebal oleh perkembangan zaman yang terus berjalan. Suatu saat peraturan yang dibuat oleh badan legislatif apabila terdapat permasalahan baru yang mengharuskan harus merevisi peraturan yang lama atau bahkan menggantinya dengan peraturan perundang-undangan yang baru. Badan legislatif harus serta merta intens

55


meninjau kembali atau bahkan mengganti undang-undang sesuai dengan kondisi masyarakat yang terus berkembang. Ketiga dalam bidang keuangan negara lembaga legislatif berhak mengadakan pengawasan dan mempertanyakan pembendaharaan negara, sumber devisa dan anggaran pendapat dan belanja yang dikeluarkan negara kepada kepala negara selaku pelaksana pemerintahan. Dikaitkan dengan pasal 43 ayat 1, pasal 44 ayat 1, pasal 65 ayat 4 huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah suatu peraturan itu diwewenangi oleh badan khusus dalam hal ini oleh DPRD yang berwenang selaku lembaga Legistlatif kendati usulan Peraturan Perundang-undangan bisa berasal dari Pemerintah Daerah hal ini sesuai dengan penemuan di lapangan bahwa Peraturan Daerah tesebut merupakan usulan dari Pemerintahan Daerah Kabupaten Tanah Datar.

3. Ijtihad Dalam Konsep Siyasah Tasyri’iyah

Fazlur Rahman (1919-1988) menjelaskan dan juga menegaskan pentingnya perumusan ijtihat ini kedalam lembaga siyasah tasyri‟iyah, namun Rahman lebih berusaha memperjelas bentuk dan operasionalisasi ijtihat. Menurut Rahman, sebagai lembaga legislatif, ijtihad yang dihasilkanya menjadi undang-undang yang mengikat, tapi tidak terlepas dari kemungkinan benar atau salah. Namun sejauh undang-undang tersebut mencerminkan kehendak umat, ia tetap merupakan konsensus (ijma’) yang bersifat islami dan demokratis serta mengikat umat islam dalam suatu Negara. Walaupun demikian, konsensus ini selalu bias diubah sesuai dengan perkembangan masa dan tempat. Rahman juga menegaskan peranan penting para ahli dalam berbagai bidang yang duduk di lembaga legislatif ini. Adapun ulama, menurutnya, tidak berfungsi menciptakan hukum, tetapi hanya memimpin umat secara umum dengan penyebaran ide-ide

56


yang islami di dalam masyarakat. Ini penting agar kesadaran dan pemikiran masyarakat sesuai dengan landasan islam. Anggapan para ulama yang menyatakan bahwa persoalan legislatif dalam islam merupakan tugas yang dibebankan kepada mereka (ulama) bukan saja salah, tetapi juga sekaligus mengingkari kebenaran adanya proses pembentukan hukum Islam yang dikenal dalam sejarah. Kenyataan sejarah menunjukan bahwa yang membentuk hukum islam adalah para penguasa, bukan para ulama (fuqaha). Dalam kesadaran inilah nantinya legislasi oleh lembaga legislatif bersifat islami. Masyarakat beserta ulama dapat mengajukan keberatan kalau legislatif oleh badan legislatif tidak sejalan dengan semangat prinsip Islam dan aspirasi mereka. Rahman juga menekankan pentingnya pembentukan lembaga islam internasional sebagaimana digagas Iqbal. Dalam hal ini Rahman lebih memperjelas bentuk dan cara kerjanya. Menurutnya, masing-masing badan legislatif negara muslim perlu memilih beberapa anggotanya untuk mewakili negaranya dalam lembaga legislatif sedunia. (Nurkholbi, 2019: 38)

Islam juga memiliki pola pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang sistematis, dengan pembagian kekuasaan yang mempermudah pelaksanaan tugas dan fungsi negara. Fiqh Siyasah memiliki bagian kusus yang mengatur pembentukan peraturan, yaitu adalah Al-sulthah al-tasyri‟iyah yang merupakan kekuasaan legislati. Hukum yang dibuat melalui prosedur ini lebih bersifat alami daripada yang dibuat oleh aliran-aliran tradisional, sebagaimana yang pernah berkembang dalam sejarah islam. Hukum yang dibuat terakhir ini merupakan karya penafsir individual yang tidak lepas dari subjektivitas mazhab. Adapun hukum yang dibuat oleh lembaga legislatif merupakan pemikiran kolektif yang sudah disaring dan didiskusikan secara lebih mendalam. Karenanya, pemikiran individu tidak mungkin bisa mengimbangi pemikiran kolektif yang sudah teruji. Dari pemikiran di atas, Rahman menyimpulkan bahwa sumber fisik semua wewenang dan kekuasaan adalah umat islam itu sendiri. Kekuasaan itu kemungkinan dilimpahkan kepada dewan legislatif untuk membuat undang-

57


undang yang sesuai dengan syariat islam. Pembentukan lembaga Ahlu al-halli wal Aqdi perlu dalam pemerintahan Islam, dalam rangka memperjuangkan nilai- nilai kemaslahatan di dalam Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat. Mengingat banyak permasalahan kenegaraan yang harus diputuskan secara bijak dan pandangan yang tajam, sehingga mampu menciptakan kemaslahatan umat Islam yang nyata. (Nurkholbi, 2019: 47)

Dalam konsep Ushul Fiqh hukum Islam itu dapat diklasifikasikan kepada dua macam yaitu: Pertama hukum ibadah, seperti sholat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Hukum-hukum semacam ini dimaksudkan adalah untuk merealisir dan merupakan implementasi dari kesadaran mendalam seorang hamba akan tujuan utama hidupnya, yaitu untuk mengabdi kepada-Nya. Kedua hukum-hukum mu’amalah (hukum yang berkenaan dengan kemasyarakatan dalam arti luas), seperti transaksi-transaksi, tindakan-tindakan, sanksi-sanksi hukum kejahatan dan sebagainya, selain dari masalah ibadah mahdhah. Pada masa kini, hukum- hukum mu‟amalah tersebut telah berkembang pesat dan mengambil bentuk berbagai disiplin ilmu yang mengandung berbagai persoalan hukum, seperti terlihat dalam kitab-kitab ushul al-fiqh kontemporer, ketika membicarakan masalah pembagian hukum. Dengan demikian, wilayah pembahasan dan masalah-masalah hukum Islam itu sangat luas, sehingga untuk “menghafalnya” satu persatu atau untuk menentukan hukum masing-masingnya tidak mudah bagi orang yang mempelajari hukum Islam, bahkan ahli sekalipun. Oleh karena itu, solusi alternatif yang dapat dilakukan dalam mengatasinya adalah dengan merumuskan kaidah-kaidah fiqih yang merupakan generalisasi dari masalah- masalah fiqih tersebut, dan setiap generalisasi dapat menampung masalah- masalah yang serupa. Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah fiqih tersebut, para ahli hukum Islam akan merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum suatu masalah dengan memproyeksikan masalah-masalah yang akan ditentukan hukumnya itu kepada kaidah fiqih yang menampungnya. Sehubungan dengan ini, Muhammad Hamzah mengemukakan bahwa : “Masalah-masalah fiqh itu

58


hanya dapat dipahami dengan mudah melalui kaidah-kaidah fiqih. Karena itu, menghafal dan memahami kaidah-kaidah tersebut sangat bermanfaat”. Sejalan dengan pernyataan Muhammad Hamzah di atas, al-Qarafi mengemukakan bahwa: kaidah-kaidah fiqih ini sangat urgen dan bermanfaat, dengan menguasainya membuat ahli hukum itu mulia dan berprestise. Barang siapa menetapkan hukum-hukum cabang yang partikularnya bersesuaian, tanpa menggunakan kaidah-kaidah kuliyah, maka hukum cabang itu akan saling bertentangan dan berbeda, bahkan menjadi kacau. Sejauh itu, tanpa penggunaan kaidah-kaidah fiqih, seseorang perlu menghafal hukum-hukum cabang yang sangat banyak, sehingga akan menghabiskan energi. Dengan demikian, siapapun yang memahami kaidah-kaidah fiqih, maka ia tidak perlu menghafal hukum- hukum cabang yang jumlahnya sangat banyak, karena hukum-hukum cabang tersebut telah masuk dalam kaidah kulliyah atau kaidah umum tersebut. Dikaitkan dengan Peraturan Daerah Tanah Datar pasal 43 ayat 1, pasal 44 ayat 1, pasal 65 ayat 4 huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah bahwa Islam menggambarkan betapa pentingnya Ushul Fiqh dalam metode penetapan dalam suatu hukum atau peraturan perundang- undangan, konsep ushul fiqh bisa digunakan pada saat pengkajian Naskah Akademik suatu Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qarafi bahwasanya kaidah fiqh sangat urgen bagi ahli hukum.

Dengan uraian teori di atas maka analisis penulis bahwasanya suatu Peraturan Perundang-Undangan dalam konteks siyasah tasyri’iyah di ciptakan melalui proses yang memperhatikan ketertiban, kemaslahatan dan sistematis ini dibuktikannya dengan adanya bagian pembentukan peraturan didalam konsep Fiqh Siyasah “Al-sulthah al-tasyri’iyah” yang merupakan bagian kusus yang dibentuk kusus untuk mewenangi pembentukan hukum-hukum dengan

59


keutamaan mengeluarkan Peraturan Perundang-Undangan yang bernilai maslahat oleh umat. Di dalam teori ushul fiqh pengambilan keputusan atau ijma’ didasari dengan kaidah-kaidah ushul dasar atau dalil, Muhammad Abu Zahra menggambarkan definisi maslahah adalah segala kemanfaatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan syari‟ (dalam mensyari‟atkan hukum Islam) dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang menunjukkan tentang diakuinya atau tidaknya yang mana pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan perilaku dengan tujuan syari‟.

Dapat di tarik keseimpulan jika dikaitan dengan pasal 43 ayat 1, pasal 44 ayat 1, pasal 65 ayat 4 huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah, Peraturan Daerah ini tidak mencerminkan bentuk Peraturan Perundang-Undangan yang menimbulkan kemaslahatan bagi umat karena Peraturan Daerah ini memiliki kekaburan makna pada pemaknaan kata sambung “dan atau” yang bertentangan dengan prinsip ushul dan maslahah mursalah, yang seharusnya tertulis dengan penyertaan garis miring (/) diantaranya sehingga tertulis “dan/atau” sehingga dapat simpulkan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah bisa menimbulkan mudharat dalam pemaknaannya.

60


A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP

Berdasarkan uraian yang telah penulis kemukakan pada bab-bab sebelumnya dan mengerucut pada inti dari masalah yang penulis kaji dengan judul Kekaburan Makna Pada Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Dalam Perspektif Siyasah Dusturiyah maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Bahwa pasal 43 ayat 1, pasal 44 ayat 1, pasal 65 ayat 4 huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah tidak merujuk kepada Lampiran II No. 90 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ini dibuktikan dengan ketidak sesuaian penggunaan kata sambung dan atau yang seharusnya disertai dengan garis miring (/) sehingga menimbulkan kekaburan makna pada pasal 43 ayat 1, pasal 44 ayat 1, pasal 65 ayat 4 huruf h.

2. Bahwa Pasal 43 Ayat 1, Pasal 44 Ayat 1, Pasal 65 Ayat 4 huruf h Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah tidak mencerminkan sistem Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang

61


baik dalam kajian Siyasah Dusturiyah yang memperhatikan kemaslahatan, hal ini terbukti dengan pertama ketidak beradaannya Naskah Akademik yeng merupakan landasan nilai-nilai yang diperjuangkan pada suatu undang- undang, kedua dengan terjadinya disharmonisasi antara UU No. 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dengan PERDA Tanah Datar No. 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas PERDA Kabupaten Tanah Datar No. 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah membuktikan timbulnya ke mudharatan di dalam Peratuan ini.

B. Saran

1. Direkomendasikan kepada Pemerintahan Daerah Kabupaten Tanah Datar agar menjalankan fungsi legislasi secara maksimal dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan sebagai pedoman.

2. Direkomendaikan kepada Pemerintahan Pusat agar menambahkan Pasal ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan untuk menciptakan kepastian hukum dalam pembentukan Peraturan Daerah.

3. Disarankan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tanah Datar agar melakukan fungsi legislatif dan yudikatif secara maksimal mungkin, sehingga tidak banyak terjadi revisi Peraturan Perundang-Undangan di tingkat daerah.

62


DAFTAR PUSTAKA

Zahra, Abu. (2006). al-Imam. Ushul al-Fiqhi. al-Qahirah. Dar al Fikr al- Arabi.

Afrialdi, Moment. (2018). Implementasi Pasal 5 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Skripsi. Jurusan Hukum Tata Negara IAIN Batusangkar. Batusangkar.

BPS Kabupaten Tanah Datar, https://sp2010.bps.go.id/index.php/site?id=1305000000 &wilayah=Tanah-Data, diakses pada 5 Mei 2020.

Djazuli, A. (2004). Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syari’ah. Jakarta: Kencana.

Fadli, M. (2018).Pembentukan Undang-Undang Yang Mengikuti Perkembangan Masyarakat. Bandung: Pustaka Setia.

Hamzah, A. (2005). Kamus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hasaballah, Ali. (1986). Ushul at-Tasyri‟ al-Islami. Mesir: Dar al-Ma‟arif.

Indrati, Maria Farida. (2007). Ilmu Perundang-Undangan. Bandung: Pt. Kashisih.

Iqbal, Muhammad. (2014). Fiqh Siyasah: Konstektualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Prenadamedia Group.

Mahmud, Peter. (1999). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media. Manullang, E. F. (2016). Legisme, Legalitas, dan Kepastian Hukum. Jakarta:

Kharisma Putra Utama.

Martitah, A. H. (2008). Hukum Tata Negara. Semarang: Perpustakaan Pribadi Slamet S-Martitah.

Ni‟matul, H. (2010). Ilmu Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


Nurkholbi, Dimas. (2019). Analisis Fikih Siyasah Dusturiyah Terhadap Proses Pembentukan Peraturan Perundang–Undangan Di Indonesia. Tesis. Jurusan Hukum Tata Negara Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Surabaya.

Syarifin, Pipin dan Jubaedah (2012). Ilmu Perundang-Undangan. Bandung: Pustaka Setia.

Prayogo, R. Tony (2016). Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang. Jurnal Legislasi Indonesia. 13 (2): 193-194.

Purbacaraka, P. d. (1993). Perundang-Undangan dan Yurisprudensi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Rusli, H. (2006). Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana ?.Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. 5(1): 47-49.

S, M. F. (2007). Ilmu Perundang-Undangan (jenis, fungsi, dan materi muatan). Yogyakarta: Kanisius.

Sarwano.(2006). Metode Penelitian Kuantitatif & Kulaitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. (2009). Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soekanto. (1986). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuatitatif, Kualitatif, dan R&Di. Bandung: Alfabeta.


Syamsuddin, A. (2015). Proses & Teknik Penyusunan Undang-Undang. Jakarta: Sinar Grafika.

Sova, Sakhiyatu. (2013). Tiga Nilai Dasar Hukum Menurut Gustav Radbruch. Skripsi. Jurusan Hukum. Universitas Diponegoro. Semarang.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Yuliandri. (2013). Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik. Jakarta: Rajawali Pers.


LAMPIRAN

LAMPIRAN II UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011

TENTANG

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN

TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I

KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

88. Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif, ditambahkan kata dan yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.

89. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif ditambahkan kata atau yang di letakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.

90. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan alternatif, ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.


PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2018

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH

Bagian Kesepuluh Pajak Sarang Burung Walet

Pasal 43

(1) Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan atau untuk pengusahaan sarang burung walet.

(2) Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan Sarang Burung Walet yang telah dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP);

Pasal 44

(1) Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan atau mengusahakan sarang burung walet.

(2) Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.


BAB III PEMUNGUTAN PAJAK

Bagian Kesatu

Tata Cara Pemungutan dan Pembayaran

Pasal 65

(4) Jenis Pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak adalah : a. Pajak Hotel

b. Pajak Restoran

c. Pajak Hiburan

d. Pajak Penerangan Jalan

e. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

f. Pajak Parkir

g. Pajak Sarang Burung Walet

h. Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan


 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ta’rif dan Pembahasannya

Ilmu Bantu Dalam Hukum Pidana

Jinayah dan Jarimah