RUANG LINGKUP DARI ETIKA PROFESI HUKUM

RUANG LINGKUP DARI ETIKA PROFESI HUKUM

Hibatul Wafi
Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Syariah IAIN Batusangkar
Jl. Jenderal Sudirman No. 137, Lima Kaum Batusangkar



Abstract: Ethics comes from the Greek word ethos, which means "customs" or "habits". In this sense ethics is related to good life habits, both in a person and in a community or community group. This means that ethics is related to values, good living procedures, good living rules, and all habits that are followed and passed on from one person to another. Viewed from the notion of ethics above, ethics is almost the same as understanding morality. Morality comes from the Latin word mos, which means "customs" or "customs". Literally the meaning of ethics and morality both means a value system of how humans must live well as humans who have been institutionalized in a custom that is then manifested in a steady pattern of behavior and repeats itself over a long period of time as well as a habit. Ethics and morality provide concrete clues about how human beings should live well as human beings, even though these concrete instructions can be channeled through and sourced from certain religions and cultures.

Kata Kunci: Pembatasan Masalah, Objek Etika, Hubungan Etika

A.      PENDAHULUAN
Etika (tatakrama) merupakan kebiasaan yang benar dalam pergaulan. Kunci utama penerapan etika adalah memperlihatkan sikap penuh sopan santun, rasa hormat terhadap keberadaan orang lain dan mematuhi tatakrama yang berlaku pada lingkungan tempat kita berada. Sebagai makhluk sosial, tidak dapat dipungkiri manusia tidak bisa terlepas dari manusia yang lain. Artinya ia mutlak membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Di sinilah, manusia tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bertetangga dan bermasyarakat. Dalam melakukan hubungan sosial di masyarakat diperlukan etika sebagai  pedoman hidup dan kebiasaan yang baik untuk dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Fakta tersebut menguatkan anggapan bahwa masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang berbudaya dan memiliki etika luhur dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat. Maka dari itu, pemahaman akan etika dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat sangat penting untuk dalam mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

B.      METODE
Penulisan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library Research) yakni suatu metode yang digunakan dengan jalan mempelajri buku literature, perundang-undangan dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan materi pembahasan yang digunakan untuk mendukung pembahasan ini.

C.      PEMBAHASAN
Pembatasan Masalah dalam Etika
Secara etimologis, menurut Endang Syaiffudin Anshari, etika sama dengan akhlak. Akhlak berarti perbuatan dan ada sangkut pautnya dengan kata-kata Khaliq (pencipta) dan Makhluq (yang diciptakan). Namun ditemukan pula pengertian akhlak berasal dari kata jamak dalam bahasa Arab akhlāq.
Oleh karena itu, penelitian yang berkaitan dengan etika senantiasa menempatkan penekanan pada batasan konsep etika serta pembenaran dan penilaian terhadap keputusan-keputusan moral, sebagaimana pembedaan benar atau salahya tidakan-tindakan atau kepuusan-keputusan itu. Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral. Namun meski sama-sama terkait dalam tindakan manusia, etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Moral lebih condong ke nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia (praktiknya), sedangkan etika berarti ilmu yang mempelajari baik dan buruknya (teorinya).[1]

Objek Kajian Etika
Perbuatan yang dapat ditinjau  dari sudut suasana batin memiliki dua subjek:
1.      Perbuatan oleh diri sendiri, yaitu tindakan yang dilakukan oleh diri sendiri dalam situasi bebas. Terbagi dua:
a)      Perbuatan sadar, adalah tindakan yang benar-benar dipilih oleh pelakunya beerdasar pada kemauan sendiri.
b)      Perbuatan tidak sadar, adalah tindakan yang terjadi begitu saja di luar kontrol sukma, namun terjadi bukan karena paksaan.
2.       Perbuatan oleh orang lain, yaitu tindakan yang dilakukan karena pengaruh orang lain tergantung berbagai alasan yang dianggap perlu oleh si pelakunya.[2]

Hubungan Etika dengan Ajaran Moral
Pandangan filsafat terhadap tujuan etika ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan.
Para ahli dapat segera mengetahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbutaan yang dilakukan oleh manusia. Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran dan filsafat. Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak bersifat mutla, absolut dan tidak pula universal. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, terhina dsb. Dan keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-rubah sesuai tuntutan zaman. Dengan ciri-ciri yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk.
Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia. Moral sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang wajar. Antara etika dan moral memang memiliki kesamaan. Namun, ada pula berbedaannya, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat, etika memandang tingkah laku perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral secara lokal. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.
Namun demikian, dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbutan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaran moral tolak ukur yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat.
Dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat.
Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Namun, etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan membutuhkan. Uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa etika, moral dan susila berasala dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadis. Dengan kata lain jika etika, moral dan susila berasal dari manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.
Etika perlu dibedakan dari moral. Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat pada sekelompok manusia. Ajaran moral mengajarkan bagaimana orang harus hidup. Ajaran moral merupakan rumusan sistematik terhadap anggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban manusia.
Etika merupakan ilmu tentang norma, nilai dan ajaran moral. Etika merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai 5 ciri khas yaitu bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif (tidak sekadar melaporkan pandangan moral melainkan menyelidiki bagaimana pandangan moral yang sebenarnya).
Moral berkaitan dengan moralitas. Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau sopan santun. Moralitas dapat berasal dari sumber  tradisi atau adat, agama atau sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber.[3]

D.           PENUTUP
Beberapa orang mungkin tidak begitu menganggap etika sebagai suatu hal serius karena melihat dari konsekuensinya yang hanya berupa sanksi sosial. Seseorang tidak akan didenda ratusan juta rupiah atau bahkan masuk penjara hanya karena tidak memberikan tempat duduk untuk seorang orang tua, terutama ibu-ibu, di dalam sebuah kereta. Orang tersebut mungkin hanya akan menjadi sedikit perhatian bagi penumpang lainnya, menjadi sedikit pembicaraan bahwa orang tersebut tidak seharusnya berdiam diri dan membiarkan orang tua tersebut berdiri sementara dia yang masih muda, dalam arti masih lebih kuat secara fisik, duduk di tempat duduk tersebut. Karena itulah orang-orang terkadang tidak begitu menghiraukan masalah etika.
Kebanyakan orang lebih sibuk dengan kepentingan dirinya sendiri tanpa lagi melihat baik atau buruk dan pantas atau tidak pantas. Hal ini tentu kembali kepada hati tiap manusia karena etika berhubungan dengan rasa, dan rasa ini dirasakan di dalam hati manusia. Hati manusialah yang bisa menilai etis atau tidak etisnya tingkah laku yang dia perbuat. Jika seseorang masih memiliki rasa etika dalam dirinya tentu orang tersebut memiliki hubungan dan citra yang baik di dalam masyarakat, tapi sebaliknya jika seseorang tidak mempedulikan etika tentunya orang tersebut akan dipandang “berbeda” dari lingkungan dan masyarakat karena dianggap tidak dapat melihat dan merasakan mana hal yang baik atau buruk dan pantas atau tidak pantas.

DAFTAR PUSTAKA
C. S. T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita. 1997.
E.J. Kanter. Etika Profesi Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. 2001.
Suhrawardi K. Lubis, SH. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2000.


 




[1] Suhrawardi K. Lubis, SH, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 12.
[2] C. S. T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hlm. 24.
[3] E.J. Kanter, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,  2001, hlm. 19.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ta’rif dan Pembahasannya

Ilmu Bantu Dalam Hukum Pidana

Jinayah dan Jarimah