Hukum Harta (Perkawinan & Anak)




MAKALAH

HUKUM PERDATA

Tentang:

  Hukum Harta (Perkawinan & Anak)


Oleh:

Kelompok 5


 Hibatul Wafi              :           1630203026



Dosen Pembimbing :
Hebby Rahmatul Utamy, S.Hi., M.Sy.



JURUSAN HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
 FAKULTAS SYARIAH
  INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
2018



KATA PENGANTAR

   Alhamdulillah, puji dan syukur penulis ucapkan kehadiran Allah SWT yang selalu senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Berkat rahmat dan karunia-Nya itu penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul Hukum Harta (Perkawinan & Anak)”.
 Makalah ini disusun sebagai salah satu bentuk penugasan yang di berikan Dosen pengampu mata kuliah Hukum Perdata pada Fakultas Syariah, Jurusan Hukum Tata Negara, Institu Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.Selesainya penulisan Makalah ini tidak lepas dari dukungan dan bimbingan berbagai pihak, oleh sebab itu penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.      Kedua orang tua penulis.
2.      Senior dan teman-teman yang telah banyak memberikan pengetahuan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
3.      Bapak dosen yang telah memberikan pengetahuan dan arahan kepada penulis selama mengikuti proses perkuliahan Hukum Perdata. Dan juga kepada pihak-pihak lain yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis berharap semoga Makalah ini bermanfaat dan memberikan wawasan bagi penulis dan pembaca. Penulis mohon maaf jika dalam penulisan Makalah ini terdapat kesalahan, baik secara teknis maupun isinya. Dalam rangka penyempurnaan isi Makalah ini, penulis mengharapkan sumbangan pemikiran para pembaca, berupa saran dan kritikan yang bersifat membangun. Akhir do’a keada Allah SWT semoga amal baik, bantuan dan bimbingan yang di berikan kepada penulis, semoga mendapat balasan yang berlipat ganda disisi-Nya. Amiin ya robbal ‘alamin.


                       Batusangkar,     Maret  2018



Text Box: i                       Penulis


BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang Masalah
          Pokok tujuan dari suatu perkawinan ialah bersama-sama hidup pada suatu masyarakat dalam satu ikatan kekeluargaan. Syarar untuk hidup seorang manusia ialah makanan dan pakaian. Untuk mendapatkan makanan dan pakaian ini diperlukan suatu kekayaan duniawi yang dapat dipergunakan oleh suami istri dalam hidup bersama.
        Dengan demikian muncul kebutuhan masyarakat akan suatu peraturan tentang kekayaan dalam perkawinan itu.
        Dalam hal ini ada dua sistem peraturan di Indonesia,lyang diametral berhadap-hadapan satu sama lain, yaitu di satu pihak peraturan menurut hukum Islam dan di lain pihak peraturan menurut hukum burgerlijk wetboek.
       Hidup bersama ini berakibat sangat penting di dalam masyarakat. Akibat paling dekat ialah bahwa dengan hidup bersama antara dua orang manusia ini mereka sekedar mendirikan diri dari anggota-anggota lain dari masyarakat. Akibat yang lebih jauh ialah bahwa kalau kehidupan pada anak-anak keturunan mereka, dengan anak-anaknya itu mereka merupakan suatu keluarga tersendiri yang memiliki hak dan kewajiban Tapsel Dedi pulang termasuk ke dalam pembagian harta.
        Maka dari itu saya bersama penulis yang lainnya akan membahas materi ini yang berhubungan dengan "Hukum Harta (Perkawinan dan Anak).

B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana  Pengaturan Harta Perkawinan ?
2.      Bagaimana  Kewenangan Terhadap Harta ?
3.      Bagaimana  Penyelesaian Harta Ketika Terjadi Perceraian ?
4.      Bagaimana Dasar Hukum Anak ?
5.      Bagaimana Kritera Anak Sah dan Anak Luar Kawin Yang Di Akui dan Tidak Di Akui ?
6.      Bagaimana Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak ?
7.      Bagaimana Hak Pemeliharaan Anak ?

C.   Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan Bagaimana  Pengaturan Harta Perkawinan !
2.      Menjelaskan Bagaimana  Kewenangan Terhadap Harta !
3.      Menjelaskan Bagaimana  Penyelesaian Harta Ketika Terjadi Perceraian !
4.      Menjelaskan Bagaimana Dasar Hukum Anak !
5.      Menjelaskan Bagaimana Kritera Anak Sah dan Anak Luar Kawin Yang Di Akui dan Tidak Di Akui !
6.      Menjelaskan Bagaimana Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak !
7.      Menjelaskan Bagaimana Hak Pemeliharaan Anak !



















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengaturan Harta Perkawinan
 Dalam hal ini ada dua sistem peraturan di Indonesia, yang diametral berhadap-hadapan satu sama lain, yaitu di satu pihak peraturan menurut hukum Islam dan di lain pihak peraturan menurut hukum burgerlijk wetboek.
1.      Hukum Islam
Hukum Islam menganggap kekayaan suami dan istri masing-masing terpisah Satu dari yang lain. Barang-barang milik masing-masing pada waktu perkawinan dimulai, tetap menjadi milik masing-masing. Demikian semoga segala barang-barang yang mereka masing-masing mendapat selama perkawinan berlangsung, tidak dicampur melainkan terpisah satu dari yang lain, artinya: atas barang-barang milik si suami, si istri tidak mempunyai hak dan atas barang-barang milik si istri, si suami tidak mempunyai hak.
Ini tidak berarti, bahwa suami tidak dapat memakai barang milik istri, dan sebaliknya, tetapi pemakaian ini berdasar atas perjanjian pinjam meminjam antara suami dan istri. Perjanjian ini tidak perlu secara tegas, melainkan  terjadi biasanya secara diam-diam.

2.      Hukum Burgelijk Wetboek
Hukum Burgelijk Wetboek sebaliknya menganggap sebagai pokok pangkal, bahwa apabila suami dan istri pada waktu akan melakukan pernikahan, tidak mengadakan perjanjian apa-apa diantara mereka, maka akibat dari perkawinan itu ialah percampuran kekayaan suami dan istri menjadi satu kekayaan, milik orang berdua bersama-sama, dan bagian masing-masing dalam kekayaan bersama itu adalah separuh.
Separuh ini merupakan bagian tak terpisah, artinya tidak mungkin masing-masing suami atau istri minta pembagian kekayaan itu, kecuali jika perkawinan sendiri terputus, atau jika dilakukan perceraian dari meja dan tempat tidur atau perceraian kekayaan, yang hanya dapat terjadi dengan melalui suatu acara tertentu, termuat dalam burgerlijk wetboek.
Di atas dikatakan, bahwa sebelum perkawinan dimulai, bakal suami dan Bakal istri dapat mengadakan perjanjian di antara mereka mengenai kekayaan mereka. Perjanjian ini oleh burgerlijk wetboek dinamakan "huwelijksvoorwaarden" dan dapat merupakan pembagian bentuk yang masing-masing diatur dalam BW, antara lain "gemeenschap van winst en verlies" (campuran untung dan rugi) atau "gemeebnschap van vruchten en inkomsten" (campur penghasilan).
Pada pokoknya "huwelijksvoorwaarden" ini menerobos pokok hakikat, bahwa dengan suatu perkawinan adat terjadi campuran kekayaan suami dan istri menjadi satu kekayaan bersama (gemeenschap van goedere).
Kalau sudah sekali diadakan perjanjian perkawinan ini, maka suami dan istri, selama perkawinan berlangsung, tidak dapat mengubah perjanjian itu dengan cara apapun juga (pasal 149 BW).
Antara dua sistem dari hukum Islam di satu pihak dan dari hukum burgerlijk wetboek di lain pihak ini, hukum adat di berbagai daerah di Indonesia merupakan suatu sistem tengah-tengah, ya itu ada kemungkinan dalam suatu perkawinan sebagian dari kekayaan masing-masing suami dan istri terpisah satu dari yang lain, dan ada kemungkinan sebagian kekayaan itu tercampur menjadi kekayaan bersama dari mereka.

3.      Hukum Islam
Ada kemungkinan dalam suatu daerah hukum Islam perihal perkawinan berpengaruh sedemikian rupa, sehingga pada pokoknya hukum Islam di turut juga dalam hal kekayaan dalam perkawinan.
Dari 3 sistem tersebut di atas, hukum Islam merupakan sistem yang paling sederhana peraturannya. Disitu tidak ada sebagian barang-barang kepengen suami dan istri yang merupakan suatu campuran kekayaan. Dan justru campuran kekayaan inilah yang sering mengakibatkan kesulitan dan maka dari itu membutuhkan peraturan khusus untuk mengatasi kesulitan itu.
Menurut hukum Islam, suami dan istri masing-masing mempunyai kekayaan sendiri, baik barang yang mereka masing-masing bahwa pada permulaan perkawinan, maupun barang-barang yang mereka masing-masing mendapat selama perkawinan berlangsung sebagai hasil pekerjaannya, sebagai penghibahan dari orang lain, sebagai pembelian oleh mereka dan lain-lain sebagainya.
Hal ini juga mempermudah soal Siapa yang harus mengurus barang-barang itu dan siapa yang berkuasa menjual barang-barang itu. Dalam hal ini kekuasaan-kekuasaan terhadap barang-barang itu tetap berada di pihak Siapa yang mempunyai barang itu. Hal ini dipermudah pula oleh ketentuan dalam hukum Islam, bahwa seorang perempuan yang bersuami, leluasa untuk melakukan segala perbuatan hukum tanpa bantuan atau kuasa dari suaminya, juga yang mengenai barang-barang kekayaan nya.

4.      Hukum Adat
Seperti telah dikatakan di atas, dalam suatu perkawinan menurut hukum adat Ada kemungkinan sebagian dari kekayaan suami dan istri masing-masing terpisah satu sama lainnya, dan sebagian merupakan campur Kaya.
Bagian ke satu dari kekayaan tersebut, jadi kepunyaan masing-masing dari suami dan istri dapat dibagi lagi dalam dua bagian yaitu bagian yang pertama barang-barang yang masing-masing mendapat secara warisan dari orang tua atau nenek moyang, sedangkan bagian kedua barang-barang yang masing-masing mendapat secara hibah atau secara usaha sendiri.
Barang-barang yang terdapat secara warisan ini namanya bermacam-macam di berbagai daerah, seperti misalnya pimbut di tanah ngaju Dayak, sisila Makasar, babakab Bali, asal asli atau pusaka di Jawa dan Sumatera, gono, gawan.
Barang-barang ini terikat, sangat atau sedikit, pada peraturan kekeluargaan yang berlainan di berbagai daerah, masing-masing sesuai dengan corak kekeluargaan yang berlaku di suatu tempat.
Diminangkabau misalnya suatu barang pusaka, ya itu kepunyaan suatu keluarga, tidak dapat dihibahkan kepada atau diwariskan oleh seorang tertentu, melainkan tetap merupakan barang yang oleh orang perseorangan dari suatu keluarga hanya dapat dipakai saja, tidak dimiliki.[1]

B.     Kewenangan Terhadap Harta
Dalam praktek dianggap diperbolehkan suami dan istri mendirikan suatu perseroan terbatas,  oleh karena perjanjian semacam ini antara suami dan istri tidak dilarang.
Pasal 120 BW bagian penghabisan memungkinkan suatu kekecualian dari campur kekayaan secara bulat, yaitu apabila suami atau istri masing-masing mendapat satu hibah wasiat atau hibah biasa, dalam mana yang menghibahkan menentukan, bahwa barang yang dihibahkan itu, tidak boleh dimasukkan dalam campur kaya yang ada antara suami dan istri.
Menurut pasal 124 ayat 1 BW milik bersama dari suami istri diurus oleh suami. Malahan lebih dari itu ditetapkan pula dalam ayat 2, bahwa si suami dapat menjual, mengasingkan dan membereskan barang-barang milik bersama itu tanpa campur tangan si istri, menurut pasal 140 ayat 3 BW, jika dijanjikan semula antara mereka, bahwa barang-barang tak Bergerak dan efek-efek, yang berasal dari si istri atau dengan perantara si istri masuk dalam budel bersama, tidak dapat diasingkan atau dibaratkan tanpa campur tangan istri.
Ayat tiga dari pasal 124 Dewi membatasi kekuasaan ke suami perihal menghibahkan barang-barang dari milik bersama, yaitu penghibahan ini Kalau mengenai barang-barang tak bergerak seperti tanah dan rumah atau mengenai segenap barang-barang bergerak atau sebagian tertentu dari barang-barang bergerak itu, hanya boleh dilakukan dengan maksud untuk memberikan kepada anak-anak dari perkawinan itu, suatu bekal untuk hidup secara pantas.
Juga tidak diperbolehkan si suami menghibahkan suatu barang bergerak tertentu dengan perjanjian, bahwa ia dapat mendapat hak menarik hasil atas barang itu.
Oleh karena dalam burgerlijk wetboek tidak diatur tentang bertanggung jawab atas hal mengurus milik bersama ini, maka lazimnya dianggap, bahwa si suami tidak berwajib memberi pertanggungan jawab kepada siapapun juga tentang baik atau tidak mengurus milik bersama itu.
Dan lagi si istri Menurut Pasal 132 BW ada hak untuk, apabila milik bersama dihentikan dan dibagi-bagi, tidak ikut serta dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari milik bersama itu.
Hak si istri ini tidak dilanjutkan dengan suatu persetujuan antara suami dan istri. Kalau si istri mempergunakan hal ini makanya dari barang-barang milik bersama ini hanya boleh menerima taplak meja sprei dan lain sebagainya dan pakaian sendiri.
Yang penting ialah bahwa si istri lantas bebas dari pembayaran hutang hutang yang melekat pada milik bersama itu kecuali hutang-hutang yang dibikin oleh si istri itu sendiri. Dan apabila ia membayar hutang hutang yang termasuk belakangan ini ia dapat menerima kembali uang itu dari suami atau bekas suami atau dari ahli warisnya Jika suami itu sudah meninggal dunia.[2]



C.    Penyelesaian Harta Ketika Terjadi Perceraian
Di atas telah dikatakan, bahwa peraturan tentang kekayaan suami dan istri yang berlaku pada waktu perkawinan mulai berjalan menurut sistem Dewi pada hakikatnya nya tidak dapat diubah selama perkawinan berlangsung. Jadi apabila semula ada campuran kekayaan secara bulat keadaan ini tetap ada. Begitu juga, apabila semula hanya ada campuran keuntungan dan kerugian atau ada campuran bunga dan hasil kekayaan setelah putusnya perkawinan tidak akan ada sama sekali campuran kekayaan.
Dalam keadaan keadaan ini si suami selalu berkuasa mengurus baik barang-barang milik bersama maupun barang-barang milik istrinya. Akatanya si suami dalam mengurus barang-barang ini menghambur-hamburkan kekayaan macam-macam itu. Bdengan ini maka burgerlijk wetboek dalam pasal 186 memberikan kuasa kepada si istri untuk mohon supaya Hakim mengambil keputusan diadakannya perceraian kekayaan.
Akibat dari putusan hakim ini ialah, bahwa semuanya itu tidak ada lagi sama sekali suatu campuran kekayaan antara suami dan istri. Masing-masing mempunyai barang-barang miliknya sendiri dan terutama sisi menerima kembali barang milik pribadinya untuk diurus sendiri.
Barang milik bersama dari bekas suami dan bekas istri tentunya akan dibagi. Dalam hal ini staatsblad 1933 -74 sama sekali tidak membuat suatu ketentuan. Dengan demikian hukum adalah yang harus diperhatikan dalam hal ini.
Biasanya hukum adat itu menghendaki pembagian rata antara kedua belah pihak jadi masing-masing menerima separuhnya. Tetapi mungkin di suatu daerah di indonesia hukum adat menghendaki pembagian sedemikian rupa bahwa bekas suami mendapat dua per tiga dan bekas istri sepertiga.
Seperti telah pernah di singgung di atas Mahkamah Agung dalam putusan putusannya pada pemeriksaan kasasi selalu menentukan, bahwa pembagian ini harus dilakukan secara fifty-fifty.
Pasal 66 memberi kekuasaan kepada pengadilan negeri untuk kalau perlu, mengatur cara membagi barang-barang milik bersama itu yaitu setelah mengadakan perundingan dengan kedua belah pihak dan dengan memperhatikan hukum adat setempat.[3]

D.    Dasar Hukum Anak
Pengertian "Anak" menunjukkan adanya bapak dan ibu dari itu anak dalam hati, bahwa selaku hasil perbuatan bersetubuh dari seorang laki-laki dan seorang perempuan lahir lah dari tubuh sih perempuan seorang manusia lain yang dapat mengatakan, bahwa seorang laki-laki tadi adalah bapaknya dan seorang perempuan tadi adalah ibunya sedang Dia adalah anak dari kedua orang itu.
Oleh karena itu antara waktu bersetubuh dan waktu lahir si anak ada berselang beberapa bulan, maka pada waktu lahir itu seketika tidak mungkin dapat dikatakan, Siapakah bapak yang sebenarnya dari anda itu.
Berhubung dengan kenyataan ini lah, makan apa keperluan adanya suatu perkawinan antara seorang perempuan dan seorang laki-laki, yang dengan bersetubuh menghasilkan lahirnya sama itu.
Hukum di mana pun juga, yang mengenal peraturan perkawinan, mengandung harapan, bahwa seorang suami dan istri tidak akan bersetubuh dengan seseorang yang ketiga.
Berdasarkan atas harapan inilah maka Sudah Selayaknya baik hukum adat dan hukum Islam maupun hukum dari burgerlijk wetboek pasal 250 menentukan, bahwa seorang anak yang lahir atau mulai dikandung oleh ibunya pada waktu ibunya mempunyai suami dalam keadaan biasa adalah anak juga dari suami itu. Dan Perhubungan anak bapak di antara mereka ini dianggap sebagai suatu Perhubungan yang sah artinya menurut hukum.
Hukum Islam menurut Juynboll dalam bukunya halaman 216 menegaskan lagi, bahwa si anak itu, supaya dapat dianggap anak dari suami ibunya, harus lahir sekurang-kurangnya 6 bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang Idah yaitu 4 bulan dan 10 hari sesudah perkawinan terputus.
Ada aliran di antara penganut Agama Islam, yang menganggap seorang anak lahir setelah lampau tenggang Idah sesudah perkawinan terputus tadi, masih sebagai anak dari bekas suami ibunya, asal dapat dianggap, bahwa kelahiran anak itu disebabkan oleh perbuatan bersetubuh antara bekas suami dan bekas istri itu. Dalam hal ini ditetapkan selaku maksimum tenggang ialah 4 tahun, asal saja nyata, bahwa selama 4 tahun tadi Ibunya tidak ada kotoran bulan atau menstruasi.
Adanya tanggal 6 bulan dan tenggang indah dalam hal ini berarti, bahwa seorang anak yang lahir dalam tenggang enam bulan sesudah pernikahan atau sesudah lampau tenggang iddah setelah perkawinan terputus adalah tidak sah artinya tidak mempunyai bapak dalam pengertian bahwa antara anak dan orang lain tiada Perhubungan anak bapak dengan macam-macam hak dan kewajibanmu seperti misalnya tentang nafkah dan kewrinsan.
Tetapi Siapa itu tetap mempunyai ibu, yaitu orang perempuan yang melahirkan si anak itu, dalam pengertian bahwa antara si anak dan si Ibu itu ada Perhubungan hukum yang sama seperti halnya dengan anak sah yang mempunyai bapak.[4]

E.     Kritera Anak Sah dan Anak Luar Kawin Yang Di Akui dan Tidak Di Akui
Istilah anak sah dalam BW hanya dipakai dalam hal ada suatu perkawinan antara bapak dan ibu siapa itu.
Juga kalau perkawinan itu diselenggarakan setelah anak itu sudah lahir, anak itu dapat dianggap disahkan asal saja hal ini ditegaskan pada waktu pernikahan dilakukan.
Syarat mutlak untuk pengesahan ialah, bahwa pada waktu nikah itu atau sebelumnya harus ada pengakuan sebagai anak oleh ibu dan bapak.
Kalau pengakuan Anak itu tidak ada dan pernikahan Bapak dan Ibu ke terlanjur dilakukan tanpa pengakuan anak pada waktu pernikahan itu atau sebelumnya, lengkap pasal 274 BW membuka kemungkinan untuk pemeriksaan anak itu oleh pemerintahan kini menteri kehakiman dulu disebut dengan gubernur jenderal, setelah ada nasehat atau pertimbangan Mahkamah Agung.
Pasal 274 BW ini ditafsirkan, juga oleh Mahkamah Agung, sedemikian rupa, bahwa syarat mutlak bagi pengesahan anak ini ialah, bahwa anak harus diakui oleh ayah dan ibu itu.
Kemungkinan pengesahan anak semacam ini, menurut pasal 275 BW juga ada, apabila tidak mungkin diadakan perkawinan antara Bapak dan Ibu oleh karena salah seorang dari mereka telah meninggal dunia, atau apabila dalam hal ini si Ibu adalah orang Indonesia asli, Tionghoa atau Arab, dan si bapak adalah orang Eropa, menurut pendapat pemerintah ada keberatan terhadap kawinnya ibu dan bapak itu.
Penentuan yang belakangan ini pada zaman sekarang sekiranya praktis tidak akan berlaku, oleh karena penentuan itu adalah sisa dari pandangan kolonial, yang menganggap golongan orang-orang Eropa ke derajat lebih tinggi daripada golongan orang-orang lain yang bukan golongan orang Eropa.
Dalam hal pengakuan anak Dewi pada pasal 284 ayat 3 juga memuat suatu ketentuan yang bersifat kolonial ya itu ditetapkan bahwa apabila ibu dari anak itu adalah seorang perempuan bukan bangsa Eropa dan bapaknya adalah seorang Eropa, maka pengakuan anak oleh Bapak mengakibatkan terputusnya hubungan hukum antara ibu dan anak, kecuali apabila kemudian si Ibu itu dikawin oleh si bapak.
Baik hukum adat maupun hukum Islam dan juga hukum burgerlijk wetboek membuka kemungkinan bagi siswa untuk mengingkari bahwa ia adalah Bapak dari anak itu. Tetapi hari ini harusdibkuktikan. Tetapi hal ini harus dibuktikan.
Dalam perihal tiada bukti cukup, bahwa si istri melakukan zina maka hukum Islam memungkinkan sisuami melakukan sumpah bahwa pada Tuhan terhadap istrinya itu adalah benar. Sebaliknya si istri juga dapat bersumpah, bahwa ia tidak lah melakukan zina.[5]




F.     Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak
Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa seorang anak yang belum dewasa, adalah berada dalam pengawasan dan penguasaan orang tua dan tidak dapat melakukan perbuatan hukum di dalam masyarakat.
Penguasaan orang tua Ini mengandung kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak tercantum pada pasal 142 dan pasal 46 dari undang-undang perkawinan untuk orang-orang Indonesia asli Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon, staatsblad 1933-74.
Hukum Islam tentang pemaksaan orang tua ini membedakan dalam dua hal yaitu pertama badan ah yaitu memelihara orangnya si anak yang belum dewasa itu hal mana meliputi pemeliharaan badannya pemerian tempat kediaman dan pemberian pendidikan dan sebagainya. Wilayar al-mal yaitu memelihara kekayaan si anak dan kepentingan-kepentingan si anak yang berhubungan dengan kekayaan itu.
Menurut juynboll dalam bukunya halaman 228, hadhanah pada hakikatnya nya dilakukan oleh kedua orang tua bersama, kecuali apabila hakekatnya dilakukan oleh kedua orang tua bersama, kecuali apabila perkawinan mereka terputus telah mahal mana ibu lah yang berkuasa sampai sana sudah mumayyiz artinya sudah mempunyai daya membeda-bedakan. Biasanya si anak dianggap Duma Riris pada usia kira-kira 7 tahun. Kemudian si anak dapat memilih sendiri siapa dari kedua orang tua itu ia ingin mengikuti.
Apabila Ibunya sudah meninggal dunia maka ia diganti oleh ibunya si ibu Dan kalau ini juga sudah meninggal dunia maka ia diganti oleh ibunya lagi baru kalau para leluhur dalam garis keibuan ini tidak ada maka Bapaknya si anak berkuasa melakukan adalah dan kalau bapak juga sudah meninggal dunia maka ia diganti oleh ibunya Kemudian oleh ibu dari sini dari ibunya Kalau mereka ini ini pun sudah meninggal dunia, harus dilakukan oleh sandal-sandal saudara yang terdekat tali kelurahannya dengan.
Kalau dalam hal ini lebih dari seorang yang terdekat tali kekeluargaan yaitu, apabila dua-duanya adalah perempuan maka harus diadakan undian di antara mereka. Biasanya tentunya si anak dianggap berhasil apabila sudah balik yaitu berusia 15 tahun. Kalau waktu ini sudah tiba, maka Si Wali harus menyerahkan kekayaan si anak kepada si anak sendiri dengan disertai pertanggung jawaban. Kalau tentang ini ada perselisihan maka si bapak atau si Kakek harus dipercayai apabila berani disumpah atas kebenaran pertanggung jawabannya. Bagi Wali lain harus ada pembuktian seperti biasa.[6]

G.    Hak Pemeliharaan Anak
Hak Pemeliharaan Anak atau yang kita kenal dengan Hak asuh anak itu sendiri merupakan bentuk mashdar atau mengasuh anak. Mengasuh dalam artian tersebut adalah menjaga anak yang belum mampu mengatur dan merawat diri sendiri serta belum mampu menjaga diri dari berbagai hal yang mungkin membahayakan dirinya. Hukum tersebut dilakukan ketika pasangan bercerai dan mempunyai anak yang masih belum cukup umur untuk berpisah dengan ibunya. Ini disebabkan karena anak masih memerlukan pengasuhan, penjagaan, perawatan, pendidikan, dan melakukan hal-hal demi kemaslahatannya. Itulah yang disebut dengan perwalian.
Pada pasal 41 UU Perkawinan Th. 1974, disebutkan bahwa salah satu dampak putusnya hubungan perkawinan adalah ayah atau ibu memiliki kewajiban memelihara dan mendidik anak. Bila terjadi perselisihan  tentang penguasaan anak, pengadilan akan memberi keputusan kepada siapa hak pengasuhan anak tersebut akan diberikan.
Pada poin kedua, ayah memiliki tanggung jawab atas seluruh biaya pendidikan dan pemeliharaan yang diperlukan anak tersebut. Jika dalam kenyataannya ayah tidak mampu memenuhi kewajibannya, pengadilan akan menentukan bahwa ibu ikut membantu memikul biaya itu. Pengadilan dapat mewajibkan pada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan atau menentukan kewajiban untuk bekas istri.
Di dalam UU Perkawinan belum ada pasal yang menjelaskan tentang hak asuh anak setelah cerai jatuh pada ibu atau ayah. Tetapi terkait hal ini, pada Kompilasi Hukum Islam Th. 1991 pasal 105 dijelaskan secara lebih terperinci yakni: Pemeliharaan anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibu Pemeliharaan anak yang sudah berusia di atas 12 tahun diserahkan kepada anak untuk menentukan di anatra ibu atau ayahnya sebagai hak pemeliharaannya Biaya pemeliharaan menjadi tanggungan ayah Pada pasal 31 Undang – Undang Nomor 23 Th. 2002 mengenai Perlindungan Anak, dijelaskan bahwa salah satu orangtua (ayah/ ibu), saudara kandung, atau keluarga hingga derajat ketiga boleh mengajukan gugatan ke pengadilan agama mengenai pencabutan kuasa hak asuh anak bila ada alasan yang kuat terkait hal tersebut.
Untuk memutuskan siapakah yang berhak mendapatkan kuasa asuh anak, masih belum ada aturan yang jelas. Bahkan hak asuh anak menurut hukum perdata juga belum jelas. Oleh sebab itu tidak heran jika banyak masalah dalam kasus perebutan hak asuh anak.[7]














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
 Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya hidup bersama sangat berakibat dalammasyarakat yang dalam komponennya disebut keluarga yang mana ada hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu di dalamnya.
Anak merupakan hasil dari persetubuhan yang dilakukan oleh dua orang manusia yang mana akan menjadi ayah bagi laki-laki dan ibu bagi si wanitanya dan anakbag yang dilahirkan. Anak memiliki banyak hak dan kewajiban yang tinbul diantaranya hak dan kewajiban orang tua terhadap anak dan hak dan kewajiban antar sesama orang tua yaitu si ibu dan ayah.
Berdasarkan atas harapan inilah maka Sudah Selayaknya baik hukum adat dan hukum Islam maupun hukum dari burgerlijk wetboek pasal 250 menentukan, bahwa seorang anak yang lahir atau mulai dikandung oleh ibunya pada waktu ibunya mempunyai suami dalam keadaan biasa adalah anak juga dari suami itu. Dan Perhubungan anak bapak di antara mereka ini dianggap sebagai suatu Perhubungan yang sah artinya menurut hukum.
Hukum Islam menurut Juynboll dalam bukunya halaman 216 menegaskan lagi, bahwa si anak itu, supaya dapat dianggap anak dari suami ibunya, harus lahir sekurang-kurangnya 6 bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang Idah yaitu 4 bulan dan 10 hari sesudah perkawinan terputus.
 
B.     Kritik dan Saran
           Sekian hasil dari makalah kami sebagai penulis, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan diri penulis pribadi. Kami sebagai penulis sangat menerima sumbangan pemikiran yang bersifat membangun pastinya. Semoga dengan di jelaskan nya materi bersangkutan bisa kita terapkan nilai postifnya. Akhir kata Asslamualaikum Wr. Wb.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.advokatperceraian.com/hak-asuh-anak-menurut-hukum-perdata-dan-prosedur-yang-harus-dilewati/
Perangin, Effendi. 1999. Hukum Perdata. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Prodjodikoro,Wirjono. 1991. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung.
Triwulan Tutik, Titik. 2010. Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana.





















 



[1] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, hlm 107-112.
[2] Ibid., hlm. 144-145.
[3] Effendi Perangin, Hukum Perdata, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 73-76.
[4] Wirjono Prodjodikoro, op., cit. hlm. 111-114.
[5] Titik Triwulan Tutik, Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2010. hlm. 97-123.

[6] Ibid., hlm. 121-126.
[7] https://www.advokatperceraian.com/hak-asuh-anak-menurut-hukum-perdata-dan-prosedur-yang-harus-dilewati/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ta’rif dan Pembahasannya

Ilmu Bantu Dalam Hukum Pidana

Jinayah dan Jarimah