Hukum Harta (Perkawinan & Anak)
MAKALAH
HUKUM
PERDATA
Tentang:
“ Hukum Harta (Perkawinan & Anak) ”
Oleh:
Kelompok
5
Hibatul
Wafi : 1630203026
Dosen
Pembimbing :
Hebby Rahmatul Utamy, S.Hi., M.Sy.
JURUSAN
HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
2018
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis
ucapkan kehadiran Allah SWT yang selalu senantiasa melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya. Berkat rahmat dan karunia-Nya itu penulis dapat menyelesaikan
Makalah yang berjudul “Hukum Harta (Perkawinan & Anak)”.
Makalah ini disusun
sebagai salah satu bentuk penugasan yang di berikan Dosen pengampu mata kuliah
Hukum Perdata
pada Fakultas Syariah, Jurusan Hukum Tata Negara, Institu Agama Islam Negeri
(IAIN) Batusangkar.Selesainya penulisan Makalah ini tidak lepas dari dukungan
dan bimbingan berbagai pihak, oleh sebab itu penulis mengucapkan rasa terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Kedua orang tua penulis.
2.
Senior dan teman-teman yang telah banyak
memberikan pengetahuan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan makalah
ini.
3.
Bapak dosen yang telah memberikan
pengetahuan dan arahan kepada penulis selama mengikuti proses perkuliahan Hukum
Perdata. Dan juga kepada pihak-pihak lain
yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis berharap semoga
Makalah ini bermanfaat dan memberikan wawasan bagi penulis dan pembaca. Penulis
mohon maaf jika dalam penulisan Makalah ini terdapat kesalahan, baik secara
teknis maupun isinya. Dalam rangka penyempurnaan isi Makalah ini, penulis
mengharapkan sumbangan pemikiran para pembaca, berupa saran dan kritikan yang
bersifat membangun. Akhir do’a keada Allah SWT semoga amal baik, bantuan dan
bimbingan yang di berikan kepada penulis, semoga mendapat balasan yang berlipat
ganda disisi-Nya. Amiin ya robbal ‘alamin.
Batusangkar, Maret 2018
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pokok
tujuan dari suatu perkawinan ialah bersama-sama hidup pada suatu masyarakat
dalam satu ikatan kekeluargaan. Syarar untuk hidup seorang manusia ialah
makanan dan pakaian. Untuk mendapatkan makanan dan pakaian ini diperlukan suatu
kekayaan duniawi yang dapat dipergunakan oleh suami istri dalam hidup bersama.
Dengan
demikian muncul kebutuhan masyarakat akan suatu peraturan tentang kekayaan
dalam perkawinan itu.
Dalam hal ini ada dua sistem peraturan di
Indonesia,lyang diametral berhadap-hadapan satu sama lain, yaitu di satu pihak
peraturan menurut hukum Islam dan di lain pihak peraturan menurut hukum
burgerlijk wetboek.
Hidup
bersama ini berakibat sangat penting di dalam masyarakat. Akibat paling dekat
ialah bahwa dengan hidup bersama antara dua orang manusia ini mereka sekedar
mendirikan diri dari anggota-anggota lain dari masyarakat. Akibat yang lebih
jauh ialah bahwa kalau kehidupan pada anak-anak keturunan mereka, dengan
anak-anaknya itu mereka merupakan suatu keluarga tersendiri yang memiliki hak
dan kewajiban Tapsel Dedi pulang termasuk ke dalam pembagian harta.
Maka
dari itu saya bersama penulis yang lainnya akan membahas materi ini yang berhubungan
dengan "Hukum Harta (Perkawinan dan Anak).
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Pengaturan
Harta Perkawinan ?
2.
Bagaimana Kewenangan
Terhadap Harta ?
3.
Bagaimana Penyelesaian
Harta Ketika Terjadi Perceraian ?
4.
Bagaimana Dasar Hukum Anak ?
5.
Bagaimana Kritera Anak Sah dan Anak Luar Kawin Yang Di Akui dan
Tidak Di Akui ?
6.
Bagaimana
Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak ?
7.
Bagaimana
Hak Pemeliharaan Anak ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan Bagaimana Pengaturan
Harta Perkawinan !
2.
Menjelaskan Bagaimana Kewenangan Terhadap Harta !
3.
Menjelaskan Bagaimana Penyelesaian Harta Ketika Terjadi Perceraian !
4.
Menjelaskan Bagaimana Dasar Hukum Anak !
5.
Menjelaskan Bagaimana Kritera Anak Sah
dan Anak Luar Kawin Yang Di Akui dan Tidak Di Akui !
6.
Menjelaskan Bagaimana Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak !
7.
Menjelaskan Bagaimana Hak Pemeliharaan Anak !
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengaturan
Harta Perkawinan
Dalam
hal ini ada dua sistem peraturan di Indonesia, yang diametral berhadap-hadapan
satu sama lain, yaitu di satu pihak peraturan menurut hukum Islam dan di lain
pihak peraturan menurut hukum burgerlijk wetboek.
1.
Hukum Islam
Hukum
Islam menganggap kekayaan suami dan istri masing-masing terpisah Satu dari yang
lain. Barang-barang milik masing-masing pada waktu perkawinan dimulai, tetap
menjadi milik masing-masing. Demikian semoga segala barang-barang yang mereka
masing-masing mendapat selama perkawinan berlangsung, tidak dicampur melainkan
terpisah satu dari yang lain, artinya: atas barang-barang milik si suami, si
istri tidak mempunyai hak dan atas barang-barang milik si istri, si suami tidak
mempunyai hak.
Ini
tidak berarti, bahwa suami tidak dapat memakai barang milik istri, dan
sebaliknya, tetapi pemakaian ini berdasar atas perjanjian pinjam meminjam
antara suami dan istri. Perjanjian ini tidak perlu secara tegas, melainkan terjadi biasanya secara diam-diam.
2.
Hukum Burgelijk Wetboek
Hukum
Burgelijk Wetboek sebaliknya menganggap sebagai pokok pangkal, bahwa apabila
suami dan istri pada waktu akan melakukan pernikahan, tidak mengadakan
perjanjian apa-apa diantara mereka, maka akibat dari perkawinan itu ialah
percampuran kekayaan suami dan istri menjadi satu kekayaan, milik orang berdua
bersama-sama, dan bagian masing-masing dalam kekayaan bersama itu adalah
separuh.
Separuh ini merupakan bagian tak terpisah, artinya tidak
mungkin masing-masing suami atau istri minta pembagian kekayaan itu, kecuali
jika perkawinan sendiri terputus, atau jika dilakukan perceraian dari meja dan
tempat tidur atau perceraian kekayaan, yang hanya dapat terjadi dengan melalui
suatu acara tertentu, termuat dalam burgerlijk wetboek.
Di
atas dikatakan, bahwa sebelum perkawinan dimulai, bakal suami dan Bakal istri
dapat mengadakan perjanjian di antara mereka mengenai kekayaan mereka.
Perjanjian ini oleh burgerlijk wetboek dinamakan
"huwelijksvoorwaarden" dan dapat merupakan pembagian bentuk yang
masing-masing diatur dalam BW, antara lain "gemeenschap van winst en
verlies" (campuran untung dan rugi) atau "gemeebnschap van vruchten en
inkomsten" (campur penghasilan).
Pada pokoknya "huwelijksvoorwaarden" ini
menerobos pokok hakikat, bahwa dengan suatu perkawinan adat terjadi campuran
kekayaan suami dan istri menjadi satu kekayaan bersama (gemeenschap van
goedere).
Kalau sudah sekali diadakan perjanjian perkawinan ini,
maka suami dan istri, selama perkawinan berlangsung, tidak dapat mengubah
perjanjian itu dengan cara apapun juga (pasal 149 BW).
Antara dua sistem dari hukum Islam di satu pihak dan dari
hukum burgerlijk wetboek di lain pihak ini, hukum adat di berbagai daerah di
Indonesia merupakan suatu sistem tengah-tengah, ya itu ada kemungkinan dalam
suatu perkawinan sebagian dari kekayaan masing-masing suami dan istri terpisah
satu dari yang lain, dan ada kemungkinan sebagian kekayaan itu tercampur
menjadi kekayaan bersama dari mereka.
3.
Hukum Islam
Ada
kemungkinan dalam suatu daerah hukum Islam perihal perkawinan berpengaruh
sedemikian rupa, sehingga pada pokoknya hukum Islam di turut juga dalam hal
kekayaan dalam perkawinan.
Dari
3 sistem tersebut di atas, hukum Islam merupakan sistem yang paling sederhana
peraturannya. Disitu tidak ada sebagian barang-barang kepengen suami dan istri
yang merupakan suatu campuran kekayaan. Dan justru campuran kekayaan inilah
yang sering mengakibatkan kesulitan dan maka dari itu membutuhkan peraturan
khusus untuk mengatasi kesulitan itu.
Menurut
hukum Islam, suami dan istri masing-masing mempunyai kekayaan sendiri, baik
barang yang mereka masing-masing bahwa pada permulaan perkawinan, maupun
barang-barang yang mereka masing-masing mendapat selama perkawinan berlangsung
sebagai hasil pekerjaannya, sebagai penghibahan dari orang lain, sebagai
pembelian oleh mereka dan lain-lain sebagainya.
Hal
ini juga mempermudah soal Siapa yang harus mengurus barang-barang itu dan siapa
yang berkuasa menjual barang-barang itu. Dalam hal ini kekuasaan-kekuasaan
terhadap barang-barang itu tetap berada di pihak Siapa yang mempunyai barang
itu. Hal ini dipermudah pula oleh ketentuan dalam hukum Islam, bahwa seorang
perempuan yang bersuami, leluasa untuk melakukan segala perbuatan hukum tanpa
bantuan atau kuasa dari suaminya, juga yang mengenai barang-barang kekayaan
nya.
4.
Hukum Adat
Seperti
telah dikatakan di atas, dalam suatu perkawinan menurut hukum adat Ada
kemungkinan sebagian dari kekayaan suami dan istri masing-masing terpisah satu
sama lainnya, dan sebagian merupakan campur Kaya.
Bagian
ke satu dari kekayaan tersebut, jadi kepunyaan masing-masing dari suami dan
istri dapat dibagi lagi dalam dua bagian yaitu bagian yang pertama
barang-barang yang masing-masing mendapat secara warisan dari orang tua atau
nenek moyang, sedangkan bagian kedua barang-barang yang masing-masing mendapat
secara hibah atau secara usaha sendiri.
Barang-barang yang terdapat secara warisan ini namanya
bermacam-macam di berbagai daerah, seperti misalnya pimbut di tanah ngaju
Dayak, sisila Makasar, babakab Bali, asal asli atau pusaka di Jawa dan
Sumatera, gono, gawan.
Barang-barang
ini terikat, sangat atau sedikit, pada peraturan kekeluargaan yang berlainan di
berbagai daerah, masing-masing sesuai dengan corak kekeluargaan yang berlaku di
suatu tempat.
Diminangkabau misalnya suatu barang pusaka, ya itu
kepunyaan suatu keluarga, tidak dapat dihibahkan kepada atau diwariskan oleh
seorang tertentu, melainkan tetap merupakan barang yang oleh orang perseorangan
dari suatu keluarga hanya dapat dipakai saja, tidak dimiliki.[1]
B.
Kewenangan
Terhadap Harta
Dalam
praktek dianggap diperbolehkan suami dan istri mendirikan suatu perseroan
terbatas, oleh karena perjanjian semacam
ini antara suami dan istri tidak dilarang.
Pasal 120 BW bagian penghabisan memungkinkan suatu
kekecualian dari campur kekayaan secara bulat, yaitu apabila suami atau istri
masing-masing mendapat satu hibah wasiat atau hibah biasa, dalam mana yang
menghibahkan menentukan, bahwa barang yang dihibahkan itu, tidak boleh
dimasukkan dalam campur kaya yang ada antara suami dan istri.
Menurut pasal 124 ayat 1 BW milik bersama dari suami
istri diurus oleh suami. Malahan lebih dari itu ditetapkan pula
dalam ayat 2, bahwa si suami dapat menjual, mengasingkan dan membereskan
barang-barang milik bersama itu tanpa campur tangan si istri, menurut pasal 140
ayat 3 BW, jika dijanjikan semula antara mereka, bahwa barang-barang tak
Bergerak dan efek-efek, yang berasal dari si istri atau dengan perantara si
istri masuk dalam budel bersama, tidak dapat diasingkan atau dibaratkan tanpa
campur tangan istri.
Ayat tiga dari pasal 124 Dewi membatasi kekuasaan ke
suami perihal menghibahkan barang-barang dari milik bersama, yaitu penghibahan
ini Kalau mengenai barang-barang tak bergerak seperti tanah dan rumah atau
mengenai segenap barang-barang bergerak atau sebagian tertentu dari
barang-barang bergerak itu, hanya boleh dilakukan dengan maksud untuk
memberikan kepada anak-anak dari perkawinan itu, suatu bekal untuk hidup secara
pantas.
Juga
tidak diperbolehkan si suami menghibahkan suatu barang bergerak tertentu dengan
perjanjian, bahwa ia dapat mendapat hak menarik hasil atas barang itu.
Oleh karena dalam burgerlijk wetboek tidak diatur tentang
bertanggung jawab atas hal mengurus milik bersama ini, maka lazimnya dianggap,
bahwa si suami tidak berwajib memberi pertanggungan jawab kepada siapapun juga
tentang baik atau tidak mengurus milik bersama itu.
Dan lagi si istri Menurut Pasal 132 BW ada hak untuk,
apabila milik bersama dihentikan dan dibagi-bagi, tidak ikut serta dalam
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari milik bersama itu.
Hak
si istri ini tidak dilanjutkan dengan suatu persetujuan antara suami dan istri.
Kalau si istri mempergunakan hal ini makanya dari barang-barang milik bersama
ini hanya boleh menerima taplak meja sprei dan lain sebagainya dan pakaian
sendiri.
Yang
penting ialah bahwa si istri lantas bebas dari pembayaran hutang hutang yang
melekat pada milik bersama itu kecuali hutang-hutang yang dibikin oleh si istri
itu sendiri. Dan apabila ia membayar hutang hutang yang termasuk belakangan ini
ia dapat menerima kembali uang itu dari suami atau bekas suami atau dari ahli
warisnya Jika suami itu sudah meninggal dunia.[2]
C.
Penyelesaian
Harta Ketika Terjadi Perceraian
Di
atas telah dikatakan, bahwa peraturan tentang kekayaan suami dan istri yang
berlaku pada waktu perkawinan mulai berjalan menurut sistem Dewi pada hakikatnya
nya tidak dapat diubah selama perkawinan berlangsung. Jadi apabila semula ada
campuran kekayaan secara bulat keadaan ini tetap ada. Begitu juga, apabila
semula hanya ada campuran keuntungan dan kerugian atau ada campuran bunga dan
hasil kekayaan setelah putusnya perkawinan tidak akan ada sama sekali campuran
kekayaan.
Dalam
keadaan keadaan ini si suami selalu berkuasa mengurus baik barang-barang milik
bersama maupun barang-barang milik istrinya. Akatanya si suami dalam mengurus
barang-barang ini menghambur-hamburkan kekayaan macam-macam itu. Bdengan ini
maka burgerlijk wetboek dalam pasal 186 memberikan kuasa kepada si istri untuk
mohon supaya Hakim mengambil keputusan diadakannya perceraian kekayaan.
Akibat
dari putusan hakim ini ialah, bahwa semuanya itu tidak ada lagi sama sekali
suatu campuran kekayaan antara suami dan istri. Masing-masing mempunyai
barang-barang miliknya sendiri dan terutama sisi menerima kembali barang milik
pribadinya untuk diurus sendiri.
Barang
milik bersama dari bekas suami dan bekas istri tentunya akan dibagi. Dalam hal
ini staatsblad 1933 -74 sama sekali tidak membuat suatu ketentuan. Dengan
demikian hukum adalah yang harus diperhatikan dalam hal ini.
Biasanya
hukum adat itu menghendaki pembagian rata antara kedua belah pihak jadi
masing-masing menerima separuhnya. Tetapi mungkin di suatu daerah di indonesia
hukum adat menghendaki pembagian sedemikian rupa bahwa bekas suami mendapat dua
per tiga dan bekas istri sepertiga.
Seperti
telah pernah di singgung di atas Mahkamah Agung dalam putusan putusannya pada
pemeriksaan kasasi selalu menentukan, bahwa pembagian ini harus dilakukan
secara fifty-fifty.
Pasal
66 memberi kekuasaan kepada pengadilan negeri untuk kalau perlu, mengatur cara
membagi barang-barang milik bersama itu yaitu setelah mengadakan perundingan
dengan kedua belah pihak dan dengan memperhatikan hukum adat setempat.[3]
D.
Dasar
Hukum Anak
Pengertian "Anak" menunjukkan adanya bapak dan
ibu dari itu anak dalam hati, bahwa selaku hasil perbuatan bersetubuh dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan lahir lah dari tubuh sih perempuan
seorang manusia lain yang dapat mengatakan, bahwa seorang laki-laki tadi adalah
bapaknya dan seorang perempuan tadi adalah ibunya sedang Dia adalah anak dari
kedua orang itu.
Oleh karena itu antara waktu bersetubuh dan waktu lahir
si anak ada berselang beberapa bulan, maka pada waktu lahir itu seketika tidak
mungkin dapat dikatakan, Siapakah bapak yang sebenarnya dari anda itu.
Berhubung dengan kenyataan ini lah, makan apa keperluan
adanya suatu perkawinan antara seorang perempuan dan seorang laki-laki, yang
dengan bersetubuh menghasilkan lahirnya sama itu.
Hukum
di mana pun juga, yang mengenal peraturan perkawinan, mengandung harapan, bahwa
seorang suami dan istri tidak akan bersetubuh dengan seseorang yang ketiga.
Berdasarkan
atas harapan inilah maka Sudah Selayaknya baik hukum adat dan hukum Islam
maupun hukum dari burgerlijk wetboek pasal 250 menentukan, bahwa seorang anak
yang lahir atau mulai dikandung oleh ibunya pada waktu ibunya mempunyai suami
dalam keadaan biasa adalah anak juga dari suami itu. Dan Perhubungan anak bapak
di antara mereka ini dianggap sebagai suatu Perhubungan yang sah artinya
menurut hukum.
Hukum
Islam menurut Juynboll dalam bukunya halaman 216 menegaskan lagi, bahwa si anak
itu, supaya dapat dianggap anak dari suami ibunya, harus lahir
sekurang-kurangnya 6 bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang Idah yaitu
4 bulan dan 10 hari sesudah perkawinan terputus.
Ada
aliran di antara penganut Agama Islam, yang menganggap seorang anak lahir
setelah lampau tenggang Idah sesudah perkawinan terputus tadi, masih sebagai
anak dari bekas suami ibunya, asal dapat dianggap, bahwa kelahiran anak itu
disebabkan oleh perbuatan bersetubuh antara bekas suami dan bekas istri itu. Dalam
hal ini ditetapkan selaku maksimum tenggang ialah 4 tahun, asal saja nyata,
bahwa selama 4 tahun tadi Ibunya tidak ada kotoran bulan atau menstruasi.
Adanya
tanggal 6 bulan dan tenggang indah dalam hal ini berarti, bahwa seorang anak
yang lahir dalam tenggang enam bulan sesudah pernikahan atau sesudah lampau
tenggang iddah setelah perkawinan terputus adalah tidak sah artinya tidak
mempunyai bapak dalam pengertian bahwa antara anak dan orang lain tiada
Perhubungan anak bapak dengan macam-macam hak dan kewajibanmu seperti misalnya
tentang nafkah dan kewrinsan.
Tetapi
Siapa itu tetap mempunyai ibu, yaitu orang perempuan yang melahirkan si anak
itu, dalam pengertian bahwa antara si anak dan si Ibu itu ada Perhubungan hukum
yang sama seperti halnya dengan anak sah yang mempunyai bapak.[4]
E.
Kritera
Anak Sah dan Anak Luar Kawin Yang Di Akui dan Tidak Di Akui
Istilah
anak sah dalam BW hanya dipakai dalam hal ada suatu perkawinan antara bapak dan
ibu siapa itu.
Juga
kalau perkawinan itu diselenggarakan setelah anak itu sudah lahir, anak itu
dapat dianggap disahkan asal saja hal ini ditegaskan pada waktu pernikahan
dilakukan.
Syarat
mutlak untuk pengesahan ialah, bahwa pada waktu nikah itu atau sebelumnya harus
ada pengakuan sebagai anak oleh ibu dan bapak.
Kalau
pengakuan Anak itu tidak ada dan pernikahan Bapak dan Ibu ke terlanjur
dilakukan tanpa pengakuan anak pada waktu pernikahan itu atau sebelumnya,
lengkap pasal 274 BW membuka kemungkinan untuk pemeriksaan anak itu oleh
pemerintahan kini menteri kehakiman dulu disebut dengan gubernur jenderal,
setelah ada nasehat atau pertimbangan Mahkamah Agung.
Pasal
274 BW ini ditafsirkan, juga oleh Mahkamah Agung, sedemikian rupa, bahwa syarat
mutlak bagi pengesahan anak ini ialah, bahwa anak harus diakui oleh ayah dan
ibu itu.
Kemungkinan
pengesahan anak semacam ini, menurut pasal 275 BW juga ada, apabila tidak
mungkin diadakan perkawinan antara Bapak dan Ibu oleh karena salah seorang dari
mereka telah meninggal dunia, atau apabila dalam hal ini si Ibu adalah orang
Indonesia asli, Tionghoa atau Arab, dan si bapak adalah orang Eropa, menurut
pendapat pemerintah ada keberatan terhadap kawinnya ibu dan bapak itu.
Penentuan
yang belakangan ini pada zaman sekarang sekiranya praktis tidak akan berlaku,
oleh karena penentuan itu adalah sisa dari pandangan kolonial, yang menganggap
golongan orang-orang Eropa ke derajat lebih tinggi daripada golongan
orang-orang lain yang bukan golongan orang Eropa.
Dalam
hal pengakuan anak Dewi pada pasal 284 ayat 3 juga memuat suatu ketentuan yang
bersifat kolonial ya itu ditetapkan bahwa apabila ibu dari anak itu adalah
seorang perempuan bukan bangsa Eropa dan bapaknya adalah seorang Eropa, maka
pengakuan anak oleh Bapak mengakibatkan terputusnya hubungan hukum antara ibu
dan anak, kecuali apabila kemudian si Ibu itu dikawin oleh si bapak.
Baik
hukum adat maupun hukum Islam dan juga hukum burgerlijk wetboek membuka
kemungkinan bagi siswa untuk mengingkari bahwa ia adalah Bapak dari anak itu.
Tetapi hari ini harusdibkuktikan. Tetapi hal ini harus dibuktikan.
Dalam
perihal tiada bukti cukup, bahwa si istri melakukan zina maka hukum Islam
memungkinkan sisuami melakukan sumpah bahwa pada Tuhan terhadap istrinya itu
adalah benar. Sebaliknya si istri juga dapat bersumpah, bahwa ia tidak lah
melakukan zina.[5]
F.
Kewajiban
Orang Tua Terhadap Anak
Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa seorang anak yang
belum dewasa, adalah berada dalam pengawasan dan penguasaan orang tua dan tidak
dapat melakukan perbuatan hukum di dalam masyarakat.
Penguasaan
orang tua Ini mengandung kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak
tercantum pada pasal 142 dan pasal 46 dari undang-undang perkawinan untuk
orang-orang Indonesia asli Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon, staatsblad
1933-74.
Hukum
Islam tentang pemaksaan orang tua ini membedakan dalam dua hal yaitu pertama
badan ah yaitu memelihara orangnya si anak yang belum dewasa itu hal mana
meliputi pemeliharaan badannya pemerian tempat kediaman dan pemberian
pendidikan dan sebagainya. Wilayar al-mal yaitu memelihara kekayaan si anak dan
kepentingan-kepentingan si anak yang berhubungan dengan kekayaan itu.
Menurut
juynboll dalam bukunya halaman 228, hadhanah pada hakikatnya nya dilakukan oleh
kedua orang tua bersama, kecuali apabila hakekatnya dilakukan oleh kedua orang
tua bersama, kecuali apabila perkawinan mereka terputus telah mahal mana ibu
lah yang berkuasa sampai sana sudah mumayyiz artinya sudah mempunyai daya
membeda-bedakan. Biasanya si anak dianggap Duma Riris pada usia kira-kira 7
tahun. Kemudian si anak dapat memilih sendiri siapa dari kedua orang tua itu ia
ingin mengikuti.
Apabila
Ibunya sudah meninggal dunia maka ia diganti oleh ibunya si ibu Dan kalau ini
juga sudah meninggal dunia maka ia diganti oleh ibunya lagi baru kalau para
leluhur dalam garis keibuan ini tidak ada maka Bapaknya si anak berkuasa
melakukan adalah dan kalau bapak juga sudah meninggal dunia maka ia diganti
oleh ibunya Kemudian oleh ibu dari sini dari ibunya Kalau mereka ini ini pun
sudah meninggal dunia, harus dilakukan oleh sandal-sandal saudara yang terdekat
tali kelurahannya dengan.
Kalau
dalam hal ini lebih dari seorang yang terdekat tali kekeluargaan yaitu, apabila
dua-duanya adalah perempuan maka harus diadakan undian di antara mereka.
Biasanya tentunya si anak dianggap berhasil apabila sudah balik yaitu berusia
15 tahun. Kalau waktu ini sudah tiba, maka Si Wali harus menyerahkan kekayaan
si anak kepada si anak sendiri dengan disertai pertanggung jawaban. Kalau
tentang ini ada perselisihan maka si bapak atau si Kakek harus dipercayai apabila
berani disumpah atas kebenaran pertanggung jawabannya. Bagi Wali lain harus ada
pembuktian seperti biasa.[6]
G.
Hak
Pemeliharaan Anak
Hak Pemeliharaan Anak atau yang kita kenal dengan Hak
asuh anak itu sendiri merupakan bentuk mashdar atau mengasuh anak. Mengasuh
dalam artian tersebut adalah menjaga anak yang belum mampu mengatur dan merawat
diri sendiri serta belum mampu menjaga diri dari berbagai hal yang mungkin
membahayakan dirinya. Hukum tersebut dilakukan ketika pasangan bercerai dan
mempunyai anak yang masih belum cukup umur untuk berpisah dengan ibunya. Ini
disebabkan karena anak masih memerlukan pengasuhan, penjagaan, perawatan,
pendidikan, dan melakukan hal-hal demi kemaslahatannya. Itulah yang disebut
dengan perwalian.
Pada
pasal 41 UU Perkawinan Th. 1974, disebutkan bahwa salah satu dampak putusnya
hubungan perkawinan adalah ayah atau ibu memiliki kewajiban memelihara dan
mendidik anak. Bila terjadi perselisihan
tentang penguasaan anak, pengadilan akan memberi keputusan kepada siapa
hak pengasuhan anak tersebut akan diberikan.
Pada
poin kedua, ayah memiliki tanggung jawab atas seluruh biaya pendidikan dan
pemeliharaan yang diperlukan anak tersebut. Jika dalam kenyataannya ayah tidak
mampu memenuhi kewajibannya, pengadilan akan menentukan bahwa ibu ikut membantu
memikul biaya itu. Pengadilan dapat mewajibkan pada bekas suami untuk memberi
biaya penghidupan atau menentukan kewajiban untuk bekas istri.
Di
dalam UU Perkawinan belum ada pasal yang menjelaskan tentang hak asuh anak
setelah cerai jatuh pada ibu atau ayah. Tetapi terkait hal ini, pada Kompilasi
Hukum Islam Th. 1991 pasal 105 dijelaskan secara lebih terperinci yakni: Pemeliharaan anak yang belum berusia 12
tahun adalah hak ibu Pemeliharaan
anak yang sudah berusia di atas 12 tahun diserahkan kepada anak untuk
menentukan di anatra ibu atau ayahnya sebagai hak pemeliharaannya Biaya pemeliharaan menjadi tanggungan
ayah Pada pasal 31 Undang – Undang Nomor 23
Th. 2002 mengenai Perlindungan Anak, dijelaskan bahwa salah satu orangtua
(ayah/ ibu), saudara kandung, atau keluarga hingga derajat ketiga boleh
mengajukan gugatan ke pengadilan agama mengenai pencabutan kuasa hak asuh anak
bila ada alasan yang kuat terkait hal tersebut.
Untuk
memutuskan siapakah yang berhak mendapatkan kuasa asuh anak, masih belum ada
aturan yang jelas. Bahkan hak asuh anak menurut hukum perdata juga belum jelas.
Oleh sebab itu tidak heran jika banyak masalah dalam kasus perebutan hak asuh
anak.[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwasanya hidup bersama
sangat berakibat dalammasyarakat yang dalam komponennya disebut keluarga yang
mana ada hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu di dalamnya.
Anak merupakan hasil dari persetubuhan yang dilakukan
oleh dua orang manusia yang mana akan menjadi ayah bagi laki-laki dan ibu bagi
si wanitanya dan anakbag yang dilahirkan. Anak memiliki banyak hak dan
kewajiban yang tinbul diantaranya hak dan kewajiban orang tua terhadap anak dan
hak dan kewajiban antar sesama orang tua yaitu si ibu dan ayah.
Berdasarkan atas harapan inilah maka Sudah Selayaknya
baik hukum adat dan hukum Islam maupun hukum dari burgerlijk wetboek pasal 250
menentukan, bahwa seorang anak yang lahir atau mulai dikandung oleh ibunya pada
waktu ibunya mempunyai suami dalam keadaan biasa adalah anak juga dari suami
itu. Dan
Perhubungan anak bapak di antara mereka ini dianggap sebagai suatu Perhubungan
yang sah artinya menurut hukum.
Hukum
Islam menurut Juynboll dalam bukunya halaman 216 menegaskan lagi, bahwa si anak
itu, supaya dapat dianggap anak dari suami ibunya, harus lahir
sekurang-kurangnya 6 bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang Idah yaitu
4 bulan dan 10 hari sesudah perkawinan terputus.
B. Kritik dan Saran
Sekian hasil
dari makalah kami sebagai penulis,
semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi
pembaca dan diri penulis pribadi. Kami sebagai penulis sangat menerima
sumbangan pemikiran yang bersifat membangun pastinya. Semoga dengan di jelaskan
nya materi bersangkutan bisa kita terapkan nilai postifnya. Akhir kata
Asslamualaikum Wr. Wb.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.advokatperceraian.com/hak-asuh-anak-menurut-hukum-perdata-dan-prosedur-yang-harus-dilewati/
Perangin, Effendi. 1999. Hukum Perdata.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Prodjodikoro,Wirjono. 1991. Hukum
Perkawinan Di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung.
Triwulan Tutik, Titik. 2010. Sistem
Hukum Nasional. Jakarta: Kencana.
Komentar
Posting Komentar