Utang Piutang (Qardh) dan Pinjam Meminjam (Ariyah)
MAKALAH
FIQH MUAMALAH
Tentang:
“ Utang Piutang (Qardh) dan Pinjam Meminjam (Ariyah) ”
Oleh:
Hibatul Wafi : 1630203026
Dosen Pembimbing :
Farida Arianti, M.Ag.
JURUSAN
HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis ucapkan kehadiran Allah SWT yang
selalu senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Berkat rahmat dan
karunia-Nya itu penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Utang
Piutang (Qardh) dan Pinjam Meminjam (Ariyah)”. Makalah ini disusun
sebagai salah satu bentuk penugasan yang di berikan Dosen pengampu mata kuliah
Fiqih Muamalah pada Fakultas Syariah, Jurusan Hukum Tata Negara, Institu Agama
Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.
Selesainya penulisan Makalah ini tidak lepas dari dukungan dan bimbingan
berbagai pihak, oleh sebab itu penulis mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1.
Kedua
orang tua penulis.
2.
Senior
dan teman-teman yang telah banyak memberikan pengetahuan dan arahan kepada
penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
3.
Ibu/Bapak
dosen yang telah memberikan pengetahuan dan arahan kepada penulis selama
mengikuti proses perkuliahan Fiqih Muamalah. Dan juga kepada pihak-pihak lain
yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis
berharap semoga Makalah ini bermanfaat dan memberikan wawasan bagi penulis dan
pembaca. Penulis mohon maaf jika dalam penulisan Makalah ini terdapat
kesalahan, baik secara teknis maupun isinya. Dalam rangka penyempurnaan isi
Makalah ini, penulis mengharapkan sumbangan pemikiran para pembaca, berupa
saran dan kritikan yang bersifat membangun. Akhir do’a keada Allah SWT semoga
amal baik, bantuan dan bimbingan yang di berikan kepada penulis, semoga
mendapat balasan yang berlipat ganda disisi-Nya. Amiin ya robbal ‘alamin.
Batusangkar, Oktober 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sebagai kelanjutan dari iman seseorang manusia kepada
Allah SWT. Ialah ia mesti berbuat sesuai denga apa yang dikehendaki oleh Allah
SWT. Perbuatan lahir dari manusia merupakan gambaran perbuatan batin yang
disebut iman itu.Sejak manusia lahir kedunia sudah memerlukan materi (harta)
sebagai bekal hidup didunia, karena manusia perlu makanan, pakaian dan papan
(tempat tinggal).
Belum lagi keperluan lainnya, yang
cukup banyak jumlahnya. Bahkan kalau kita pikirkan dalam-dalam, sejak dalam
kandungan pun manusia sudah memerlukan makanan yanng bergizi, agar tumbuh dan
berkembang dengan baik dan sehat.
Pada zaman lampau tuntutan hidup
manusia tidak sebanyak sekarang ini. Terlebih teknologi dan fitur masa depan
yang menjanjikan untuk dimiliki. Hal ini menyebabkan beberapa orang memaksakan
dirinya untuk mendapatkan nya dengan berbagai cara yang bahkan menyalahi kaidah
Islam.
Oleh karna itu saya sebagai penulis
akan merangkaikan dan menyampaikan bagaimana hal bermuamalah didalam islam yang
baik, dan mengikuti alur yang diperbolehkan, hal ini yang disebut Fiqh
Muamalah.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Pengertian Ariyah ?
2.
Bagaimana Dasar Hukum Ariyah ?
3.
Bagaimana
Rukun dan Syarat Ariyah ?
4.
Bagaimana Persamaan dan Perbedaan Antara Qardh dan Ariyah ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan
Pengertian Ariyah !
2.
Menjelaskan
Dasar Hukum Ariyah !
3.
Menjelaskan
Rukun dan Syarat Ariyah !
4.
Menjelaskan
Persamaan dan Perbedaan Antara Qardh dan Ariyah !
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ariyah
Pengertian ‘Aariyah secara bahasa adalah dipinjam, pergi,
kembali, atau beredar. Secara Istilah ‘Aariyah adalah perbuatan seseorang yang
membolehkan atau mengizinkan orang lain untuk mengambil manfaat barang miliknya
tanpa ganti rugi.[1]
Para ulama fikih membedakan pengertian
‘aariyah dan hibah, kendatipun keduanya mengandung pengertian kebebasan
memanfaatkan barang. Menurut mereka dalan ‘aariyah unsur yang dipinjam hanya
manfaatnya, serta dalam waktu yang terbatas. Sedangkan hibah terkait dengan
mater barang yang disedekahkan dan tidak memiliki batas waktu.
Mengenai
defenisi ‘aariyah para ulama mengemukakan pendapat mereka:
Ulama Malikiyah dan Imam as-Syarakhsi
(tokoh fikih Hanafi), mengemukakan defenisinya:
تمليك
المنفعة بغير عوض
“Pemilikan manfaat tanpa ganti rugi”.
Ulama Syafi’iyah dan Hanbali,
mengemukakan defenisnya:
إ باحة المنفعة بلا عو ضٍ
“Kebolehan memanfaatkan barang (orang
lain) tanpa ganti rugi”.
Kedua defenisi tersebut memiliki makna
yang berbeda sehingga membawa perbedaan hukum. Umpamanya: mengenai boleh atau
tidak seseorang meminjamkan mobil yang dipinjamkan kepada orang lain (pihak
ketiga).
Menurut defenisi pertama, mobil itu
boleh dipinjamkan kepada pihak ketiga. Sebab, ada kebebasan pemilikan manfaat
dan boleh dimanfaatkan oleh rang lain (pihak ketiga). Sedangkan menurut
defenisi kedua, mobil itu hanya boleh dimanfaatkan pihak kedua, tidak boleh
dimanfaatkan oleh pihak ketiga kecuali ada izin dari pihak pertama.[2]
B.
Dasar Hukum Ariyah
Transaksi dalam bentuk ‘aariyah ini adalah suatu usaha
tolong menolong oleh karena itu hukumnya boleh ata mubah
sepanjang yang demikian dilakukan sesuai dengan ketentuannya. Dasar
kebolehannya dari Al-Qur’an adalah umum firman Allah dalam surat al-Maidah ayat
2:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ
اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا
آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۚ
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ
صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى
الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar
kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan
binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi
Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah
sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi
kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Dalil dari hadits Nabi adalah apa yang disampaikan oleh
Ya’la bin Umayyah menurut riwayat Ahmad, Abu Daud dan al-Nasai:
Dari Ya’la bin Umayyah yang berkata: berkata Rasul Allah
SAW.: “Bila datang kepadamu utusanku berikanlah kepada mereka tiga puluh baju
besi”. Saya berkata: “Apakah pinjaman yag menjamin atau pinjaman yang dibayar?”
Nabi menjawab: “Pinjaman yang dibayar”.
Hadits Nabi yang lain adalah apa yang dilakukan oleh Nabi
menurut yang disampaikan Anas:
“Suatu ketika terjadi keadaan yang menakutkan di
Madinah, maka Nabi meminjam kuda dari Abu Thalhah”.
Alasan Mubahnya hukum ‘aariyah itu adalah untuk
memudahkan pergaulan hidup manusia dengan jalan tolong menolong dan tidak ada
pihak yang dirugikan. Transaksi dalam bentuk ‘aariyah ini telah terlaksana
dengan ucapan atau tindakan yang menunjukan telah terjadi saling suka sama suka
di antara pihak-pihak yang melakukan transaksi.[3]
Sebenarnya ‘aariyah adalah merupakan sarana
tolong-menolong antara orang yang mampu dan orang yang tidak mampu. Bahkan
antara sesama orang yang mampu dan tidak mampu pun ada kemungkinan terjadi
saling meminjam.
Didalam hadits Rasulullah disebabkan:
“Rasulullah
meminjam kuda Abi Thalib dan mengendarainya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam suatu riwayat dijelaskan, bahwa Rasulullah pernah
meminjam baju perang Abu Safwan dengan suatu jaminan, tidak dengan jalan
merampas dan tanpa izin.[4]
C.
Rukun dan Syarat Ariyah
1. Rukun Ariyah
Jumhur
Ulama mengatakan rukun ‘aariyah ada empat:
a.
Orang yang meminjamkan
b.
Orang yang meminjam
c.
Barang yang dipinjam
d.
Lafal pinjaman (sighah)
Ulama Mazhab Hanafi, mengatakan bahwa rukun
‘aariyah hanya satu saja, yaitu ijab saja tidak perlu kabul.
Namun, menurut Zufar bin Huzail bin Qas (ahli fikih mazhab hanafi), kabul tetap
diperlukan, yaitu yang menjadi rukun ‘aariyah adalah ijab dan kabul.
Menurut Mazhab Hanafi, rukun 1,2 dan 3 yang disebutkan oleh jumhur ulama di
atas, bukan rukun tetapi masuk syarat.
2. Syarat Ariyah
Ulama fikih menjelaskan, bahwa pengertian
mengenai syarat-syarat adalah sebagai berikut:
a.
Orang yang meminjam harus
orang yang berakal dan dapat (cakap) bertindak atas nama hukum, karena orang
yang tidak berakal, tidak dapat memegang amanat. Oleh sebab itu, anak kecil,
orang gila, dungu (cacat mental) tidak boleh mengadakan akad ‘aariyah.
b.
Barang yang akan
dipinjamkan, bukan barang yang apabila dimanfaatkan habis, seperti makanan dan
minuman.
c.
Barang yang akan dipinjamkan
harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam dan kemudian dapat
dimanfaatkan secara langsung pula.
d.
Manfaat barang yang
dipinjam, adalah manfaat yang mubah (dibolehkan syara’). Tidak boleh
meminjamkan senjata kepada musuh atau kepada penjahat, rumah untuk berjudi dan
prostitusi.[5]
Waktu peminjaman sesuai dengan perjanjian. Bila
pinjaman tidak ditentukan waktunya peminjam boleh mengembalikannya bila dia
telah mampu mengembalikannya. Namun sipeminjam dapat meminta kembali barang
pinjaman selama tidak merugikan pihak peminjam. Umpamanya meminta kembali lahan
pertanian menjelang masa panen.[6]
D. Persamaan dan Perbedaan Antara Qardh dan Ariyah
Pada dasarnya Qardh
(utang-piutang) dan Ariyah (pinjam-meminjam) adalah hal yang berbeda, namun
keduanya memiliki perbedaan dan persamaannya tersendiri.
1.
Persamaan Antara Qardh dan Ariyah
Qardh (utang-piutang) mempunyai kemiripan dengan
Ariyah (pinjam-meminjam) dari segi bahwa yang dimiliki hanya maafaatnya dan
pada waktunya dikembalikan kepada pemilik.[7]
2.
Perbedaan Antara Qardh dan Ariyah
Perbedaan antara Qardh (utang-piutang) dengan Ariyah
(pinjam-meminjam) terletak pada barang itu sendiri, jika pada Ariyah barang
yang di pinjam kan tidak diganti atau di tukar dengan barang baru, berbeda
dengan Qardh yang barangnya diganti atau di tukar dengan artian hanya nilai
atau sifat yang tetap. [8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Aariyah adalah perbuatan seseorang yang membolehkan atau
mengizinkan orang lain untuk mengambil manfaat barang miliknya tanpa ganti
rugi.
Transaksi
dalam bentuk ‘aariyah ini adalah suatu usaha tolong menolong oleh karena itu
hukumnya boleh ata mubah sepanjang yang demikian dilakukan sesuai
dengan ketentuannya.
Ulama Mazhab Hanafi,
mengatakan bahwa rukun ‘aariyah hanya satu saja, yaitu ijab saja tidak
perlu kabul. Namun, menurut Zufar bin Huzail bin Qas (ahli fikih mazhab
hanafi), kabul tetap diperlukan, yaitu yang menjadi rukun ‘aariyah adalah ijab
dan kabul. Menurut Mazhab Hanafi, rukun 1,2 dan 3 yang disebutkan oleh
jumhur ulama di atas, bukan rukun tetapi masuk syarat.
Waktu peminjaman sesuai
dengan perjanjian. Bila pinjaman tidak ditentukan waktunya peminjam boleh
mengembalikannya bila dia telah mampu mengembalikannya. Namun sipeminjam dapat
meminta kembali barang pinjaman selama tidak merugikan pihak peminjam.
Umpamanya meminta kembali lahan pertanian menjelang masa panen.
Qardh (utang-piutang) mempunyai kemiripan dengan
Ariyah (pinjam-meminjam) dari segi bahwa yang dimiliki hanya maafaatnya dan
pada waktunya dikembalikan kepada pemilik.
B.
Kritik dan Saran
Sekian Makalah yang saya
sajikan, semoga makalah ini bisa bermanfaat. Saya sebagai penulis sangat
menerima sumbangan pemikiran dari pembaca yang tentunya bersifat membangun.
Dengan
materi yang saya paparkan didalam makalah ini saya berharap marilah kita
sebagai umat yang tidak lepas dari kaidah-kaidah untuk menjalan segala lajur
kehidupan dengan benar, dan tidak memilih jalan yang instan kususnya dalam hal
beruamalah. Akhir kata Assalamualaikum wr.wb.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M. Al. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004).
Djuwaini, Dimyaudin. Fiqh
Mu’amalah. (Yogyakarta, Puataka Belajar, 2010).
Syafei, Rachmat. Fiqh
Muamalah. (Bandung: CV. Pustaka Setia).
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh. (Bogor:
Kencana, 2003).
[2] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004, hlm.239-240.
[3] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Bogor: Kencana, 2003, hlm.
219-220.
[4] M. Ali Hasan, op. Cit. hlm. 240-241.
[5] Ibid., hlm. 243.
[6] Amir Syarifuddin, op. Cit. hlm. 221.
[7] Ibid., hlm. 222.
Komentar
Posting Komentar