Sejarah dan Perkembangan Hukum Tata Negara (Sebelum Kemerdekaan)
MAKALAH
HUKUM
TATA
NEGARA
Tentang:
“Sejarah dan Perkembangan Hukum Tata Negara
(Sebelum Kemerdekaan)”
Oleh:
Kelompok
3
Hibatul
Wafi : 1630203026
Dosen
Pembimbing :
Sa'adatul
Maghfira, S.Hi, M.H.
JURUSAN
HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
2018
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis
ucapkan kehadiran Allah SWT yang selalu senantiasa melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya. Berkat rahmat dan karunia-Nya itu penulis dapat menyelesaikan
Makalah yang berjudul “Sejarah dan Perkembangan Hukum Tata Negara (Sebelum
Kemerdekaan)”.
Makalah ini disusun
sebagai salah satu bentuk penugasan yang di berikan Dosen pengampu mata kuliah
Hukum Tata
Negara pada Fakultas Syariah, Jurusan Hukum Tata Negara, Institu Agama Islam
Negeri (IAIN) Batusangkar.Selesainya penulisan Makalah ini tidak lepas dari
dukungan dan bimbingan berbagai pihak, oleh sebab itu penulis mengucapkan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Kedua orang tua penulis.
2.
Senior dan teman-teman yang telah banyak
memberikan pengetahuan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan makalah
ini.
3.
Ibu dosen
yang telah memberikan pengetahuan dan arahan kepada penulis selama mengikuti
proses perkuliahan Hukum Tata
Negara. Dan juga kepada pihak-pihak lain yang telah membantu yang tidak bisa
penulis sebutkan satu persatu.
Penulis berharap semoga
Makalah ini bermanfaat dan memberikan wawasan bagi penulis dan pembaca. Penulis
mohon maaf jika dalam penulisan Makalah ini terdapat kesalahan, baik secara
teknis maupun isinya. Dalam rangka penyempurnaan isi Makalah ini, penulis
mengharapkan sumbangan pemikiran para pembaca, berupa saran dan kritikan yang
bersifat membangun. Akhir do’a keada Allah SWT semoga amal baik, bantuan dan
bimbingan yang di berikan kepada penulis, semoga mendapat balasan yang berlipat
ganda disisi-Nya. Amiin ya robbal ‘alamin.
Batusangkar, Maret
2018
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam sejarah ketatanegaraan
di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode pra
kemerdekaan dan periode pasca kemerdekaan Indonesia. Untuk mempelajari Hukum
Tatanegara sesuatu Negara, kiranya akan lebih mudah memperoleh kejelasannya
apabila terlebih dahulu dipelajari sejarah ketatanegaraannya.
Maka dari itu, akan mudah diperoleh
kejelasannya apabila dipelajari terlebih dahulu sejarah ketatanegaraannya
sebelum mulai dengan mempelajari aturan-aturan ketatanegaraannya. Terlebih jika
mengingat bahwa dari perjalanan ketatanegaraan Indonesia ternyata penuh
mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika revolusi Bangsa Indonesia,
sehingga mempelajari sejarahnya adalah mutlak perlu.
Didalam makalah ini pun
akan membedah beberapa bahan materi yang dianggap krusial untuk dibahas sebagai
bahan kajian pembahasan.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Sejarah dan Perkembangan Hukum Tata Negara Masa Hindia
Belanda ?
2.
Bagaimana
Sejarah dan Perkembangan Hukum Tata Negara Masa Kependudukan Jepang ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan Bagaimana Sejarah
dan Perkembangan Hukum Tata Negara Masa Hindia Belanda !
2.
Menjelaskan Bagaimana Sejarah dan Perkembangan Hukum Tata Negara Masa
Kependudukan Jepang !
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan Perkembangan Hukum
Tata Negara Masa Hindia Belanda
Dimasa
ini negara Indonesia
(yang sebelumnya
disebut Hindia Belanda) dikonsturksikan merupakan bagian dari Kerajaan Belanda.
Hal ini nampak jelas tertuang dalam Pasal 1 UUD Kerajaan Belanda ( IS 1926 ).
Dengan demikian kekuasaan tertinggi di Hindia Belanda ada di tangan Raja. Akan
tetapi, dalam pelaksanaannya Raja/Ratu tidak melaksanakan kekuasaannya sendiri
di Hindia Belanda, melainkan dibantu oleh Gubernur Jenderal sebagai pelaksana.
Ratu Belanda sebagai pelaksana pemerintahan kerajaan Belanda harus bertanggung
jawab kepada parlemen. Ini menunjukkan sistem pemerintahan yang dipergunakan di
Negeri Belanda dalam sistem Parlementer Kabinet.
Adapun peraturan
perundang-undangan dan lembaga negara yang ada pada masa Hindia Belanda adalah
:
1.
Undang Undang Dasar Kerajaan
Belanda 1938
Pasal 1 :
Indonesia merupakan bagian dari Kerajaan Belanda.
Pasal 62 : Ratu Belanda memegang
kekuasaan pemerintahan tertinggi atas pemerintah Indonesia, dan Gubernur
Jenderal atas nama Ratu Belanda menjalankan pemerintahan Umum.
Pasal 63 : Ketatanegaraan Indonesia
ditetapkan dengan undang-undang, soal-soal intern Indonesia diserahkan
pengaturannya kepada badan-badan di Indonesia, kecuali ditentukan lain dengan
Undang-Undang.
2.
Indische Staatsregeling (IS)
Indische
Staatsregeling (IS) pada
hakekatnya adalah Undang-undang, tetapi karena substansinya mengatur tentang
pokok-pokok dari Hukum Tata Negara yang berlaku di Hindia Belanda (Indonesia),
maka secara riil IS dapat dianggap sebagai Undang-Undang Dasar Hindia Belanda.
Berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dapat ditarik
pemahaman bahwa sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Kerajaan Belanda adalah dengan menggunakan asas dekonsentrasi.
Dengan demikian secara umum, kedudukan dari Gubernur Jenderal dapat disetarakan
sebagai Kepala wilayah atau alat perlengkapan Pusat (Pemerintah Kerajaan
Belanda). Adapun bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang dikenal pada
masa berlakunya IS adalah :
a.
WET
Yang dimaksud
dengan WET adalah peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda dalam hal ini
adalah Ratu/Raja Kerajaan Belanda bersama-sama dengan Parlemen (DPR di
Belanda). Dengan kata lain WET di dalam pemerintah Indonesia disebut
Undang-Undang.
b.
AMVB (Algemene Maatregedling Van
Bestuur)
Yang dimaksud
dengan Algemene Maatregedling Van Bestuur adalah peraturan yang dibuat oleh
Mahkota Belanda dalam hal ini adalah Ratu / Raja Kerajaan Belanda saja, tanpa
adanya campur tangan dari Parlemen. Dengan kata lain Algemene Maatregedling Van
Bestuur di Indonesia disebut Peraturan Pemerintah (PP).
c.
Ordonantie
Yang dimaksud
dengan Ordonantie adalah semua peraturan yang dibuat oleh Gubernur Hindia
Belanda bersama-sama dengan Voolksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda). Ordonantie
sejajar dengan Peraturan daerah (Perda) di dalam pemerintahan Indonesia saat
ini.
d.
RV (Regering Verardening)
Regering
Verardening adalah semua peraturan yang dibuat oleh Gubernur Hindia Belanda
tanpa adanya campur tangan Volksraad. Regering Verardening setara dengan
Keputusan Gubernur .
Keempat
peraturan perundang-undangan ini disebut Algemene Verordeningen (peraturan
umum). Disamping itu juga dikenal adanya Local Verordeningen (peraturan lokal)
yang dibentuk oleh pejabat berwenang di tingkat lokal seperti Gubernur, Bupati,
Wedana dan Camat.[1]
Pada
masa Hindia Belanda ini sistem pemerintahan yang dilaksanakan adalah
Sentralistik. Akan tetapi agar corak sentralistik tidak terlalu mencolok, maka
asas yang dipergunakan adalah dekonsentrasi yang dilaksanakan dengan
seluas-luasnya. Hal ini menjadikan Hindia Belanda (Indonesia) tidak memiliki
kewenangan otonom sama sekali, khususnya dalam mengatur dan mengurus urusan
rumah tangganya sendiri. Sistem ketatanegaraan seperti ini nampak dari hal-hal
sebagai berikut ; Kekuasaan
eksekutif di Hindia Belanda ada pada Gubernur Jenderal dengan kewenangan yang
sangat luas dengan dibantu oleh Raad Van Indie (Badan penasehat, Kekuasaan kehakiman ada pada Hoge
Rechshof (Mahkamah Agung), Pengawas
keuangan dilakukan oleh Algemene Reken Kamer.
Struktur
ketatanegaraan seperti ini berlangsung sampai pada masa pendudukan Jepang dan
berakhir pada masa proklamasi kemerdekaan.
Memperhatikan
susunan ketatanegaraan tersebut di atas, maka dari segi hukum tata negara,
Hindia Belanda belum dapat disebut sebagai negara. Hal ini mengingat tidak
dipenuhinya unsur-unsur untuk disebut negara, seperti mempunyai wilayah,
mempunyai rakyat, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
Memang
realitasnya ketiga unsur tersebut dapat dikatakan sudah terpenuhi. Wilayahnya
ada, rakyatnya ada, bahkan pemerintahan yang berdaulat terpenuhi. Akan tetapi
hakekat keberadaan ketiga unsur tersebut tidak muncul karena dibangun oleh
bangsa Indonesia sendiri, melainkan didasarkan pada kondisi kolonialisme yang berlangsung
pada saat itu.
Ditinjau dari unsur pemerintahan yang berdaulat,
sebenarnya Hindia Belanda tidak dapat dikatakan sebagai sebuah permintaan yang
berdaulat, karena kedaulatan Hindia Belanda ada pada Kerajaan Belanda,
sedangkan Gubernur Jenderal hanya berfungsi sebagai penyelanggara pemerintahan
umum di wilayah Hindia Belanda sebagai daerah jajahan Kerajaan Belanda.[2]
B.
Sejarah
dan Perkembangan Hukum Tata Negara Masa Kependudukan Jepang
Sejarah
menunjukkan bahwa dengan adanya Perang Asia Timur Raya atau terkenal dengan
sebutan Peran Dunia Ke II muncullah kekuatan angkatan perang yang cukup dominan
yaitu bala tentara Jepang. Dengan kekuatan inilah hampir seluruh kawasan asia
mampu diduduki oleh bala tentara Jepang, tidak terkecuali Indonesia yang pada
saat itu masih berada di bawah kolonialisme Belanda.
Dalam
sejarah perang asia timur raya, dapat digambarkan bahwa kedudukan Jepang di
Indonesia adalah Sebagai penguasa pendudukan, maka Jepang tidak dibenarkan
untuk mengubah susunan ketatanegaraan / hukum di Hindia Belanda. Hal ini
disebabkan wilayah pendudukan Jepang adalah merupakan wilayah konflik yang
menjadi medan perebutan antara bala tentara Jepang dengan Belanda. Oleh karena
itu, Jepang hanya meneruskan kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda. Namun dalam
hal ini kekuasaan tertinggi tidak lagi ada di tangan pemerintah Belanda,
melainkan diganti oleh kekuasaan bala tentara Jepang.
Jepang
berusaha mengambil simpati dari bangsa-bangsa yang ada di kawasan asia timur
raya termasuk Indonesia denga menybut dirinya sebagai Saudara tua. Dalam
sejarah Indonesia, sebutan seperti ini dilanjutkan dengan pemberian Janji
kemerdekaan kepada Indonesia dikelak kemudian hari. Janji tersebut direalisir
dengan membentuk BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) yang
kemudian melaksanakan persidangan sebanyak dua kali.
Sebelum PPKI berhasil melaksanakan sidang-sidang untuk
melanjutkan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh BPUPKI, Jepang menyerah pada
sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Pada saat itu pula
sekutu belum masuk ke wilayah Indonesia. Menurut hukum internasional, penguasa
pendudukan yang menyerah harus tetap menjaga agar wilayah pendudukan tetap
dipertahankan seperti sedia kala atau dalam konsidi status quo. [3]
Perlu
diketahui pula pada masa pendudukan bala tentara Jepang, wilayah Indonesia
dibagi menjadi tiga wilayah besar yaitu :
1.
Daerah yang meliputi Pulau Sumatera
dibawah kekuasaan Pembesar Angkatan darat Jepang dengan pusat kedudukan di
Bukittinggi.
2.
Daerah yang meliptui pulau Jawa berada
di bawah kekuasaan Angkatan darat yang berkedudukan di Jakarta.
Daerah-daerah
selebihnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut yang berkedudukan di
Makasar. Dari pembagian
wilayah ini membuktikan bahwa pada masa pendudukan Jepang paham militeristik
menjadi model bagi pengaturan sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Paham
militeristik seperti ini dipandang lebih efektif karena mampu lebih
mengedepankan jalur komando dan mampu menghimpun kekuatan yang cukup siknifikan
guna menghadap serangan musuh.
Salah
satu peraturan yang menjadi salah satu sumber hukum tata negara Republik
Indonesia sebelum Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah Undang-Undang
No.40 Osamu Seirei tahun 1942. Osamu Seirei adalah peraturan atau Undang-Undang
yang cenderung berbau otoriter/pemaksaan. Pengundangan atau pengumuman mengenai
undang-undang Osamu Seirei ini dilakukan dengan cara ditempelkan pada
papan-papan pengumuman di Kantor-kantor pemerintahan Jepang setempat.[4]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwasanya Sejarah ketatanegaraan di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa
periode, yaitu periode pra kemerdekaan dan periode pasca kemerdekaan dan
reformasi. Sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Kerajaan Belanda adalah menggunakan asas dekonsentrasi. Dan pada
masa pendudukan Jepang paham militeristik menjadi model bagi pengaturan sistem
ketatanegaraan di Indonesia.
Pada tanggal 18 Agustus 1950, UUDS 1950 dinyatakan
berlaku, UUDS 1950 ini sangat berbeda
dengan UUDS 1945 hasil proklamasi terutama sistem pemerintahan yang
parlementer, kepada pemerintahan di pimpin oleh Perdana Menteri. Dengan Dekrit
presiden 5 Juli 1959 berlakulah kembali UUD 1945. Dasar hukum Dekrit ini ialah
Saatsnoodrecht. Dibawah UUD 1945 ini untuk pertama kali dilaksanakan pemilihan
umum
Pada era reformasi usaha untuk menjadikan UUD 1945
mendorong terbentuknya negara hukum yang demokratis dan UUD 1945 belum pernah
diubah.
B. Kritik dan Saran
Sekian hasil
dari makalah kami sebagai penulis,
semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan pribadi. Saya sebagai
penulis sangat menerima bentuk pemikiran dari teman-teman baik itu berbentuk
keriting maupun saran yang pastinya bersifat membangun untuk makalah ini. Akhir
kata assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
DAFTAR PUSTAKA
Busroh, Abu Daud. 1994. Hukum Tata Negara Indonesia.
Rineka Cipta: Jakarta.
Kansil, C.S. T. 2000. Hukum Tata Negara
Republik Indonesia 1. Rineka Cipta: Jakarta.
Joeniarto. 1996. Sejarah Ketatanegaraan Republik
Indonesia. Bumi Aksara: Jakarta.
Radjab, Dasril. 1994. Hukum Tata Negara Indonesia.
Rineka Cipta: Jakarta.
Komentar
Posting Komentar