Ruang Ligkup Kompetensi Absolut Peradilan Agama Dalam Perkawinan dan Kewarisan




MAKALAH

PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

Tentang:

“ Ruang Ligkup Kompetensi Absolut Peradilan Agama Dalam Perkawinan dan Kewarisan ”


Oleh:

Kelompok 6

Hibatul Wafi              :           1630203026



Dosen Pembimbing :
Anisa, S.H, M.H.


JURUSAN HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
 FAKULTAS SYARIAH
  INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
2018


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis ucapkan kehadiran Allah SWT yang selalu senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Berkat rahmat dan karunia-Nya itu penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Ruang Ligkup Kompetensi Absolut Peradilan Agama Dalam Perkawinan dan Kewarisan ”. Makalah ini disusun sebagai salah satu bentuk penugasan yang di berikan Dosen pengampu mata kuliah Peradilan Agama Di Indonesia pada Fakultas Syariah, Jurusan Hukum Tata Negara, Institu Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.
Selesainya penulisan Makalah ini tidak lepas dari dukungan dan bimbingan berbagai pihak, oleh sebab itu penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.      Kedua orang tua penulis.
2.      Senior dan teman-teman yang telah banyak memberikan pengetahuan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
3.      Ibu/Bapak dosen yang telah memberikan pengetahuan dan arahan kepada penulis selama mengikuti proses perkuliahan Peradilan Agama Di Indonesia. Dan juga kepada pihak-pihak lain yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis berharap semoga Makalah ini bermanfaat dan memberikan wawasan bagi penulis dan pembaca. Penulis mohon maaf jika dalam penulisan Makalah ini terdapat kesalahan, baik secara teknis maupun isinya. Dalam rangka penyempurnaan isi Makalah ini, penulis mengharapkan sumbangan pemikiran para pembaca, berupa saran dan kritikan yang bersifat membangun. Akhir do’a keada Allah SWT semoga amal baik, bantuan dan bimbingan yang di berikan kepada penulis, semoga mendapat balasan yang berlipat ganda disisi-Nya. Amiin ya robbal ‘alamin.


                       Batusangkar,     Februari 2018



Text Box: I                       Penulis

BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang Masalah
          Suatu hal yang mutlak senantiasa terjadinya tidak terkecuali peradilan agama. Tidak mustahil bahwa entah di pelosok mana, masi ada hakim pengadilan agama yang merasa diri masih tetap mengadili menurut hukum syariah (umumnya menurut Mazhab Syafi'i) atau menurut kitab-kitab fiqih klasik dan bahwa yang dapat diadili nya hanyalah yang Islam, padahal tidak atau kurang disadarinya bahwa ada ketentuan hukum yang kini harus diterapkannya yang tidak diperlukan menurut ajaran fiqih itu, sebaliknya, sekalipun menurut fiqih klasik itu sesuatu perbuatan hukum sudah sah, iya kini harus menyatakan belum memadai, contohnya menurut fiqih sudah sah dan sudah sempurna sesuatu pernikahan bila telah dilakukan ijab kabul dan lain-lain syarat menurut fiqih dan tidak diperlukan sama sekali pendaftarannya, namun menurut ketentuan undang-undang ini belumlah cukup, karena di isyaratkan dilakukan di depan pegawai pencatat perkawinan.  Menurut PP  9 tahun 1975 pasal 14 yang berbunyi laki-laki  atau suami yang hendak menceraikan istrinya, jika Iya tadinya nikah menurut Islam, harus mengajukan permohonan kepada pengadilan agama.

B.   Rumusan Masalah
1.      Apa Ruang Ligkup Kompetensi Absolut Peradilan Agama Dalam Perkawinan ?
2.      Apa Ruang Ligkup Kompetensi Absolut Peradilan Agama Dalam Warisan ?

C.   Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan Apa Ruang Ligkup Kompetensi Absolut Peradilan Agama Dalam Perkawinan !
2.      Menjelaskan Apa Ruang Ligkup Kompetensi Absolut Peradilan Agama Dalam Warisan !

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ruang Ligkup Kompetensi Absolut Peradilan Agama Dalam Perkawinan
           Dekade 1970-an menempatkan gejala global terjadi di dunia hukum. Yang mungkin tidak atau kurang diketahui kalangan umum adalah kesadaran yang merata untuk merumuskan secara hukum, perubahan perubahan yang berlangsung di bidang,  hukum keluarga. Pada masa itu, seakan-akan secara serentak di banyak negara diadakan peraturan-peraturan hukum yang mencoba mengatur dan menata perubahan-perubahan rasa keadilan di bidang hukum keluarga, sekaligus menciptakan suatu pengadilan keluarga yang berdiri sendiri atau membuat suatu bagian khusus pada pengadilan umum yang menangani masalah bidang hukum keluarga. Sebagai contoh, apa yang terjadi di Belanda pada tahun 1971 dan di Australia pada 1975, Seperti telah diuraikan di BAB V buku ini.
           Begitu pula di Indonesia, yang seperti kita ketahui setelah lahir undang-undang nomor 1 atau 1974 dan peraturan pemerintah nomor 9/1975 yang mengatur hukum perkawinan, dan di dalamnya sekaligus dimantapkan suatu pengadilan keluarga untuk orang-orang yang beragama Islam sebagai kelanjutan dari peradilan agama yang telah berurat berakar selama lebih 100 tahun. Untuk itu pula kita akan mengaitkan undang-undang nomor 1 atau 1974 dan undang-undang nomor 7 atau 1989 dengan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam.
           Seperti ditulis Departemen penerangan Republik Indonesia dalam penerbitan buku undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, undang-undang perkawinan yang telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 adalah:
"... satu-satunya undang-undang perkawinan nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip serta memberikan landasan terhadap berbagai hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku serta hidup di berbagai golongan masyarakat. Negara kita berlandaskan falsafah Pancasila dan undang-undang Dasar 1945, maka undang-undang perkawinan ini telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya dan di lain pihak dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat.”
          Disamping itu, undang-undang perkawinan ini telah menampung bola unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agama dan kepercayaan serta asas-asas mengenai perkawinan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.[1]
 Semenjak terbentuknya lembaga peradilan agama secara formal di Indonesia pada tahun 1882 hingga sekarang ini belum ada hukum materiil yang konkrit dijadikan pedoman, baik oleh peradilan dalam tingkat pertama maupun dalam tingkat banding. Untuk memutuskan perkara-perkara yang dihadapinya itu para hakim diberi kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengadili sendiri dengan hukum Islam yang bersumber pada Al-qur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas.
Oleh karena itu timbul berbagai keputusan yang berbeda-beda dalam suatu masalah yang sama, Hal ini disebabkan adalah perbedaan yang bermacam-macam dalam cara berijtihad menafsirkan sumber-sumber hukum Islam dari Alquran dan hadis rasul itu serta cara menarik dan merumuskan garis-garis hukum daripadanya sepanjang dalam Alquran dan hadis itu tidak ada aturannya atau kurang lengkap tafsirannya karena memuat pokok pokoknya saja. Demikian juga dalam merealisasikan penggalian serta tafsiran dalam Alquran dan Hadis itu disamping adanya beberapa Mazhab yang dianut, sedang untuk masing-masing mazhab itu dijumpai pula perbedaan pandangan diantara ulama-ulama nya dalam suatu masalah.
Sekedar berusaha mencari keseragaman pedoman serta ketentuan hukum oleh Departemen Agama, Direktorat penelitian agama setelah mengadakan konferensi di Tretes Jawa Timur pada tanggal 25 sampai dengan 30 Juni 1955, dalam Konferensi mana telah diambil keputusan bahwa ketua ketua pengadilan agama dianjurkan agar dalam memberikan fatwa serta memberikan keputusan dalam suatu perkara mempergunakan sebagai pedoman pertimbangan hukum kitab-kitab hukum sebanyak 13 kitab fiqih. Kita-kitab itu semuanya dari Mazhab Syafi'i, kecuali kitab alfiqqyu ala al mazahib al arba'ah fiqkh menurut empat mazhab) yang ternyata kitab ini dalam praktek boleh dikatakan hampir tidak pernah dipergunakan sebagai dasar atau pedoman untuk memutuskan suatu perkara.
Kitab-kitab yang dipakai sebagai pedoman peradilan agama sebagai dasar pertimbangan hukum itu seringkali tidak merupakan formulasi hukum yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan meskipun hal itu didasarkan atas kenyataan bahwa umat Islam Indonesia sebagai besar menganut Mazhab Syafi'i, sehingga keputusan-keputusan peradilan agama itu harus didasarkan dengan kitab kitab madzhab Syafi'i, sehingga tujuan untuk adanya kesatuan hukum dalam peradilan agama tidak mudah tercapai, hal ini dikarenakan:

1.      Bahwa ulama-ulama Syafi'i sendiri berbeda pendapat, dalam beberapa hal yang walaupun tidak di prinsipil.

2.      Bilamana menggunakan kitab-kitab Syafi'iyah saja yang dijadikan pedoman akan dapat menimbulkan problema-problema baru sebagai akibat langsung dari keputusan tersebut.

Justru  karena itu meskipun sudah ada keputusan Direktorat pengadilan agama untuk mempergunakan 13 kitab fiqih sebagai anjuran, tujuan untuk adanya kesatuan dan kepastian hukum sukar dicapai. Dengan demikian dapat diartikan bahwa peradilan agama  semenjak didirikan pada tahun 1882 hingga saat ini belum mempunyai hukum materiil tersendiri yang lengkap.
Untuk mengatasi persoalan tersebut langkah pertama yang paling baik, mulai sekarang ialah, harus dirintis mengadakan penelitian atas kitab-kitab yang telah ditetapkan sebagai pedoman itu untuk dipelajari alasan-alasan serta pendapat pendapatnya yang lebih kuat dan sempurna ditinjau dari sudut hukum Islam dengan tidak mengakibatkan terganggunya situasi dan kondisi umat Islam Indonesia demi tujuan Suci untuk menciptakan kemaslahatan rakyat Indonesia pada umumnya. Hasil penelitian tersebut dibukukan dan dipakai sebagai pedoman pada lembaga peradilan agama, dengan demikian akan tercipta kodifikasi hukum Islam sebagai hukum materiil di Indonesia, dan yang paling baik lagi ialah pengadilan agama dalam setiap pertimbangan dan keputusannya selalu mendasarkan pertimbangannya kepada Nas Alquran bilamana tidak ada dalam Alquran mengemukakan hadis rasul. Baru bilamana di dalam al-quran dan hadis-hadis rasul tidak ada dasar hukumnya barulah kemudian menggunakan pendapat para ulama di dalam kitab kitab fiqih baik Sapi maupun Hanafi.
Demikian juga sebaiknya dalam mempertimbangkan hukum positif Indonesia sebagai hukum yang diperlakukan (misalnya undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan) dicarikan dasar hukum umumnya dalam Alquran tentang masalah itu, sesudah itu baru menyebutkan Pasal undang-undang itu sepanjang tentunya tidak bertentangan.
Hal ini sesuai dengan kehendak dari undang-undang perkawinan itu sendiri pasal 2 ayat 1 yang menentukan:

"Bahwa sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan."

Tetapi menjelang adanya kodifikasi hukum Islam itu hendaknya peradilan Agama dalam menerapkan hukum dari kitab-kitab yang dianjurkan terhadap suatu masalah yang dihadapi hendaklah bersifat fleksibel dan tidak kaku,  terutama terhadap suatu perkara yang mungkin dapat menimbulkan problematika hukum baru, tidak menerapkan hukumnya secara kaku dan diliputi rasa kefanatikan Pada suatu masa tertentu, dengan maksud untuk mencari kemaslahatan umat. Sehingga tidak perlu terjadi lagi keputusan-keputusan yang seperti:

1.      Keputusan Pengadilan Agama Magelang tanggal 3 Oktober 1959 nomor 339 yang dikuatkan dengan Keputusan Mahkamah Islam tinggi di sala tanggal 6 September 1960 nomor 42 tentang tidak disahkannya rujuk suami 7 tahun yang lalu dan sesudah memperoleh 3 orang anak. Alasan keputusan berdasarkan pendapat madzhab Syafi'i bahwa rujak wajib diikrarkan dengan lisan, dihadiri oleh 2 orang saksi laki-laki yang akil baligh dan Adel sebelum suami ikrar demikian ia tidak boleh mencampuri bekas istrinya, sehingga persetubuhan yang dilakukan selama ini adalah syubhat. Mengingat efek psikologis dan juga akibat-akibat lain yang lebih luas dalam berhubungan hukum seperti status anak dan lain sebagainya,  maka lebih bijaksana apabila problem tersebut diselesaikan menurut MaiHanfianafi, di mana rujak itu boleh dilaksanakan dengan perbuatan, meskipun tidak dikeluarkan secara formal sebagaimana tersebut dalam kitab al fiqqu ala al mazahib al arba'ah (fiqh menurut empat mazhab) dan salah satu kitab yang dianjurkan itu asal saja dihadiri oleh dua orang saksi laki-laki akil baligh dan adil pada saat datang kembali ke rumah bekas istrinya yang telah ditalak 1 atau talak 2 dan dalam tenggang waktu iddah.

2.      Keputusan peradilan agama Bojonegoro nomor 74 tahun 1961 mengenai Wali mujbir. Seorang wanita berumur 12 tahun yang dinikahkan oleh saudara laki-lakinya sebagai wali nikah 18 tahun yang lalu, dibatalkan oleh pengadilan agama, karena Wali tersebut bukan Wali mujbir melainkan kakak. Berdasarkan alasan, menurut pendapat kitab kitab madzhab Syafi'i tidak sah Wali menikahkan wanita kecil belum balik, kecuali Wali itu mujbir, yakni Ayah atau nenek  (datuk). Nenek artinya Bapak dari bapak menurut istilah orang Minangkabau.

3.      Pengadilan Agama Tasikmalaya 1979 manfasidkan (membatalkan) pernikahan Nyi Marpuah yang menikah 22 tahun yang lalu di desa cigunung Kecamatan Cibalong Tasikmalaya yang telah beranak dan bercucu dengan sogirin atas dasar kesaksian seorang anak yang baru berumur 10 tahun bahwa Nyi Marpuah dengan sogirin adalah satu susuan, satu perkara yang menghebohkan dan membuat banyak ibu yang menangis dan bercucuran air mata ikut memikirkan nasib rumah tangga Nyi Marpuah itu yang selama 22 tahun di bidangnya kemudian menjadi kucar kacir dan berantakan, jiwa sang ayah menjadi hancur, demikian pula sang Ibu dan anak-anaknya. Kesediaan Nyi Marpuah ini turut mengundang atau menghimbauNyoi AminMaKamal SH sebagai tokoh kowani dan juga sebagai pemimpin Pusat Wanita Islam Di Jakarta.
Dengan keputusan ini, Betapa kecewanya orang yang sudah 18 tahun dan 22 tahun lamanya hidup sebagai suami istri, apalagi sudah mempunyai anak dan cucu. Problematika itu dengan pertimbangan kemaslahatan umum atau apakah tidak dapat diselesaikan berdasarkan pendapat mazhab Hanafi yang menganggap sah perkawinan itu, sehingga tidak perlu pengadilan terpaksa membatalkan nikah yang sudah berjalan 18 dan 22 Tahun Lamanya, sebagaimana tersebut dalam al fiqqu ala al mazahib al arba'ah salah satu kitab yang dianjurkan itu.
Atau pengadilan agama sebaiknya menggunakan Al Quran surat Al Baqarah ayat 282 beserta beberapa tafsiran tentang nikah harus dilakukan di hadapan dua orang saksi saksi hidup pun harus laki-laki dewasa dan berakal serta tidak berdosa besar, dengan demikian pembuktian itu betul betul terjadi sesuai dengan kehendak Tuhan bahwa islam itu adalah agama yang rasional dan logis dan tidak meraba-raba
Perhatikan pula dalam hal ini Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 15 Maret 1979 Nomor Reg. Nomor 03 K/Ag/1979, yang membatalkan putusan talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama Sigli antara Cut Satadwnganengan Rasyidin binSulaimnan sedangkan Rasyidin bin Sulaiman sendiri telah mengucapkan ikrar jatuh talak kepada istrinya Cut Satariah di hadapan saksi-saksi di pengadilan agama Sigli setahun yang lalu tepatnya bulan April 1978.[2]

B.     Ruang Ligkup Kompetensi Absolut Peradilan Agama Dalam Kewarisan
     Pada tanggal 29 Desember 1989,  disahkan dan diundang kan lah undang-undang tentang peradilan agama nomor 7 tahun 1989 melalui lembaran negara republik indonesia tahun 1989 nomor 49. Dengan lahirnya undang-undang ini sekaligus mempertegas kedudukan dan kekuasaan bagi peradilan agama sebagai kekuasaan kehakiman sesuai dengan lembaga peradilan lainnya.
Tegasnya kedudukan peradilan agama ini jelas diungkapkan dalam konsideran undang-undang tersebut seperti dirumuskan dalam huruf c, disitu dikemukakan,

" Bahwa salah satu upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum tersebut adalah melalui pengadilan agama sebagaimana dimaksud dalam undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman”.

   Bertitik tolak dari penjelasan pasal 10 ayat 1 UU nomor 14 tahun 1970,  bahwa lingkungan peradilan agama adalah merupakan salah satu lingkungan peradilan khusus ( termasuk juga lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara)  yang berhadapan dengan lingkungan peradilan umum.
   Dengan demikian ( naga peradilan khusus)  maka keadilan agama hanya berenang mengadili "perkara tertentu dan segolongan rakyat tertentu".
   Sekarang timbul pertanyaan, perkara tertentu dan golongan rakyat tertentu yang manakah yang dimaksud?  untuk menjawab pertanyaan ini dapat dicari jawabannya dalam ketentuan yang termaksud dalam pasal 2 ayat berbunyi sebagai berikut:
"peradilan agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara-perkara tertentu dan yang diatur dalam undang-undang ini".
   Lebih lanjut yang dimaksud dengan perkara-perkara tertentu dalam pasal 2 ini kembali ditingkatkan dalam pasal 49 yang berbunyi sebagai berikut:

1.      Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuska dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang:
a.       Perkawinan
b.      Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dulu kan berdasarkan hukum islam
c.       Wakaf dan sadaqah.

2.      Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat(1) huruf a ialah  hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.

3.      Bidang jurusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah  penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris penentuan mengenai harta peninggalan penentuan bagaiian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
   Lebih lanjut dapat juga ditegaskan bahwa apabila terjadi sengketa tentang objek hak milik dan bidang keperawatan lainnya haruslah terlebih dahulu diputus oleh lingkungan Peradilan Umum, hal ini secara tegas dikemukakan dalam pasal 50 yang berbunyi sebagai berikut:
"Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keterbatasan lain dalam perkara-perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, maka kusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum".
   Kusus jangkauan kewenangan peradilan agama dalam mengadili perkara kewarisan lebih lanjut Yahya Harahap mengemukakan  :
"Dengan mengaitkan asas personalitas keislaman dengan ketentuan pasal 49 ayat (2) huruf b, di penjelasan umum angka 2 alinea kedua yang menentukan salah satu bidang perdata tertentu yang menjadi kewenangan mengadili peradilan agama, berarti asas personalitas keislaman dalam bidang perdata warisan meliputi seluruh golongan rakyat beragama islam. Dengan kata lain sengketa perkara warisan yang terjadi bagi setiap orang yang beragama islam, kewenangan mengadili tunduk dan takluk kedalam lingkungan peradilan agama bukan ke lingkungan peradilan umum”. (Yahya Harahap 1990 : 147-148).
    Namun demikian meskipun pasal 49 ayat (2) huruf b uu nomor 7 tahun 1989 seolah-olah telah menetapkan secara tegas bahwa bagi rakyat yang beragama islam lembaga peradilan yang berwenang untuk memutuskan perkara warisnya hanyalah pengadilan agama akan tetapi UU tersebut masih membuka kemungkinan tentang hak opsi (hak para ahli waris untuk memilih hukum waris mana yang mereka sukai untuk menyelesaikan perkara warisan mereka). Namun demikian apabila ditinjau dari sudut ilmu hukum perdata dan hukum itu selalu bersifat mengatur. [3]

1.      Pembagian berdasarkan putusan pengadilan.
Sebagian harta warisan berdasarkan kepada putusan pengadilan ini juga termasuk fungsi kewenangan pengadilan agama adalah menjalankan tugas eksekusi dengan syarat:
a.       Putusan yang bersangkutan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap atau terhadap putusan tersebut tidak ada lagi (atau tidak dimungkinkan lagi) untuk melakukan upaya hukum dalam bentuk banding atau kasasi. Atau bisa juga perkara yang bersangkutan diputus dalam tingkat banding atau kasasi.

b.      Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut mengandung ‘amar’ atau ‘ditukum’ bersifat ‘condemnatoir’ adapun yang dimaksud dengan amar yang bersifat condemntoir tersebut bahwa salah satu amar putusan mengandung pernyataan “menghukum para ahli waris melakukan pembagian” atau amar yang berbentuk “melaksanakan pembagian” dan hanya putusan yang seperti tersebut dapat dieksekusi melalui kewenangan pengadilan atau “ketua pengadilan”.
        Dengan demikian apabila putusan tersebut hanya bersifat “declaratoir”, maka pengadilan tidak berwenang melakukan pembagian warisan melalui tindakan eksekusi,  sekalipun putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, misalnya putusan tersebut hanya mengatakan bahwa warisan adalah aktor peninggalan si pewaris danpara ahli waris berhak untuk mewarisinya,  dalam putusan seperti ini tidak dapat dilakukan eksekusi.

2.      Pembagian berdasarkan permohonan.
Maksudnya, bahwa pengadilan agama selain melakukan pembagian berdasarkan keputusan juga dapat melakukan pembagian berdasarkan atas permohonan pertolongan dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Adapun yang menjadi dasar agar back pembagian berdasarkan permohonan pertolongan ini dapat dilakukan oleh pengadilan agama sesuai dengan ketentuan pasal 236 a HIR haruslah memenuhi syarat dan tata cara berikut:
1.      Harta warisan yang hendak dibagi di luar sengketa perkara
pengadilan
2.      Ada permohonan minta tolong dilakukan pembagian dari seluruh   ahli waris
Apabila kedua persyaratan itu telah di terpenuhi selanjutnya pengadilan agama dapat melaksanakan pembagian sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 236 a HIR. Dan seandainya permohonan minta tolong itu hanya dilakukan oleh sebagian ahli waris saja (tidak seluruhahli waris simayat) maka pengadilan agama tidak bisa melaksanakan pembagian dengan dalih berdasarkan ketentuan pasal 236 a HIR.[4]

















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
 Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya peradilan agama memiliki kewenangan atau kompetensi absolute terhadap bidang tertentu khususnya perkawinan dan ke warisan sebagai berikut;         
Sebagai bentuk kompetensi absolute  Pengadilan Agama dalam bidang perkawinan adalah seperti kita ketahui setelah lahir undang-undang nomor 1 atau 1974 dan peraturan pemerintah nomor 9/1975 yang mengatur hukum perkawinan, dan di dalamnya sekaligus dimantapkan suatu pengadilan keluarga untuk orang-orang yang beragama Islam sebagai kelanjutan dari peradilan agama yang telah berurat berakar selama lebih 100 tahun. Untuk itu pula kita akan mengaitkan undang-undang nomor 1 atau 1974 dan undang-undang nomor 7 atau 1989 dengan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam.
Sedangkan sebagai bentuk kompetensi absolute pengadilan agama dalam bidang kewarisan adalah disahkan dan diundang kan lah undang-undang tentang peradilan agama nomor 7 tahun 1989 melalui lembaran negara republik indonesia tahun 1989 nomor 49. Dengan lahirnya undang-undang ini sekaligus mempertegas kedudukan dan kekuasaan bagi peradilan agama sebagai kekuasaan kehakiman sesuai dengan lembaga peradilan lainnya.
Tegasnya kedudukan peradilan agama ini jelas diungkapkan dalam konsideran undang-undang tersebut seperti dirumuskan dalam huruf c, disitu dikemukakan.
    
B.     Kritik dan Saran
           Sekian hasil dari makalah kami, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan pribadi. Saya sebagai penulis sangat menerima bentuk pemikiran dari teman-teman baik itu berbentuk keriting maupun saran yang pastinya bersifat membangun untuk makalah ini. Akhir kata assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
DAFTAR PUSTAKA

Redaksi Sinar Grafika. 2002. Undang-Undang Peradilan Agama. Jakarta: Sinar Grafika.
Anshori, Abdul Ghofur. 2002. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Ekonosia.
K. Lubis, Suhrawardi. 1999. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Hamid, Andi Tahir. 1996. Peradilan Agama & Bidangnya. Jakarta: Sinar Grafika.
Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

















 


[1] Andi Tair Hamid, Peradilan Agama & Bidangnya, (Sinar Grafika, Jakarta, 1996), Hlm. 9-14.
[2] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Bumi Aksara, Jakarta, 1996), Hlm. 121-150.
[3] Suhrawardi K. Lubis, Hukum Waris Islam, (Sinar Grafia, Jakarta, 1996), Hlm. 14-18.
[4] Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisn Di Indonesia, (Ekonosia, Yogyakarta, 2002), Hlm. 182-184.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ta’rif dan Pembahasannya

Ilmu Bantu Dalam Hukum Pidana

Jinayah dan Jarimah