Perkawinan Terlarang
MAKALAH
FIQH MUNAKAHAT
Tentang:
“ Perkawinan Terlarang ”
Oleh:
Kelompok 3
Hibatul
Wafi : 1630203026
Dosen Pembimbing :
Amri Effendi, S.HI, MA.
JURUSAN
HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis ucapkan kehadiran Allah SWT yang
selalu senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Berkat rahmat dan
karunia-Nya itu penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “
Perkawinan Terlarang”. Makalah ini disusun sebagai salah satu bentuk
penugasan yang di berikan Dosen pengampu mata kuliah Fiqih Jinayah pada
Fakultas Syariah, Jurusan Hukum Tata Negara, Institu Agama Islam Negeri (IAIN)
Batusangkar.
Selesainya penulisan Makalah ini tidak lepas dari dukungan dan bimbingan
berbagai pihak, oleh sebab itu penulis mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1.
Kedua
orang tua penulis.
2.
Senior
dan teman-teman yang telah banyak memberikan pengetahuan dan arahan kepada
penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
3.
Ibu/Bapak
dosen yang telah memberikan pengetahuan dan arahan kepada penulis selama
mengikuti proses perkuliahan Fiqh Munakahat. Dan juga kepada pihak-pihak
lain yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis
berharap semoga Makalah ini bermanfaat dan memberikan wawasan bagi penulis dan
pembaca. Penulis mohon maaf jika dalam penulisan Makalah ini terdapat
kesalahan, baik secara teknis maupun isinya. Dalam rangka penyempurnaan isi
Makalah ini, penulis mengharapkan sumbangan pemikiran para pembaca, berupa
saran dan kritikan yang bersifat membangun. Akhir do’a keada Allah SWT semoga
amal baik, bantuan dan bimbingan yang di berikan kepada penulis, semoga
mendapat balasan yang berlipat ganda disisi-Nya. Amiin ya robbal ‘alamin.
Batusangkar, September 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Larangan perkawinan dalam
bahasa agama disebut dengan mahram.Larangan perkawinan ada dua macam
, pertama , larangan Abadi (Muabbad )
dan kedua larangan dalam waktu tertentu (muaqqad).
Larangan Abadi diatur dalam pasal 39
kompilasi hukum islam di Indonesia. Dalam hukum perkawinan yang berlaku di
Indonesia sebagian besarnya bersumber dari hukum perkawinan Islam,
seperti yang tertuang dalam KHI dan UU No.1 tahun 1974. Dalam melakukan suatu
perkawinan tersebut ada larangan-larangan tertentu untuk melakukan
perkawinan, sehingga larangan-larangan tersebut dituangkan di dalam undang-undang,
Diantara perkawinan yang terlarang itu adalah: Nikah sighar, nikah mut’ah,
nikah muhallil.
Namun walaupun telah
ditetapkan larangan perkawinan tersebut di atas, tidak menutup kemungkinan
pihak yang akan melaksanakan suatu perkawinan tidak menyadarinya, sehingga juga
di atur mengenai pencegahan perkawinan yang dilakukan sebelum terjadinya
perkawinan tersebut. Dan apabila perkawinan tersebut telah dilaksanakan, lalu
para pihak menyadari adanya larangan yang mereka langgar, maka mereka harus membatalkan
perkawinan tersebut di pengadilan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
defenisi larangan perkawinan ?
2.
Apa
saja macam-macam perkawinan larangan beserta dalilnya ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan
defenisi larangan perkawinan!
2.
Menjelaskan
macam-macam perkawinan larangan beserta dalilnya !
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Defenisi larangan
perkawinan
Secara garis besar, larangan kawin antara seorang pria
dan seorang wanita menurut Syara’ dibagi dua, halangan abadi dan halangan
sementara. Sebagaimana yang kita ketahui bila salah satu rukun dari
rukun-rukun perkawinan itu tidak terjadi maka nikahnya tidak sah. Bila yang
tidak terpenuhi itu adalah salah satu syarat dari syarat yang terdapat pada
rukun itu maka nikahnya termasuk nikah atau perkawinan yang terlarang.[1] Larangan perkawinan dalam hukum perkawinan Islam ada dua macam,
yaitu larangan selama-lamanya terinci dalam pasal 39 KHI dan larangan sementara
pasal 40 sampai pasal 44 KHI.[2] Diantaran halangan-halangan abadi ada yang
telah disepakati dan ada pula yang masih diperselisihkan. Yang telah disepakati
ada tiga, yaitu:
1.
Nasab (keturunan).
2.
Pembesanan
(karena pertalian kerabat semenda).
3.
Sesusuan.
Sedangkan yang deperselisihkan ada dua,
yaitu:
1.
Zina.
2.
Li’an.
Halangan-halangan sementara ada sembilan, yaitu:
1.
Halangan
bilangan.
2.
Halangan
mengumpulkan.
3.
Halangan
kehambaan.
4.
Halangan
kafir.
5.
Halangan
ihram.
6.
Halangan
sakit.
7.
Halangan
‘iddah (meski masih diperselisihkan segi sementaranya).
8.
Halangan
perceraian tiga kali suami ayng menceraikan.
9.
Halangan
peristrian.[3]
Larangan perkawinan dalam hukum
perkawinan Islam ada dua macam, yaitu larangan selama-lamanya terinci dalam
pasal 39 KHI dan larangan sementara pasal 40 sampai pasal 44 KHI:
Pasal 40 KHI
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita karena keadaan tertentu:
1.
Karena
wanita yang bersangkutan masih terkait satu perkawinan dengan yang pria lain.
2.
Seorang
wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
3.
Seorang
wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 41 KHI
1.
Seorang
pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan
pertalian nasab atau sesusuan dengan istrinya:
2.
Saudara
kandung, seayah atau seibu serta keturunannya.
3.
Wanita
dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan
tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalak
raj’i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42 KHI
Seorang pria melangsungkan perkawinan dengan seorangb
wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang istri yang
keempat-empatnya masih terkait tali perkawinan atau masih dalam iddah talak
raj’i ataupun salah seorang di antara mereka masih terkait tali perkawinan
sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i.
Pasal 43 KHI
(1)
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:
1.
Dengan
seorang wanita bekas istrinya ditalak tiga kali
2.
Dengan
seorang wanita bekas istrinya yang dili’an.
(2)
Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur, kalau bekas istri tadi telah
kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan
telah habis masa iddahnya.
Pasal 44 KHI
Seorang
wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam. Selain larangan perkawinan dalam waktu terentu yang disebutkan
dalam KHI dimaksud, perlu juga diungkapkan mengenai larangan perkawinan yang
tertuang dalam pasal 8, 9, dan 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal itu
diuangkapkan sebagai berikut.[4]
B.
Macam-macam
perkawinan larangan beserta dalilnya
Allah tidak membiarkan para hamba-Nya hidup tanpa aturan. Bahkan
dalam masalah pernikahan, Allah dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai pernikahan
yang dilarang dilakukan. Oleh karenanya, wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk
menjauhinya. Diantara perkawinan terlarang itu adalah:
1. Nikah
Sighar
Salah satu bentuk pernikahan yang disertai
dengan syarat yang tidak dibenarkan adalah nikah Sighar/sigyar.
Maksudnya, seorang laki-laki menikahkan anak dan saudara perempuannya (yang
menjadi tanggung jawabnya) dengan laki-laki lain agar laki-laki itu juga menikahkannya
dengan anak atau saudara perempuannya (yang berada dibawah kuasa perwaliannya).
Pernikahan ini juga menggunakan mahar.
Rasulullah SAW. Melarang pernikahan semacam
ini. Ibnu Umar berkata, Rasulullah SAW. Bersabda,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ
اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: لاَ شِغَارَ فِى
اْلاِسْلاَمِ. مسلم
“Dari Ibnu Umar,
sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Tidak ada nikah syighar
dalam Islam”.
[HR. Muslim]
Ibnu Umar berkata, bahwasanya Rasulullah SAW melarang pernikahan sigyar.
Sigyar adalah ucapan seorang laki-laki kepada laki-laki lain, “nikahkan
aku dengan anakmu atau saudara perempuanmu, maka kamu akan aku nikahkan dengan
anakku atau saudaraku tanpa harus membayar mahar”.
Pendapat Ulama Mengenai Nikah Syigar
Berdasarkan dua hadist diatas, mayoritas ulama berpendapat bahwa akad nikah
syigar hukumnya tidak sah dan ia termasuk perbuatan yang batil.
Abu Hanifah berpendapat bahwa akad nikah syigar adalah sah, tapi kedua
perempuan yang dinikahi harus mendapatkan mahar sebagaimana umumnya dari suami
mereka. Hal ini karna kedua laki-laki yang menikahi mereka telah menyebutkan
mahar yang tidak layak; pernikahan mereka dijadikan sebagai mahar pernikahan
orang yang menikahkannya dengan orang lain, begitu pula sebaliknya. Dalam hal
ini kesalahan ada pada sisi mahar, yaitu pertukaran perempuan, bukan harta. Karna
itu akad tidak menjadi rusak, seperti apabila seorang laki-laki menikah dengan
mahar arak atau daging babi. Akad yang dilakukan dengan kedua mahar itu tidak
dibatalkan, tapi laki-laki yang menikah diwajibkan untuk membayar mahar yang
sesuai.
Mengenai alasan dilarangnya nikah syigar, para ulama berbeda
penndapat.Sebagian ulama mngatakan bahwa nikah syigar dilarang karena ia
bersifat menggantung dan menahan. Dalam pernikahan seperti itu, laki-laki yang
akan menikah seolah-olah berkata,
“Pernikahanmu dengan anak perempuanku tidak sah sampai aku menikahi anak
perempuanmu”.
Sebagian lain ulama yang lain berpendapat bahwa nikah sigyar
dilarang karena didalam pelaksanaannya ada unsur persekutuan dagang dalam
kepemilikan suatu barang. Kemudian barang itu (yang tidak lain adalah perempuan
yang dinikahi) dijadikan sebagai mahar diantara mereka.
Praktik pertukaran sebagaimana diatas tidak menguntungkan bagi perempuan
yang dinikahi karena mahar pernikahan yang diberikan tidak dapat diterimanya,
tapi manfaat dari mahar itu hanya dapat dinikmati oleh laki-laki yang menjadi
wali (berupa pernikahan wali itu dengan anak, perempuan dari laki-laki yang
menikah dengan anak atau saudara perempuannya). Praktik pernikahan semacam ini
(nikah syigar) merupakan salah satu bentuk kezaliman atas diri perempuan
karena dia tidak menapatkan mahar yang seharusnya diterima. Ibnu Qayyim
berkata, kata syigar cukup populer dalam bahasa Arab.[5]
2. Nikah Mut’ah
Meski pemberitahuan dari Rasulullah SAW
tentang larangan kawin mut’ah bersifat mutawatir, akan tetapi
masih diperselisihkan tentang waktu terjadinya larangan.
Riwayat pertama menyebutkan bahwa Rasulullah
SAW melarangnya pada waktu perang Khaibar, riwayat kedua menyebutkan pada tahun
ditakhlukannya kota Mekkah, riwayat ketiga mengatakan pada tahun haji wada’,
riwayat keempat mengatakan pada tahun umrah qadha’, riwayat kelima menyebutkan
pada perang Authas.
Kebanyakan sahabat dan semua fuqaha amshar
mengharamkannya. Tetapi diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia membolehkan. Dan
pendapatnya ini diikuti pula oleh pengikutnya di Mekkah dan Yaman.
Mereka meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas ra.
Beralasan dengan firman Allah berikut ini:
۞ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ
ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita
yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan
hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari
isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka
isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.QS. an-Nisa’: 24[6]
Nikah mut’ah juga dikatakan nikah yang
memiliki batas waktu tertentu, seperti seorang laki-laki menikahi seorang
perempuan hanya satu hari, satu minggu, atau satu bulan (batas waktu tertentu).
Nikah semacam ini dikenal dengan nikah mut’ah atau kawin kontrak.
Dinamakan dengan nikah mut’ah karena tujuan laki-laki yang melakukannya
adalah untuk memanfaatkan dan menjadikan pernikahan sebagai sarana mencari
kenikmatan dan kepuasan dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau telah
disepakati.
Mengenai hukum nikah mut’ah, para ulama
sepakat atas haramnya pernikahan semacam ini. Secara tegas mereka mengatakan,
“apabila pernikahan semacam ini dilaksanaka, maka pernikahannya tidak sah”.
Sebagai dasar atas hal ini adalah sebagai berikut:
a. Bentuk pernikahan seperti ini tidak memiliki
kaitan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, baik hukum
yang berkenaan dengan pernikahan, talak, iddah, maupun waris, sehingga
pelasanaan nikah seperti ini tidak sah.
b. Ada beberapa hadits yang menerangan atas
haramnya nikah mut’ah.
i.
Subrah al-Juhni meriwayatkkan bahwa ketika dia mengikuti
peperangan penaklukan Mekah, Rasulullah SAW mengizinkannya dan sahabat yang
lain untuk melakukan nikah mut’ah. Dia berkata,
أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ, بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ
حِينَ دَخَلْنَا مَكَّةَ، ثُمَّ لَمْ
نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا
“Pada tahun Fathu Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengizinkan kami untuk melakukan mut’ah ketika kami memasuki kota Makkah.
Kemudian, tidaklah kami keluar meninggalkan kota Makkah kecuali dalam keadaan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengharamkannya untuk kami.”
(HR. Muslim no. 1406)
ii.
Dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan bahwa Rasulullah SAW.
Melarang nikah mut’ah. Beliau bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي ا سْالِْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا
“Wahai
manusia, sesungguhnya dahulu aku pernah mengizinkan kalian untuk melakukan
mut’ah atas kaum wanita. Sesungguhnya Allah telah Subhanahu wata’ala
mengharamkan mut’ah sampai hari kiamat. Barang siapa masih terikat mut’ah
dengan wanita, tinggalkanlah dia dan janganlah kalian mengambil kembali barang
yang telah diberikan”.
iii.
Ali bin Abi Thalib ra. Meriwayatkan bahwa pada saat
perang Khaibar, Rasulullah melarang umatnya untuk melakukan nikah mut’ah dan makan daging keledai.
c. Umar bin Kaththab ra. Telah
mengharamkan nikah mut’ah pada saat
beliau berkhutbah pada masa pemerintahanya. Begitu pula sabahat ra, mereka
menetapkan larangan menikah mut’ah dan sangat tidak mungkin bagi mereka untuk
menempatkan sesuatu secara tidak benar jika memang larangan itu merupakan suatu
kesalahan.
d. Khathhabi berkata, “Para
ulama mengharamkan nikah mut’ah secara ijma’, kecuali beberapa golongan
dari kaum Syi’ah. Dalam hal ini, mereka tidak mendasarkan pendapat mereka
kepada Ali bin Abi Thalib ra. Karena dia turut menegaskan penghapusan nikah mut’ah.
Baihaki meriwayatkan bahwa
Ja’far bin Muhammad pernah ditanya mengenai nikah mut’ah dan dia menjawa, “Nikah
mut’ah merupakan salah satu perzinaaan”.
e. Tujuan utama dari nikah mut’ah adalah untuk melampiaskan
hawa nafsu, bukan untuk mendapatkan keturunan dan menjaga serta mendidik mereka
yang merupakan tujuan sebenarnya dari pernikahan. Nikah mut’ah dapat disamakan dengan zina
dari sisi tujuan yaitu mencari kenikmatan, yang itu semua merugikan pihak
perempuan.
Ada juga sebagian sahabat an tabi’in yang meriwayatkan bahwa hukum nikah mut’ah adalah halal. Diantaranya
adalah Ibnu Abbas ra. Dalam Tahdzib as-Sunan disebutkan, “Ibnu Abbas
menghalalkan nikah mut’ah dalam keadaan darurat (terdesak atau terpaksa),
tapi tidak menghalalkan nya secara mutlak. Saat hampir semua orang
melakukannya, dia menarik kembali ucapannya dan mengharamkan kan nikah mut’ah bagi mereka yang tidak
benar-benar membutuhkan.[7]
3.
Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah
nikah yang dimaksud untuk menghalalkan bekas istri yang telah ditalak 3,[8] nikah muhallil/tahlil
adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang sudah dijatuhi talak tiga setelah masa iddah selesai, lalu dia
melakukan hubungan seksual dengan perempuan tersebut. Setelah itu, dia
menceraikannya, sehingga perempuan tersebut dapat menikah lagi dengan suami
sebelumnya. Hukum pernikahan semacam ini adalah haram dan termasuk dosa besar.
Disamping itu, Allah SWT. Melaknat siapapun yang melakukan nikah muhallil/tahlil.
Abu
Hurairah ra. Berkata, Rasulullah saw bersabda:
عَنْ اَبِىْ هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَعَنَ اللهُ اْلمُحَلِّلَ وَاْلمُحَلَّلَ لَهُ. رواه احمد
“dari Abi Hurairah RA: bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Allah melaknat
muhallil dan muhallala lahu (suami kedua dan pertama)”. (H.R. Ahmad).
Abdullah bin Mas’ud ra. Berkata, Rasulullah saw. Berkata, “Allah
melaknat muhallil dan muhallal lahu. HR Tirmidzi. Menurutnya, hadits ini hasan
shahih. Diantara para ulama dan sahabat Rasulullah saw. Yang berpegangan pada
hadits ini adalah Umar bin Khaththab, Ustman bin Affan, Abdulllah bin Umar, dan
sahabat yang lain. Pernyataan ini dikemukakan oleh ulama fiqh masa tabi’in.
Uqbah bin Amir ra. Berkata, Rasulullah saw. Bersabda,
“Apakah kalian mau aku beritahukan tentang hewan yang dipinjamkan?”
Para sahabat menjawab “Iya, wahai Rasulullah”.
Rasulullah. Lantas bersabda,
“Maksudnya
adalah al-muhalil. Allah SWT.melaknat muhallil dan muhallal lahu Allah”.HR
Ibnu Majah dan Hakim.
Ibnu Abbas ra. Berkata, Rasulullah SAW pernah ditanya tentang orang yang
melakukan nikah tahlil, beliau menjawab, “Tidak termasuk pernikahan,
kecuali pernikahan yang didasari oleh ketulusan (keinginan), bukan pernikahan
yang didasari oleh tipuan dan hanya mempermainkan kitab Allah swt. Sehingga
terjadi hubungan badan (antar mereka)”. HR Abu Ishak al-Jauzani.
Umar ra. Berkata, “tidak ada seorang laki-laki dan perempuan yang
menikah tahlil dihadapkan kepadaku kecuali akau akan merajamnya”. Ibnu Umar
ditanya mengenai laki-laki dan perempuan yang melakukan nikah tahlil.
Dia menjawab, “keduanya melakukan zina” HR Abu Ibnu Mudzir, Ibnu Abi
Syaibah dan Abdurrazzak.
Beberapa hadits rasulullah SAW yang sudah disebutkan diatas dapat
dipahami bahwa hukum ikah tahlil adalah haram dan akad nikah yang
dilakukan dinyatakan tidak sah meskipun tidak disebutkan secara langsung pada
saat akad nikah. Sebab, yang menjadi landasan dalam akad adalah niat dan tujuan
menikah.
Ibnu Qayyim berkata, tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama
Madinah, ahli hadits, dan ulama fiqh mengenai haramnya nikah tahlil,
baik diucapkan secara langsung pada saat akad, dengan perbuatan (bersetubuh)
ataupun hanya sebatas niat, sebab akad yang dilakukan mesti dilakukan dengan
ungkapan dan ungkapan yang keluar sebagai bentuk dari niat. Ketika seseorang
mengucapkan akad, syarat yang di niatkan sejajar dengan syarat yangdiucapkan.
Kalimat yang dicapakan bukan hanya sebatas ucapan, tetapi sebagai ungkapan atas
niat atau maksud yang ada. Karena itu , jika maksud dan tujuan sudah jelas,
maka kalimat yang diucapkan tidak menjadi suatu hal yang penting karena pada dasarnya,
kalimat atau ungkapan hanya sebatas media.
Oleh karena itu, bagaimana bisa dikatakan bahwa nikah tahlil
adalah halal sementara akad yang dilakukan hanya bertujuan untuk menghalalkan
(matan) istri agar bisa menikah lagi dengan suami sebelumnya, dengan menentukan
batas waktu tertentu dan sama sekali tidak bertujuan untuk membina hubungan
yang berkelanjutan, tidak adanya
keinginan untuk mewujudkan tujuan pernikahan seperti mendapatkan anak,
mendidiknya dan tujuan lain dari pernikahan sebagai mana yang telah ditetapkan
oleh syari’ah. Tidak mengharamkan pernikahan semacam ini, karena kerusakan dan
bahaya yang akan dirasakan oleh kedua belah piahak pasti akan terasa.
Ibnu Tauiyah berkata, Agama Allah SWT (Islam) terlalu suci dan bersih jika hanya sekedar
untuk memperbolehkan halalnya kemaluan (bersetubuh) sampai-sampai
memperbolehkan laki-laki yang tidak berkeinginan untuk menikah (sebagaimana
yang di atur dalam syariat) dan mempertahankan pernikahan. Pada dasarnya, nikah
tahlil merupakan perbuatan yang hina, bentuk lain dari perzinaan sebagai
mana yang telah disebutkan oleh sahabat Rasulullah SAW. Lantas, bagaimana
mungkin sesuatu yang kotor dinyatakan bersih? Bagaimana mungkin sesuatu yang
kotor dinilai bersih.
Seseorang yang dilapangkan
dadanya oleh Allah SWT dan diberi cahaya iman tidak akan memungkiri bahwa nikah
tahlil hukunya boleh selama tidak
diucapkan. Alasannya bahwa ketentuan suatu hukum hanya dinilai dari sisi zhair
(tampak), bukan didasarkan pada maksud dan niat yang disembunyikan. Menurut
mereka, niat ketika melakukan akad tidak memiliki konsekuensi hukum apapun.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Larangan perkawinan terdapat
beberapa halangan-halagan abadi yang telah disepakati dan ada pula yang masih
diperelisihkan yang disepakati ada tiga
diantaranya; Nasab ( keturunan ); pembesana ( kerena pertalian kerabat semenda
); sesusuan. Sedangkan yang diperselisihkan ada dua yaitu; Zina; Li’an. Salah satu bentuk pernikahan yang disertai
dengan syarat yang tidak dibenarkan adalah nikah Sighar/sigyar.
Maksudnya, seorang laki-laki menikahkan anak dan saudara perempuannya (yang
menjadi tanggung jawabnya) dengan laki-laki lain agar laki-laki itu juga
menikahkannya dengan anak atau saudara perempuannya (yang berada dibawah kuasa
perwaliannya). Pernikahan ini juga menggunakan mahar.
Riwayat pertama menyebutkan bahwa Rasulullah
SAW melarangnya pada waktu perang Khaibar, riwayat kedua menyebutkan pada tahun
ditakhlukannya kota Mekkah, riwayat ketiga mengatakan pada tahun haji wada’,
riwayat keempat mengatakan pada tahun umrah qadha’, riwayat kelima menyebutkan
pada perang Authas.
nikah muhallil/tahlil
adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang sudah dijatuhi talak tiga setelah masa iddah selesai, lalu dia
melakukan hubungan seksual dengan perempuan tersebut. Setelah itu, dia
menceraikannya, sehingga perempuan tersebut dapat menikah lagi dengan suami
sebelumnya.
B.
Kritik dan Saran
Demikianlah makalah yang dapat
penulis susun yang berjudul “Perkawinan
Larangan” dalam mata kuliah Fiqih Munakahat,
kami sebagai penyusun sangat mengharapkan masukan berupa kritik atau saran dari
pembaca demi perubahan menuju arah kesempurnaan dari makalah ini. Semoga
makalah ini berguna bagi kita semua. Akhir kata Assalamuaikum Wr. Wb.
DAFTAR
PUSTAKA
Ghozali, Abdul Rahman, 2010, Fiqh
Munakahat, Jakarta: Kencana.
Hasan, M. Ali, 1995, Masail Fiqhiyah
al-Haditsah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.hlm.
Nasiruddin, Muhammad, 2011, Fiqh Sunnah,
Jakarta: Cakrawala.
Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah
al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Fikr, t. t.
Rusyd, Ibnu, 2007, Bidayatul Mutahid Analisa Fiqh Para
Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani.
Syarifuddin, Amir, 2003, Garis-Garis Besar Fiqh,
Bogor: Kencana.
[1] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.
103.
[2] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003),
hlm. 112.
[3] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar
al-Fikr, t. t.), juz 2, hlm. 3.
[4] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 96-99.
[6] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mutahid Analisa Fiqh Para Mujtahid, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), hlm. 529-532.
[7] Muhammad Nasiruddin, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Cakrawala, 2011), hlm. 250-256.
[8] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mutahid Analisa Fiqh Para Mujtahid, op. Cit.
hlm. 531-533.
[9] Muhammad Nasiruddin, Fiqh Sunnah, op. Cit, hlm. 257-259.
Komentar
Posting Komentar