Konsep Dasar Perkawinan




MAKALAH

HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Tentang:

  Konsep Dasar Perkawinan



Oleh:

Kelompok 2

Hibatul Wafi              :           1630203026





Dosen Pembimbing :
Afrian Raus, S.Hi, M.H.




JURUSAN HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
 FAKULTAS SYARIAH
  INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
2018


KATA PENGANTAR

   Alhamdulillah, puji dan syukur penulis ucapkan kehadiran Allah SWT yang selalu senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Berkat rahmat dan karunia-Nya itu penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul Konsep Dasar Perkawinan”.
 Makalah ini disusun sebagai salah satu bentuk penugasan yang di berikan Dosen pengampu mata kuliah Hukum Perdata Islam Di Indonesia pada Fakultas Syariah, Jurusan Hukum Tata Negara, Institu Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.Selesainya penulisan Makalah ini tidak lepas dari dukungan dan bimbingan berbagai pihak, oleh sebab itu penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.      Kedua orang tua penulis.
2.      Senior dan teman-teman yang telah banyak memberikan pengetahuan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
3.      Ibu/Bapak dosen yang telah memberikan pengetahuan dan arahan kepada penulis selama mengikuti proses perkuliahan Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Dan juga kepada pihak-pihak lain yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis berharap semoga Makalah ini bermanfaat dan memberikan wawasan bagi penulis dan pembaca. Penulis mohon maaf jika dalam penulisan Makalah ini terdapat kesalahan, baik secara teknis maupun isinya. Dalam rangka penyempurnaan isi Makalah ini, penulis mengharapkan sumbangan pemikiran para pembaca, berupa saran dan kritikan yang bersifat membangun. Akhir do’a keada Allah SWT semoga amal baik, bantuan dan bimbingan yang di berikan kepada penulis, semoga mendapat balasan yang berlipat ganda disisi-Nya. Amiin ya robbal ‘alamin.


                       Batusangkar,   Maret  2018



Text Box: i                       Penulis

BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang Masalah
Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama. Dalam hal ini alam pikiran orang tidaklah mesti atau selalu ditunjukkan padahal bersetubuh antara dua orang manusia tadi.
Pada umumnya dapat dikatakan, hal bersetubuh ini merupakan faktor pendorong yang penting untuk hidup bersama tadi, baik dengan keinginan mendapat keturunan, maupun hanya untuk memenuhi syahwat belaka. Berhubung dengan akibat yang sangat penting inilah dari hidup bersama, maka masyarakat membutuhkan suatu peraturan dari hidup bersama ini, yaitu mengenai syarat-syarat untuk peresmian, pelaksanaan, kelanjutan dan terhentinya hidup bersama itu sendiri. Sebetulnya peraturan hukum perkawinan hanya meliputi pokok-pokok saja dari persoalan-persoalan yang timbul dalam hidup bersama yang dinamakan perkawinan itu.

B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana  Perihal Pengertian Perkawinan Menurut Fiqh, KHI dan UU ?
2.      Bagaimana Perihal Unsur, Rukun dan Syarat Perkawinan ?
3.      Bagaimana Perihal Asas-asas Perkawinan ?
4.      Bagaimana Perihal Mahar ?

C.   Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan Bagaimana Perihal Pengertian Perkawinan Menurut Fiqh, KHI dan UU !
2.      Menjelaskan Bagaimana Perihal Unsur, Rukun dan Syarat Perkawinan !
3.      Menjelaskan Bagaimana Perihal Asas-asas Perkawinan !
4.      Menjelaskan Bagaimana Perihal Mahar !
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Perkawinan Menurut Fiqh, KHI dan UU
Secara umum Perkawinan atau pernikahan dalam literatur Fiqh bahasa Arab disebut dengan 2 kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat di dalam Al-quran dan Hadits Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat di dalam Al-quran dengan arti kata yaitu kawin, seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 3:[1]

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(an-Nisa’ 3)

1.      Pengertian Menurut Fiqh
Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikah yang bermakna al-wathi' dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebutkan dengan al-dammu wa al-jam'u atau an al-wath' wa al'-aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. Beranjak dari mana etimologis inilah para ulama Fiqih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis. Untuk lebih jelasnya Beberapa definisi akan diuraikan di bawah ini seperti yang dijelaskan oleh Wahbah al-Zuhaily sebagai berikut.

"Akad yang membolehkan terjadinya al-istimta' persetubuhan dengan seorang wanita, atau melakukan wathi', dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau sepersusuan".

 Defenisi selain yang yang diberikan Wahbah al-Zuhaily adalah:

"Akad yang telah ditetapkan oleh syarat agar seseorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan istimta' dengan seorang wanita atau sebaliknya".

Ulama dan umat Hanafiah juga memberikan pandangan nya terhadap pernikahan:

 "nikah adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan mut'ah secara sengaja artinya kehalalan seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya perkawinan tersebut secara syar'i".

Pandangan lain juga datang dari Ulama dan umat Hanabilah yang mana memiliki pengikut besar:

“Pernikah adalah akad yang menggunakan lafadz inkah yang bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang’.

Selanjutnya al-Malibari mendefinisikan perkawinan sebagai berikut:

“Perkawinan adalah akad yang mengandung kebolehan melakukan persetubuhan yang menggunakan kata nikah atau tazwij”.

2.      Pengertian Menurut KHI
Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada pasal 2 dinyatakan bahwa nya perkawinan dalam hukum Islam adalah:

"Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah."

Kata mititsaqan ghalidhan ini ditarik dari firman Allah SWT. Yang terdapat pada Surah an-Nisa' ayat 21 yang artinya:

"Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (miitsawqan ghalidhan)".

Berkenaan dengan tujuan perkawinan tersebut dimuat dalam pasal berikutnya yang berbunyi:

"Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinahmawadahdah dan rahmah (tentram cinta dan kasih sayang)".

3.      Pengertian Menurut UU
Di dalam UU perkawinan No 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan sebagai:

"Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membantu keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai di sini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/ jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/rohani.[2]
Dengan ini teranglah, bahwa pengertian perkawinan adalah lepas dari pengertian hidup bersama dipandang dari sudut ilmu hayat (biologi). Pengertian perkawinan ditetukan oleh hukum yang ditiap-tiap negara berlaku mengenai suatu hidup bersama tertentu antara seorang perempuan dan seorang laki-laki.[3]

B.     Unsur, Rukun dan Syarat Perkawinan
1.      Unsur Perkawinan
Unsur pokok suatu Perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin, akat perkawinan itu sendiri, Wali Yang melangsungkan akad dengan sisuami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya akad perkawinan itu. Berdasarkan pendapat ini rukun perkawinan itu secara lengkap adalah sebagai berikut:
a.       Calon mempelai laki-laki, syarat-syaratnya:
1)      Beragama Islam.
2)      Laki-laki.
3)      Jelas orangnya.
4)      Dapat memberikan persetujuan.
5)      Tidak terdapat halangan perkawinan.

b.      Calon mempelai perempuan, syarat-syaratnya:
1)      Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani.
2)      Perempuan.
3)      Jelas orangnya.
4)      Dapat dimintai restu.
5)      Tidak terdapat halangan perkawinan.

c.       Wali dari mempelai perempuan yang akan mengadakan perkawinan, syarat-syaratnya:
1)      Laki-laki.
2)      Dewasa.
3)      Mempunyaui hak perwalian.
4)      Tidak terdapat halangan perwaliannya.

d.      Dua orangsyaratn syarat-syaratnya:
1)      Minimal dua orang laki-laki.
2)      Hadir dalam Ijab Kabul.
3)      Dapat mengerti maksud akad.
4)      Islam.
5)      Dewasa.
e.       Ijab yang dilakukan oleh Wali dan qabul yang dilakukan oleh suami, syarat-syarat nya:
1)      Adanya pernyataan mengawinkan dari Wali.
2)      Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai.
3)      Memakai kata-kata nikah atau Tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut.
4)      Antara Ijab dan qabul bersambungan.
5)      Antara Ijab dan qabul jelas maksudnya.
6)      Orang yang terkait dengan Ijab dan Qabul tidak sedang ihram Haji atau umroh.
7)      Majelis Ijab dan Qabul itu harus dihadiri minimum 4 orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, Wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.[4]

2.      Rukun Perkawinan
Sahnya suatu perkawinan dalam hukum Islam adalah terlaksananya akad nikah yang memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Undang-undang perkawinan pasal 2 ayat (1) menyebutkan Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Dalam KHI dijelaskannya rukun dan syarat perkawinan yang tetap merupakan perluasan dari apa yang telah diatur di dalam undang-undang. Pasal 14 KHI menyebutkan rukun Perkawinan adalah:
a.       Calon suami
b.      Calon istri
c.       Wali nikah
d.      Dua orang saksi
e.       Ijab dan Kabul

Syarat perkawinan mengikuti rukunnya sebagaimana yang dikemukan UU NtahunTahun 1974 Pasal 6 dan 7.[5]
   Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun yang tidak boleh tertinggalkan, film arti perkawinan tidak sah bila tidak ada atau tidak lengkap.
Dalam hal hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan di kalangan ulama yang berpendapat ini tidak bersifat substansial.
Ulama Hanafiyah melihat perkawinan itu dari segi ikatan yang berlaku antara pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan itu. Oleh karena itu, yang menjadi rukun perkawinan oleh golongan ini hanyalah akad nikah yang dilakukan oleh dua pihak yang melangsungkan perkawinan, Sedangkan yang lainnya seperti kehadiran saksi dan mahar dikelompokkan kepada syarat perkawinan.
Sedangkan menurut ulama Syafi'iyah yang dimaksud dengan perkawinan di sini adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan perkawinan dengan segala unsurnya, bukan hanya akad nikah itu saja. Dengan begitu rukun perkawinan itu adalah segala hal yang harus terwujud dalam suatu perkawinan.[6]


3.      Syarat Perkawinan
Syarat perkawinan mengikuti rukunnya sebagaimana yang dikemukakan Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 6 dan 7. lebih rinci syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 6
(1)   Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2)   Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)  tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3)  Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya magazine dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4)  Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari Wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5)  Dalam Halo ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, Maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu Mendengar orang orang tersebut dalam ayat (2) (3) dan (4) pasal ini.
(6)  Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7
(1)  Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2)  Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(3)  Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal (6) ayat ini.[7]
C.    Asas-asas Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan pengembangan dari hukum perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 1 Tahun1974. Prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan yang terdapat dalam KHI merupakan pengembangan dan pembaharuan dari asas-asas perkawinan yang terdapat di dalam undang-undang perkawinan. Dalam undang-undang perkawinan sebagaimana yang dikemukakan dalam penjelasan butir keempat huruf a sampai dengan f terdapat 7 asas yang berprinsip yaitu:
1.      Tujuan Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materil.
2.      Suatu Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu; dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan setiap Perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
3.      Pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan Akta Nikah, sangat jelas mendatangkan maslahat bagi tegaknya rumahtangga sejalan dengan prinsip kaidah Fiqih yaitu menolak kemudharatan lebih didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan.
4.      Asas Monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, Garena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
5.      Calon suami istri itu harus telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar supaya dapat mewujudkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik lagi sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur.
6.      Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan hal ini sejalan dengan apa yang telah ditetapkan Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah.
7.      Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam pergaulan di masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami dan istri.

Asas-asas perkawinan di dalam KHI yang merupakan perluasan dan pembaharuan dari asas-asas perkawinan yang terdapat di dalam UU No 1 Tahun 1974. Karena itu asas-asas perkawinan di dalam KHI tidak dapat lepas dari misi yang diemban oleh undang-undang perkawinan tersebut. Diantara asas-asas perkawinan yang terdapat di dalam KHI adalah:
1.      KHI menyamakan makna perkawinan dengan makna nikah, yang ini akad mistaqan ghalidhan dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pada dasarnya adanya perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan adanya Akta Nikah.
2.      KHI menentukan bahwa poligami tanpa izin pengadilan agama, perkawinan dibawah umur tanpa mendapat dispensasi pengadilan agama dan perkawinan yang dilakukan dengan paksaan dapat dibatalkan.
3.      Larangan perkawinan antara dua orang yang berbeda agamanya.
4.      Adanya harta bersama (syirkah) antara suami istri di samping adanya harta milik masing-masing.
5.      Talak dan cerai yg hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan agama. Rujuk dapat dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak bekas suami istri.[8]

D.    Mahar
1.      Prengertian Mahar
Kata "mahar" berasal dari bahasa Arab dan telah menjadi bahasa Indonesia yang yang terpakaiKaKamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itu dengan " pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah". Defenisi ini kelihatannya sesuai dengan tradisi yang berlaku di Indonesia bahwa mahal itu diserahkan ketika berlangsungnya akad nikah.
Mahar itu dalam bahasa Arab disebut dengan delapan nama, yaitu: mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba', ujr, 'uqar, dan alaiq. Keseluruhan kata tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang diterima. Ulama fiqih memberikan definisi dengan rumusan yang tidak berbeda secara substansial. Diantaranya seperti yang dikemukakan ulama Hanafiah sebagai berikut:

"harta yang diwajibkan atas suami ketika berlangsungnya akad nikah sebagai imbalan dari kenikmatan seksual yang diterimanya". (Ibnu al-Humanm, 316)

2.      Hukum Mahar
Dari definisi mahar tersebut diatas dijelaskan bahwa hukum taklifi dari mahar itu adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada istrinya itu dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada istrinya.
Dasar kewajiban yang menyerahkan mahar itu ditetapkan di dalam Al-quran dan Hadis nabi. Dalil film Ayat Alquran adalah Firman Allah dalam surat an-Nisa' ayat 4 yang berbunyi:[9]


وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.(an-Nisa’ 4)

3.      Macam dan Bentuk Mahar
   Mahar itu adalah sesuatu yang wajib diadakan Meskipun tidak dijelaskan bentuk dan harganya ada waktu akad. Dari segi dijelaskannya atau tidaknya mahar itu pada waktu akad, mahar itu ada dua macam:
Pertama: Mahar yang disebutkan bentuk, wujud atau nilainya secara jelas didalam akad, disebut mahar musamma. Inilah mahar yang umum berlaku dalam suatu perkawinan.
Kedua: Bila mahar tidak disebutkan jenis dan jumlahnya pada waktu akad, maka kewajibannya adalah membayar mahar sebesar mahar yang diterima oleh perempuan lain dalam keluarganya mahar dalam bentuk ini disebut dengan mahar mitsl. [10]
Pada umumnya mahal itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syariat Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa (melakukan sesuatu). Ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama. Mahar dalam bentuk Jasa Ini pernah dicontohkan nabi di dalam Haditsnya.[11]























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
 Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya Hukum Perdata Islam sebagai ladang pengkajian hubungan-hubungan yang terjadi antar warga negara Indonesia dalam hal ini perkawinan.
Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikah yang bermakna al-wathi' dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebutkan dengan al-dammu wa al-jam'u atau an al-wath' wa al'-aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.
Perkawinan adalah akad yang sangat kuat untuk membentuk rumah tangga bahagia dan sejahtera, yang mengakibatkan terjadinya hak dan kewajiban bagi suami dan istri serta melakasanakan nya sebagai ibadah kepada Allah SWT.
Didalam perkawinan terdapat unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan dari UU, KHI, Fiqh sebagai sumber hukum di Indonesia. Begitu pula rukun dan syarat didalam melakukan pernikahan.
Juga terdapat asas-asas yang terkandung di dalam sebuah pernikahan baik itu tersirat maupun tidak tersirat.
Didalam proses pernikahan dikenal istilah mahar, mahar sering diartikan dengan hadiah, hadiah itu bisa dalam berbagai bentuk seperti; harta, barang, bahkan jasa, sebagai mana yang rasul pernah lakukan.
    
B.     Kritik dan Saran
           Sekian hasil dari makalah kami dalam mata kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia sebagai penulis, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan pribadi. Saya sebagai penulis sangat menerima bentuk pemikiran dari teman-teman baik itu berbentuk keriting maupun saran yang pastinya bersifat membangun untuk makalah ini. Akhir kata assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

DAFTAR PUSTAKA

Elimartati. 2014. Bunga Rampai Perkawinan Di Indonesia. Batusangkar: Stain Batusangkar Press.
Nuruddin, Amiur & Azhari Akmal Taringa. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih. Jakarta: Kencana.
Prodjokoro, Wirjono. 1964. Hukum Perkawinan di IndonesiaI. Bandung: Sumur Bandung.
Syarifuddin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Undang-Undang Pokok Perkawinan. 1996. Jakarta: Bumi Aksara.




 


[1] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 35.
[2] Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari FikihI, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 38-44.
[3] Wirjono Prodjokoro, Hukum Perkawinan di IndonesiaI, (Bandung: Sumur Bandung, 1964), hlm. 8.
[4] Amir Syarifuddi, op. Cit, hlm. 61.
[5] Elimartati, Bunga Rampai Perkawinan Di Indonesia, (Batusangkar: Stain Batusangkar Press, 2014), hlm. 8.
[6] Amir Syarifuddin, op. Cit, hlm. 59-60.
[7] Undang-Undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 3-4.
[8] Elimartati, op. cit, hlm. 5-8.
[9] Amir Syarifuddin, op. cit, hlm. 84-86.
[10] Elimartati, op. cit, hlm. 12-13.
[11] Amir Syarifuddin, op. cit, hlm. 91.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ta’rif dan Pembahasannya

Ilmu Bantu Dalam Hukum Pidana

Jinayah dan Jarimah