Hubungan Antara Hukum dan Moral Dalam Islam





MAKALAH

FILSAFAT HUKUM ISLAM

Tentang:

“ Hubungan Antara Hukum dan Moral Dalam Islam ”


Oleh:

Kelompok 4


Hibatul Wafi              :           1630203026




Dosen Pembimbing :
Ashabul Fadhli, S.HI, M.HI.



JURUSAN HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
 FAKULTAS SYARIAH
  INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
2017



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis ucapkan kehadiran Allah SWT yang selalu senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Berkat rahmat dan karunia-Nya itu penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Hubungan Antara Hukum dan Moral Dalam Islam”. Makalah ini disusun sebagai salah satu bentuk penugasan yang di berikan Dosen pengampu mata kuliah Filsafat Hukum Islam pada Fakultas Syariah, Jurusan Hukum Tata Negara, Institu Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.
Selesainya penulisan Makalah ini tidak lepas dari dukungan dan bimbingan berbagai pihak, oleh sebab itu penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.      Kedua orang tua penulis.
2.      Senior dan teman-teman yang telah banyak memberikan pengetahuan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
3.      Ibu/Bapak dosen yang telah memberikan pengetahuan dan arahan kepada penulis selama mengikuti proses perkuliahan Filsafat Hukum Islam. Dan juga kepada pihak-pihak lain yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis berharap semoga Makalah ini bermanfaat dan memberikan wawasan bagi penulis dan pembaca. Penulis mohon maaf jika dalam penulisan Makalah ini terdapat kesalahan, baik secara teknis maupun isinya. Dalam rangka penyempurnaan isi Makalah ini, penulis mengharapkan sumbangan pemikiran para pembaca, berupa saran dan kritikan yang bersifat membangun. Akhir do’a keada Allah SWT semoga amal baik, bantuan dan bimbingan yang di berikan kepada penulis, semoga mendapat balasan yang berlipat ganda disisi-Nya. Amiin ya robbal ‘alamin.


                       Batusangkar,     September 2017



                       Penulis

BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang Masalah
          Hukum pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan komponen-komponennya, hukum dan agama atau hukum dan moral tidak dapat dipisahkan satu sama lainya. Berdasarkan fungsi utama Hukum Islam mengklasifikasikan tindakan yang berkenaan dengan standar mutlak baik dan buruk yang tidak dapat ditentukan secara rasional, karena Allah sendirilah yang mengetahui apa yang benar-benar baik dan buruk.
          Hukum Islam harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip moralitas seperti yang dinyatakan oleh Islam. Hukum Islam memberikan ketentuan bahwa kaidah kesusilaan tidak boleh bertentangan dengan syarat-syarat yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
          Syariah Islam adalah kode hukum dan kode moral sekaligus. Ia merupakan pola yang luas tentang tingkah laku manusia yang berasal dari otoritas kehendak Allah yang tertinggi. Sehingga garis pemisah antara hukum dan moralitas sama sekali tidak bisa ditarik secara jelas seperti pada masyarakat barat umumnya

B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana penjelasan hukum secara universal ?
2.      Bagaimana cara memahami etika dan moral dalam hukum ?
3.      Bagaimana hubungan antara hukum dan moral dalam Islam ?

C.   Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan hukum secara universal !
2.      Menjelaskan etika dan moral dalam hukum !
3.      Menjelaskan hubungan antara hukum dan moral dalam Islam !



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hukum Secara Universal
         Universal (‘alamy) berarti umum (berlaku untuk semua orang atau untuk seluruh dunia); bersifat (melingkupi) seluruh dunia. Ini berarti hukum islam itu tidak dibatasi oleh lautan manapun batasan suatu negara.
         Bukti yang menunjukan bahwa hukum islam mempunyai sifat universal atau tidak, harus dikembalikan kepada Al-Qur’an. Universal hukum islam ini dinyatakan oleh Al-Qur’an sendiri yang berbunyi:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami (Allah) mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS AL-Anbiya’: 107)[1]


وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan Kami (Allah) tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”.(QS AL-Saba’: 28)[2]

          Kedua ayat Al-Qur’an diatas menyatakan bahwa syariat yang dibawa oleh Muhammad bukanlah dikhususkan untuk orang Arab saja, namun berlaku bagi seluruh umat manusia yang ada diseluruh dunia.[3]
          Dapat kita lihat pada periode Makkah, dimana Muhammad Saw. Masih memfokuskan dakwahnya mengenai tauhid pada khususnya dan akidah pada umumnya, ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan pada waktu itu semuanya memakai kata panggilan Ya Ayyuha al-Nas (wahai manusia) kata ini untuk panggilan bagi sema manusia dan dimana saja manusia itu berada. Sebagai contoh dari firman Allah dalam surat An-Nisa’: 170 yang diturunkan di Makkah:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الرَّسُولُ بِالْحَقِّ مِنْ رَبِّكُمْ فَآمِنُوا خَيْرًا لَكُمْ ۚ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(AN-Nisa’: 170)[4]

          Namun, pada umuya mengenai hukum-hukum terutama mengenai ibadah hanya dikhususkan bagi kaum Muslimin saja, dapat dilihat dari seruanya dengan mempergunakan panggilan Ya ayyuhallazina amanu (Wahai orang-orang yang beriman) sebagaimana banyak terdapat didalam Al-Qur’an.[5]
Contoh seruan kepada segenap manusia mengenai :
1)    Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 21 yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”. (QS AL-Baqarah: 21)[6]



2)      Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 170 yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الرَّسُولُ بِالْحَقِّ مِنْ رَبِّكُمْ فَآمِنُوا خَيْرًا لَكُمْ ۚ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS AN-Nisa’: 170)[7]

B.     Etika dan Moral
Secara etimologis moral berasal dari bahasa Belanda moural, yang berarti kesusilaan, budi pekerti. Sedangkan menurut W. J. S. Poerwadarminta moral berarti “ajaran tentang baik dan buruk perbuatan dan kelakuan”. Dalam Islam moral atau yang sering kita sebut dengan etika dikenal dengan istilah akhlak. Al Ghazali dalam Ihya ulumuddin menerangkan tentang defenisi akhlak sebagai berikut:
Akhlak adalah perilaku jiwa, yang dapat dengan mudah melahirkan perbuatan-perbuatan, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Apabila perilaku tersebut mengeluarkan beberapa perbuatan baik dan terpuji, baik menurut akal maupun tuntutan agama, perilaku tersebut dinamakan akhlak yang baik. Apa bila bila perbuatan yang dikeluarkan itu jelek, maka perilaku tersebut dinamakan akhlak yang tidak terpuji.

Lebih lanjut al-Ghazali menguraikan:

Induk atau prinsip dari budi pekerti itu ada empat:
1)      Kebijakan (al-hikmah)
Maksud kebijaksanaan adalah perilaku jiwa  yang dapat menemukan kebenaran dari yang salah dalam semua berbuatan yang dikerjakan.
2)      Keberanian
Keberanian adalah kekuatan sifat amarah yang tunduk  kepada akal dalam menjalankannya.
3)      Menjaga diri
Menjaga diri adalah mendidik kekuatan syahwat dengan pendidikan akal dan syara’.
4)      Keadilan
Adil adalah perilaku jiwa yang dapat mengatur sifat amarah dan syahwat dan dapat mengarahkannya kepada yang dikendaki hikmah dan dapat menggunakannya menurut kebutuhan.
Barangsiapa dapat melaksanakan empat prinsip ini, maka akan keluarlah akhlak yang baik keseluruhannya.
Ukuran perseorangan bagi baik dan buruk, bagus dan jelek berbeda menurut perbedaan persepsi seseorang, perbedaan masa, dan perubahan keadaaan dan tempat. Namun demikian, dalam setiap masyarakat dalam suatu masa ada ukuran umum, artinya ukuran yang diakui oleh seluruh atau oleh sebagian terbesar dari anggota-anggotanya. Ukuran umum itu mungkin berbeda dari suatu masyarakat dengan masyarakat lain, akan tetapi ada pokok-pokok  tertentu yang ada persamaannya antara semua manusia dalam menilai baik dan buruk  bagi perbuatan adalah kepada kita pedomannya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Apa yang dinyatakan baik, maka itulah ukuran kebaikan bagi umat manusia, demikian pula yang buruk.[8]
Moral dan akhlak sangat penting dalam pergaulan hidup didunia ini. Oleh karena itu Allah SWT Sengaja mengutus Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnakan akhlak yang mulia sebagai mana beliau bersabda:



إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak. (HR. Bukhari, Ahmad dan Baihaqi)[9].

Landasan ajaran moral lainya:
1)      QS. Al-Qalam: 4

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al-Qalam: 4)

2)      QS. Al-Qashash: 77

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS-Qashash: 77).
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya iIhya’ Ulumuddini menyebutkan tiga puluh empat hadis yan melandasi ajaran moral ini. Di antaranya adalah:


Ketika Rasulullah ditanya oleh sahabat, “Amal apakah yang paling utama (wahai Rasulullah”), (Nabi menjawab) “akhlak yang baik”.


Wahai Rasulullah, “Imam kaum mukminin yang bagaimanakah yang paling utama itu?”, Rasulullah menjawab, “Yang paling baik budi pekertinya”.[10]

C.    Hubungan Antara Hukum dan Moral Dalam Islam
        Agama bisa dipahami sebagai hal yang hanya membicarakan masalah-masalah spiritual. Lantaran pemahan itu, antara agama dan hukum sering dianggap tidak sejalan. Hukum ada untuk memenuhi kebetuhan sosial dan karenanya mengabdi kepada masyarakat, sedangkan agama adalah untuk mengontrol masyarakat dan mengekangnya agar tidak menyimpang dari jalurnya, yaitu norma—norma etika yang ditentukan oleh agama itu sendiri. Agama menekankan moralitas, perbedaan antar benar dan salah, baik dan buruk, sedangkan hukum duniawi memfokuskan diri pada kesejahteraan material dan kurang memperhatikan nilai etika.
        Islam berbeda dari agama-agama lain, karna Islam tidak mengkhotbahkan spiritualitas yang mandul. Al-Qur’an berulang kali meyakinkan manusia bahwa semua yang berada di sorga dan di bumi di sediakan untuk mereka. Dalam Islam hukum dan agama, hukum dan moral, hukum dan yang disebut adat barat tidak dapat dipisahkan. Nilai etika inilah yang membedakannya dengan hukum barat. Oleh karena itu, ruang lingkup hukum Islam mencakup semua bentuk hubungan, baik kepada Allah maupun kesesama insan. Karena asal-usul, sifat dan tujuan, hukum Islam secara ketat diikat oleh etika agama. “Berdasarkan fungsi utama,  hukum Islam mengklasifikasikan tindakan yang berkenaan dengan standar mutlak baik dan buruk yang tidak dapat ditentukan secara rasional, karena Tuhan sendirilah yang mengetahui apa yang benar-benar baik dan buruk.
Masyarakat sering berubah dari suatu bentuk ke lain bentuk, baik secara historis maupun ideologis. Dalam masyarakat teokrasi dan totaliter, pegaturan tentang praktik sosial, dapat menjadi masalah yang menonjol dalam “tatanan politik”. Sedangkan dalam demokrasi liberal kontemporer, homoseksual yang berlangsung secara pribadi mungkin dianggap tidak terkait dengan tatanan publik. Orang-orangg Sparta menyetujui homoseksual karena mereka percaya bahwa hal itu meningkatkan keberanian dalam berperang.
Dalam masyarakat Islam, hukum bukan hanya faktor utama tapi juga faktor pokok yang memberikannya bentuk. Masyarakat islam secara ideal harus sesuai dengan kitab hukum, sehingga tidak ada perubahan sosial yang mengacaukan atau menimbulkan karakter tidak bermoral dalam masyarakat. Hukum Islam harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip moralitas seperti yang dinyatakan oleh Islam. Hukum Islam memberikan ketentuan bahwa kaidah kesusilaan tidak boleh bertentangan dengan syarat-syarat yang termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah. Dengan ini nyatalah bahwa Hukum Islam menuju kepada kesusilaan yang lebih pasti isinya dan lebih tetap mutu dan haluannya, karena Islam tidak membiarkan semuanya hanya tergantung pada masyarakat dan manusia saja.
Syari’ah Islam adalah kode hukum dan kode moral sekaligus. Ia merupakan pola yang luas tentang tingkah laku manusia yang berasal dari otoritas kehendak Allah yang tertinggi; sehingga garis pemisah antara hukum dan moralitas sama sekali tidak bisa ditarik secara jelas seperti pada masyarakat barat pada umumnya. Itulah sebabnya mengapa, misalnya, kepentingan dan signifikansi semacam itu melekat pada keputusan Ulama.
Contoh Hukum Islam lain yang sangat mengutamakan moralitas adalah dalam hukum pidana Islam. Dlam hukum pidana Islam terdapat ketentuan bahwa orang yang melakukan Zina (hubungan seksual diluar nikah) diancam dengan pidana cambuk seratus kali didepan umum (orang banyak) seperti pada ayat berikut:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.(QS. AN-Nur: 2).
Zina menurut ajaran Islam dinilai sebagai perbuatan keji dan merupakan jalan terburuk yang ditempuh manusia beradab seperti ayat berikut:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. (Surat Al-Isra': 32).

Makan riba dilarang karena merupakan kezaliman terhadap kaum lemah yang dijelaskan pada ayat:

Oval: 278يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

 

278.Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.( Al-Baqarah: 279).
Kreditur supaya memberi kelonggaran waktu (tanpa memungut bunga) kepada debitur yang mengalami kesulitan untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah dijanjikan. Jika debitur sungguh-sungguh tidak mampu lagi untuk melunasi hutangnya, kreditur supaya menyedekahnya hal ini dikatatakan pada Al-Quran:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.(QS. AL-Baqarah: 280).
Dengan norma-norma moralitas khusus, hukum Allah meletakan aturan-aturan universal bagi perbuatan manusia. Karna ada ukuran yang pasti pada moral Islam itulah, maka pergeseran pada moral masyarakat Islam mempunyai lapangan yang sangat sempit. Artinya, pertumbuhan yang menyimpang dari alur-alur yang semula dikira baik atau jelek kemudian melenceng sedemikian rupa sedikit sekali kemungkinannya.
H. A. R. Gibb menulis, Hukum Islam memiliki jangkauan paling jauh dan alat efektif dalam membentuk tatanan sosial dan kehidupan masyarakat Islam. Otoritas moral Hukum (Islam) membentuk struktur sosial Islam yang rapi da aman melalui semua fluktuasi keberuntungan politis. Hukum Islam memiliki norma-norma etika baik dan buruk, kejahatan dan kebajikan, yang masyarakat secara ideal harus menyesuaikan diri dengannya. Oleh karena itu, hukum Islam mempengaruhi semua aspek kehidupan sosial, ekonomi dan semua aspek lainnya. Dalam statemen Bergstrasser, hukum Islam merupakan ringkasan jiwa Islam yang benar, pernyataan pemikiran Islam yang paling meyakinkan, dan inti Islam.
Keadilan dalam Islam merupakan perpaduan yang menyenangkan antara hukum dan moralitas. Islam tidak bermaksud untuk menghancurkan kebebasan individu tetapi mengontrolnya demi kepentingan masyarakat yang terdiri dari individu itu sendiri, dan karenanya juga melindungi kepentingan yang sah. Hukum memainkan perannya dalam mendamaikan pribadi dengan kepentingan masyarakat dan bukan sebaliknya. Individu diperbolehkan mengembangkan hak pribadinya dengan syarat tidak mengganggu kepentingan  masyarakat. Ini mengakhiri perselisihan dan memenuhi tuntutan keadilan. Karena itu, berlaku adil berarti hidup menurut prinsip-prinsip Islam.[11]

















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
           Dari materi yang telah kami sampaikan dapat ditarik kesimpulan bahwa. Hukum memiliki sifat dan karakteristik, salah satunya adalah Universal yang secara bahasa berarti umum, sedangkan secara istilah universal adalah sifat untuk berlaku untuk siapapun, dimanapun dan kapanpun.
           Betapa Islam memperhatikan etika dan moral sehingga seluruh hukum syar’i tidak bertabrakan dengan etika dan moral. Sebagai bentuk bukti nyata bahwasanya Islam menjadikan moral dan etika sebagai bagian nya, banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskannya diantaranya Al-Qalam: 4; Al-Ahzab: 21; Ali ‘Imran: 159 dan sunnah-Sunnah.
           Etika dan moral sudah menjadi jiwa dan bagian tak terpisahkan dari Hukum (Islam), Allah mewujudkan kehidupan yang bermoral dengan mengutus Nabi Muhammad SWT sebagai penyempurna akhlak yan mulia. Sehingga seluruh Hukum Islam tidak terlepas dari tujuan menjunjung moralitas. Dengan ciri garis batas antara hukum Islam dan moral tidak bisa ditarik secara jelas.
          

B.     Kritik dan Saran
           Penulis berharab dengan adanya makalah yang penulis sajikan, semoga kaum muslim lebih mengerti bagaimana sifat hukum yang bersifat Universal,  unsur Etika dan moral,dan Hubungan antara Hukum dan Moral di dalam Islam.
           Demikianlah makalah yang dapat penulis susun yang berjudul “Hubungan antara Hukum dan Moral di Dalam Islam” dalam mata kuliah Filsafat Hukum Islam, kami sebagai penyusun sangat mengharapkan masukan berupa kritik atau saran dari pembaca demi perubahan menuju arah kesempurnaan dari makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi kita semua. Akhir kata Assalamuaikum Wr. Wb.
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1984.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wancana Ilmu, 1997.
Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Khalid, Muhammad Ma’ud, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pustaka, 1996.
Nastion, Muhammad Syukri Albani, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013.












 


[1] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1984), hlm. 508.
[2] Ibid., hlm. 688.
[3] Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 113.
[4] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. Cit. hlm. 151-152.
[5] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 42-43.
[6] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,  op. Cit. hlm. 123.
[7] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. Cit. hlm. 167.
[8] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wancana Ilmu, 1997), hlm. 145-148.
[9] Muhammad Ma’ud Khalid, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 121.
[10] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam. Op. Cit., hlm. 148.
[11] Ibid., hlm. 152-157.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ta’rif dan Pembahasannya

Ilmu Bantu Dalam Hukum Pidana

Jinayah dan Jarimah