Hubungan Antara Hukum dan Moral Dalam Islam
MAKALAH
FILSAFAT HUKUM ISLAM
Tentang:
“ Hubungan Antara Hukum dan Moral Dalam Islam ”
Oleh:
Kelompok 4
Hibatul Wafi : 1630203026
Dosen Pembimbing :
Ashabul Fadhli, S.HI, M.HI.
JURUSAN HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
BATUSANGKAR
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis ucapkan kehadiran
Allah SWT yang selalu senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Berkat
rahmat dan karunia-Nya itu penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Hubungan
Antara Hukum dan Moral Dalam Islam”. Makalah ini disusun sebagai salah
satu bentuk penugasan yang di berikan Dosen pengampu mata kuliah Filsafat Hukum
Islam pada Fakultas Syariah, Jurusan Hukum Tata Negara, Institu Agama Islam
Negeri (IAIN) Batusangkar.
Selesainya penulisan Makalah ini tidak lepas dari
dukungan dan bimbingan berbagai pihak, oleh sebab itu penulis mengucapkan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Kedua orang tua penulis.
2. Senior dan teman-teman yang telah banyak
memberikan pengetahuan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan makalah
ini.
3. Ibu/Bapak dosen yang telah memberikan
pengetahuan dan arahan kepada penulis selama mengikuti proses perkuliahan Filsafat
Hukum Islam. Dan juga kepada pihak-pihak lain yang telah membantu yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis berharap semoga Makalah ini bermanfaat dan
memberikan wawasan bagi penulis dan pembaca. Penulis mohon maaf jika dalam
penulisan Makalah ini terdapat kesalahan, baik secara teknis maupun isinya.
Dalam rangka penyempurnaan isi Makalah ini, penulis mengharapkan sumbangan
pemikiran para pembaca, berupa saran dan kritikan yang bersifat membangun.
Akhir do’a keada Allah SWT semoga amal baik, bantuan dan bimbingan yang di
berikan kepada penulis, semoga mendapat balasan yang berlipat ganda disisi-Nya.
Amiin ya robbal ‘alamin.
Batusangkar,
September 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hukum pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan
dengan komponen-komponennya, hukum dan agama atau hukum dan moral tidak dapat
dipisahkan satu sama lainya. Berdasarkan fungsi utama Hukum Islam
mengklasifikasikan tindakan yang berkenaan dengan standar mutlak baik dan buruk
yang tidak dapat ditentukan secara rasional, karena Allah sendirilah yang
mengetahui apa yang benar-benar baik dan buruk.
Hukum Islam harus berjalan
sesuai dengan prinsip-prinsip moralitas seperti yang dinyatakan oleh Islam.
Hukum Islam memberikan ketentuan bahwa kaidah kesusilaan tidak boleh
bertentangan dengan syarat-syarat yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Syariah Islam adalah kode
hukum dan kode moral sekaligus. Ia merupakan pola yang luas tentang tingkah
laku manusia yang berasal dari otoritas kehendak Allah yang tertinggi. Sehingga
garis pemisah antara hukum dan moralitas sama sekali tidak bisa ditarik secara
jelas seperti pada masyarakat barat umumnya
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana penjelasan hukum secara universal ?
2. Bagaimana cara memahami etika dan moral dalam
hukum ?
3. Bagaimana hubungan antara hukum dan moral
dalam Islam ?
C. Tujuan
Penulisan
1. Menjelaskan hukum secara universal !
2. Menjelaskan etika dan moral dalam hukum !
3. Menjelaskan hubungan antara hukum dan moral
dalam Islam !
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum Secara Universal
Universal (‘alamy)
berarti umum (berlaku untuk semua orang atau untuk seluruh dunia); bersifat
(melingkupi) seluruh dunia. Ini berarti hukum islam itu tidak dibatasi oleh
lautan manapun batasan suatu negara.
Bukti yang
menunjukan bahwa hukum islam mempunyai sifat universal atau tidak, harus
dikembalikan kepada Al-Qur’an. Universal hukum islam ini dinyatakan oleh
Al-Qur’an sendiri yang berbunyi:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami (Allah) mengutus kamu (Muhammad),
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS AL-Anbiya’: 107)[1]
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا
وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan Kami (Allah) tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat
manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”.(QS AL-Saba’: 28)[2]
Kedua ayat
Al-Qur’an diatas menyatakan bahwa syariat yang dibawa oleh Muhammad bukanlah
dikhususkan untuk orang Arab saja, namun berlaku bagi seluruh umat manusia yang
ada diseluruh dunia.[3]
Dapat kita
lihat pada periode Makkah, dimana Muhammad Saw. Masih memfokuskan dakwahnya
mengenai tauhid pada khususnya dan akidah pada umumnya, ayat-ayat Al-Qur’an
yang diturunkan pada waktu itu semuanya memakai kata panggilan Ya Ayyuha
al-Nas (wahai manusia) kata ini untuk panggilan bagi sema manusia dan
dimana saja manusia itu berada. Sebagai contoh dari firman Allah dalam surat
An-Nisa’: 170 yang diturunkan di Makkah:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الرَّسُولُ
بِالْحَقِّ مِنْ رَبِّكُمْ فَآمِنُوا خَيْرًا لَكُمْ ۚ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ
لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul
(Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka
berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka
kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di
langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(AN-Nisa’: 170)[4]
Namun, pada umuya mengenai hukum-hukum
terutama mengenai ibadah hanya dikhususkan bagi kaum Muslimin saja, dapat
dilihat dari seruanya dengan mempergunakan panggilan Ya ayyuhallazina
amanu (Wahai orang-orang yang beriman) sebagaimana banyak terdapat
didalam Al-Qur’an.[5]
Contoh seruan kepada segenap manusia mengenai :
1)
Firman Allah SWT
dalam surat Al-Baqarah ayat 21 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai manusia,
sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar
kamu bertakwa”. (QS AL-Baqarah: 21)[6]
2) Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 170
yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الرَّسُولُ بِالْحَقِّ مِنْ رَبِّكُمْ
فَآمِنُوا خَيْرًا لَكُمْ ۚ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul
(Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka
berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka
kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di
langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS AN-Nisa’: 170)[7]
B.
Etika dan Moral
Secara etimologis moral berasal dari bahasa Belanda moural,
yang berarti kesusilaan, budi pekerti. Sedangkan menurut W. J. S.
Poerwadarminta moral berarti “ajaran tentang baik dan buruk perbuatan dan
kelakuan”. Dalam Islam moral atau yang sering kita sebut dengan etika dikenal
dengan istilah akhlak. Al Ghazali dalam Ihya ulumuddin menerangkan
tentang defenisi akhlak sebagai berikut:
Akhlak adalah perilaku jiwa, yang dapat dengan mudah melahirkan
perbuatan-perbuatan, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Apabila
perilaku tersebut mengeluarkan beberapa perbuatan baik dan terpuji, baik
menurut akal maupun tuntutan agama, perilaku tersebut dinamakan akhlak yang
baik. Apa bila bila perbuatan yang dikeluarkan itu jelek, maka perilaku
tersebut dinamakan akhlak yang tidak terpuji.
Lebih lanjut al-Ghazali menguraikan:
Induk atau prinsip dari budi pekerti itu ada
empat:
1) Kebijakan (al-hikmah)
Maksud kebijaksanaan adalah perilaku jiwa yang dapat menemukan kebenaran dari yang
salah dalam semua berbuatan yang dikerjakan.
2) Keberanian
Keberanian adalah kekuatan sifat amarah yang tunduk kepada akal dalam menjalankannya.
3) Menjaga diri
Menjaga diri adalah mendidik kekuatan syahwat dengan
pendidikan akal dan syara’.
4) Keadilan
Adil adalah perilaku jiwa yang dapat mengatur sifat
amarah dan syahwat dan dapat mengarahkannya kepada yang dikendaki hikmah dan
dapat menggunakannya menurut kebutuhan.
Barangsiapa dapat melaksanakan empat prinsip ini, maka akan keluarlah
akhlak yang baik keseluruhannya.
Ukuran perseorangan bagi baik dan buruk, bagus dan jelek berbeda menurut
perbedaan persepsi seseorang, perbedaan masa, dan perubahan keadaaan dan
tempat. Namun demikian, dalam setiap masyarakat dalam suatu masa ada ukuran
umum, artinya ukuran yang diakui oleh seluruh atau oleh sebagian terbesar dari
anggota-anggotanya. Ukuran umum itu mungkin berbeda dari suatu masyarakat
dengan masyarakat lain, akan tetapi ada pokok-pokok tertentu yang ada persamaannya antara semua
manusia dalam menilai baik dan buruk
bagi perbuatan adalah kepada kita pedomannya, yaitu Al-Qur’an dan
Sunnah. Apa yang dinyatakan baik, maka itulah ukuran kebaikan bagi umat
manusia, demikian pula yang buruk.[8]
Moral dan akhlak sangat penting dalam pergaulan hidup didunia ini. Oleh
karena itu Allah SWT Sengaja mengutus Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia sebagai mana beliau bersabda:
إِنَّمَا
بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan
akhlak.” (HR. Bukhari, Ahmad dan Baihaqi)[9].
Landasan ajaran moral lainya:
1) QS. Al-Qalam: 4
وَإِنَّكَ
لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS. Al-Qalam: 4)
2) QS. Al-Qashash: 77
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ
نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا
تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan”. (QS-Qashash: 77).
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya iIhya’ Ulumuddini menyebutkan tiga puluh
empat hadis yan melandasi ajaran moral ini. Di antaranya adalah:
Ketika Rasulullah ditanya oleh sahabat, “Amal apakah yang
paling utama (wahai Rasulullah”), (Nabi menjawab) “akhlak yang baik”.
Wahai Rasulullah, “Imam kaum mukminin yang bagaimanakah
yang paling utama itu?”, Rasulullah menjawab, “Yang paling baik budi
pekertinya”.[10]
C.
Hubungan Antara Hukum dan Moral Dalam Islam
Agama bisa dipahami
sebagai hal yang hanya membicarakan masalah-masalah spiritual. Lantaran pemahan
itu, antara agama dan hukum sering dianggap tidak sejalan. Hukum ada untuk
memenuhi kebetuhan sosial dan karenanya mengabdi kepada masyarakat, sedangkan
agama adalah untuk mengontrol masyarakat dan mengekangnya agar tidak menyimpang
dari jalurnya, yaitu norma—norma etika yang ditentukan oleh agama itu sendiri.
Agama menekankan moralitas, perbedaan antar benar dan salah, baik dan buruk,
sedangkan hukum duniawi memfokuskan diri pada kesejahteraan material dan kurang
memperhatikan nilai etika.
Islam berbeda dari agama-agama lain, karna Islam tidak
mengkhotbahkan spiritualitas yang mandul. Al-Qur’an berulang kali meyakinkan
manusia bahwa semua yang berada di sorga dan di bumi di sediakan untuk mereka.
Dalam Islam hukum dan agama, hukum dan moral, hukum dan yang disebut adat barat
tidak dapat dipisahkan. Nilai etika inilah yang membedakannya dengan hukum
barat. Oleh karena itu, ruang lingkup hukum Islam mencakup semua bentuk
hubungan, baik kepada Allah maupun kesesama insan. Karena asal-usul, sifat dan
tujuan, hukum Islam secara ketat diikat oleh etika agama. “Berdasarkan fungsi
utama, hukum Islam mengklasifikasikan
tindakan yang berkenaan dengan standar mutlak baik dan buruk yang tidak dapat
ditentukan secara rasional, karena Tuhan sendirilah yang mengetahui apa yang
benar-benar baik dan buruk.
Masyarakat sering berubah dari
suatu bentuk ke lain bentuk, baik secara historis maupun ideologis. Dalam
masyarakat teokrasi dan totaliter, pegaturan tentang praktik sosial, dapat
menjadi masalah yang menonjol dalam “tatanan politik”. Sedangkan dalam
demokrasi liberal kontemporer, homoseksual yang berlangsung secara pribadi
mungkin dianggap tidak terkait dengan tatanan publik. Orang-orangg Sparta
menyetujui homoseksual karena mereka percaya bahwa hal itu meningkatkan
keberanian dalam berperang.
Dalam masyarakat Islam, hukum
bukan hanya faktor utama tapi juga faktor pokok yang memberikannya bentuk.
Masyarakat islam secara ideal harus sesuai dengan kitab hukum, sehingga tidak
ada perubahan sosial yang mengacaukan atau menimbulkan karakter tidak bermoral
dalam masyarakat. Hukum Islam harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip
moralitas seperti yang dinyatakan oleh Islam. Hukum Islam memberikan ketentuan
bahwa kaidah kesusilaan tidak boleh bertentangan dengan syarat-syarat yang
termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah. Dengan ini nyatalah bahwa Hukum Islam
menuju kepada kesusilaan yang lebih pasti isinya dan lebih tetap mutu dan
haluannya, karena Islam tidak membiarkan semuanya hanya tergantung pada
masyarakat dan manusia saja.
Syari’ah Islam adalah kode
hukum dan kode moral sekaligus. Ia merupakan pola yang luas tentang tingkah
laku manusia yang berasal dari otoritas kehendak Allah yang tertinggi; sehingga
garis pemisah antara hukum dan moralitas sama sekali tidak bisa ditarik secara
jelas seperti pada masyarakat barat pada umumnya. Itulah sebabnya mengapa,
misalnya, kepentingan dan signifikansi semacam itu melekat pada keputusan
Ulama.
Contoh Hukum Islam lain yang
sangat mengutamakan moralitas adalah dalam hukum pidana Islam. Dlam hukum
pidana Islam terdapat ketentuan bahwa orang yang melakukan Zina (hubungan
seksual diluar nikah) diancam dengan pidana cambuk seratus kali didepan umum
(orang banyak) seperti pada ayat berikut:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ
جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا
طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.(QS. AN-Nur: 2).
Zina menurut ajaran Islam
dinilai sebagai perbuatan keji dan merupakan jalan terburuk yang ditempuh
manusia beradab seperti ayat berikut:
وَلَا تَقْرَبُوا
الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. (Surat Al-Isra': 32).
Makan riba dilarang karena merupakan kezaliman terhadap kaum lemah yang dijelaskan pada ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ
الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ
وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا
تُظْلَمُونَ
278. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman”.
279. “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya”.( Al-Baqarah: 279).
Kreditur supaya memberi kelonggaran waktu (tanpa memungut
bunga) kepada debitur yang mengalami kesulitan untuk membayar kembali utangnya
pada waktu yang telah dijanjikan. Jika debitur sungguh-sungguh tidak mampu lagi
untuk melunasi hutangnya, kreditur supaya menyedekahnya hal ini dikatatakan
pada Al-Quran:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا
خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang yang berhutang itu)
dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui”.(QS. AL-Baqarah: 280).
Dengan norma-norma moralitas khusus, hukum Allah
meletakan aturan-aturan universal bagi perbuatan manusia. Karna ada ukuran yang
pasti pada moral Islam itulah, maka pergeseran pada moral masyarakat Islam
mempunyai lapangan yang sangat sempit. Artinya, pertumbuhan yang menyimpang
dari alur-alur yang semula dikira baik atau jelek kemudian melenceng sedemikian
rupa sedikit sekali kemungkinannya.
H. A. R. Gibb menulis, Hukum
Islam memiliki jangkauan paling jauh dan alat efektif dalam membentuk tatanan
sosial dan kehidupan masyarakat Islam. Otoritas moral Hukum (Islam) membentuk
struktur sosial Islam yang rapi da aman melalui semua fluktuasi keberuntungan
politis. Hukum Islam memiliki norma-norma etika baik dan buruk, kejahatan dan
kebajikan, yang masyarakat secara ideal harus menyesuaikan diri dengannya. Oleh
karena itu, hukum Islam mempengaruhi semua aspek kehidupan sosial, ekonomi dan
semua aspek lainnya. Dalam statemen Bergstrasser, hukum Islam merupakan
ringkasan jiwa Islam yang benar, pernyataan pemikiran Islam yang paling
meyakinkan, dan inti Islam.
Keadilan dalam Islam merupakan
perpaduan yang menyenangkan antara hukum dan moralitas. Islam tidak bermaksud
untuk menghancurkan kebebasan individu tetapi mengontrolnya demi kepentingan
masyarakat yang terdiri dari individu itu sendiri, dan karenanya juga
melindungi kepentingan yang sah. Hukum memainkan perannya dalam mendamaikan
pribadi dengan kepentingan masyarakat dan bukan sebaliknya. Individu diperbolehkan
mengembangkan hak pribadinya dengan syarat tidak mengganggu kepentingan masyarakat. Ini mengakhiri perselisihan dan
memenuhi tuntutan keadilan. Karena itu, berlaku adil berarti hidup menurut
prinsip-prinsip Islam.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
materi yang telah kami sampaikan dapat ditarik kesimpulan bahwa. Hukum memiliki
sifat dan karakteristik, salah satunya adalah Universal yang secara
bahasa berarti umum, sedangkan secara istilah universal adalah sifat untuk
berlaku untuk siapapun, dimanapun dan kapanpun.
Betapa Islam memperhatikan etika dan moral sehingga
seluruh hukum syar’i tidak bertabrakan dengan etika dan moral. Sebagai bentuk
bukti nyata bahwasanya Islam menjadikan moral dan etika sebagai bagian nya,
banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskannya diantaranya Al-Qalam: 4; Al-Ahzab: 21; Ali ‘Imran: 159 dan
sunnah-Sunnah.
Etika dan moral sudah menjadi jiwa dan bagian tak
terpisahkan dari Hukum (Islam), Allah mewujudkan kehidupan yang bermoral dengan
mengutus Nabi Muhammad SWT sebagai penyempurna akhlak yan mulia. Sehingga
seluruh Hukum Islam tidak terlepas dari tujuan menjunjung moralitas. Dengan
ciri garis batas antara hukum Islam dan moral tidak bisa ditarik secara jelas.
B.
Kritik dan Saran
Penulis berharab dengan adanya makalah yang
penulis sajikan, semoga kaum muslim lebih mengerti bagaimana sifat hukum yang
bersifat Universal, unsur Etika
dan moral,dan Hubungan antara Hukum dan Moral di dalam Islam.
Demikianlah
makalah yang dapat penulis susun yang berjudul “Hubungan antara Hukum dan Moral di Dalam Islam” dalam mata kuliah Filsafat Hukum Islam, kami sebagai
penyusun sangat mengharapkan masukan berupa kritik atau saran dari pembaca demi
perubahan menuju arah kesempurnaan dari makalah ini. Semoga makalah ini berguna
bagi kita semua. Akhir kata Assalamuaikum Wr. Wb.
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:
Departemen Agama RI, 1984.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta:
Logos Wancana Ilmu, 1997.
Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, Jakarta:
Bumi Aksara, 1992.
Khalid, Muhammad Ma’ud, Filsafat Hukum Islam,
Bandung: Pustaka, 1996.
Nastion, Muhammad Syukri Albani, Filsafat Hukum Islam,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013.
[1] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama RI,
1984), hlm. 508.
[2] Ibid., hlm. 688.
[3] Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1992), hlm. 113.
[5] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 42-43.
[6] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. Cit. hlm. 123.
[7] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. Cit. hlm. 167.
[8] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wancana
Ilmu, 1997), hlm. 145-148.
[9] Muhammad
Ma’ud Khalid, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996),
hlm. 121.
[10] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam. Op. Cit., hlm. 148.
[11] Ibid., hlm. 152-157.
Komentar
Posting Komentar