Kedudukan Peradilan Militer Dalam Struktur Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia


MAKALAH

PERADILAN DI INDONESIA

Tentang:

“Kedudukan Peradilan Militer Dalam Struktur Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia”


Oleh:

Kelompok 7


Hibatul Wafi : 1630203026


Dosen Pembimbing :
Hidayati Fitri, S.Ag, M.Hum.


JURUSAN HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
 FAKULTAS SYARIAH
  INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
2018


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Sebagaimana yang kita ketahui peradilan adalah salah satu urusan di dalam rumah tangga negara yang penting. Bagaimanpun baiknya segala peraturan hukum yang diciptakan di dalam suatu negara, guna menjamin kesejahteraan umum. 
Peradilan militer merupakan satu dari beberapa bagian dalam sistem peradilan di Indonesia. Pada tanggal 15 Oktober 1997 telah diundangkan Undang-Undang No 31 tahun 1997 tentang peradilan militer, undang-undang tersebut secara substansi mengatur tentang susunan dan kekuasaan pengadilan yang oditurat, hukum acara pidana militer dan hukum tata usaha militer.
Secara sederhana pengadilan militer adalah peradilan yang di kususkan bagi perkara-perkara militer, baik dalam urusan tata usaha militer dan hubungan antara para anggota, dengan tujuan tidak terbebasnya secara bebas penggunaan hak kekuasaan para anggota.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah peradilan militer ?
2. Apa saja dasar peradilan militer ?
3. Bagaimana kedudukan dan susunan peradilan militer ?
4. Apa  saja asas-asas peradilan militer ?
5. Apa saja kompetensi peradilan militer ?

C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan bagaimana sejarah peradilan militer !
2. Menjelaskan apa saja dasar hukum peradilan militer !
3. Menjelaskan bagaimana kedudukan dan susunan militer !
4. Menjelaskan apa saja asas-asas peradilan militer !
5. Menjelaskan bagaimana kompetensi peradilan militer !

BAB II
PEMBAHASAN

Sejarah Peradilan Militer

Pada masa penjajahan belanda dan jepang peradilan militer sudah di bentuk sedemikian rupa. Oleh penguasa militer belanda baik di jawa maupun di luar jawa di adakan mahkamah militer (Temporaire Krijgsraad) yang di berikan wewenang juga memeriksa kejahatan yang di lakukan oleh mereka yang bukuan militer dan bukan termasuk  bangsa indonesia apabila ancaman pidana lebih dari 15 tahun. Peradilan militer Belanda di kenal dengan nama ‘ Krijgsraad’ dan ‘Hoog Militair Gerechtshof’, hal ini sebagaimana tercantum dalam bepalingen Betreffende de rechtsmaacht Van De militaire rechter in nederlands Indie, S. 1934 No. 173 dan De Provisionele Instructie Voor Het Hoog Militair Gerechtshof Van Nederlands Indie, S.1992 No. 163.
Peradilan ini ruang lingkupnya meliputi pidana materil yang anggotanya terdiri dari anggota angkatan darat Belanda di Indonesia (Hindia Belanda) yaitu KNIL dan Angkatan Laut Belanda. Untuk diketahui, Angkatan Laut ini merupakan bagian integral dari Angkatan Laut kerajaan Belanda (Koninklijke Marine), sedangkan KNIL merupakan organisasi tersendiri dalam arti terlepas dari tentatara kerajaan Belanda (Koninklijke Leger). Atas dasar ini maka KNIL diperiksa dan diadili oleh Krijgsraad untuk tingkat pertama dan Hoog Militair Gerechtshop pada tingkat banding, sedangkan anggota angkatan laut diperiksa dan diadili oleh Zee Krijraad dan Hoog Militair Gerecht Shoof.
Krijgsraad terdapat di kota, Cimahi, Padang, dan Makassar dengan wilayah meliputi:
Cimahi      : Jawa Madura, Palembang, Bangka, Belitung, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kalimantan, Bali, Lombok.
Padang     : Sumbar, Tapanuli, Aceh dan Sumatera Timur
Makassar : Sulawesi, Maluku dan Timor.
Krijsraad memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat pertama terhadap anggota militer dengan pangkat Kapten ke bawah dan orang-orang sipil yang bekerja di militer. Sedangkan Hoog Militair Gerecht shoof merupakan pengadilan militer instansi kedua (banding) serta mengadili pada tingkat pertama untuk Kapten ke atas dan yang tertinggi di Hindia Belanda serta berkedudukan di Jakarta.
Pada masa pendudukan Balatentara Jepang pada tanggal 2 maret 1942, berdasarkan Osamu Gunrei No. 2 tahun 1942, membentuk Gunritukaigi (peradilan militer) untuk mengadili perkara-perkara pelanggaran undang-undang militer Jepang. Pengadilan militer ini bertugas mengadili perbuatan-perbuatan yang bersifat mengganggu, menghalang-halangi dan melawan balatentara Jepang dengan pidana terberat hukuman mati.
Gunritukaigi dikepalai oleh Sirei Kan (pembesar Balatentara Jepang), yang beranggotakan :
Sinbankan ; hakim yang memberikan putusan.
Yosinkan ; hakim yang memeriksa perkara sebelum persidangan.
Kensatakun ; Jaksa.
Rokusi ; Panitera.
Keiza ; Penjaga terdakwa.

Masa Awal Kemerdekaan (1945-1950)
Pada tanggal 5 Oktober 1945 Angkatan Perang RI dibentuk tanpa diikuti pembentukan Peradilan Militer.
Peradilan Militer baru dibentuk setelah dikeluarkannya Undag-undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Peraturan mengadakan Pengadilan Tentara disamping pengadilan biasa, pada tanggal 8 Juni 1946, kurang lebih 8 bulan setelah lahirnya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dalam masa kekosongan hukum ini, diterapkan hukum disiplin militer dan bersamaan dengan ini pula dikeluarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1946 tentang Hukum Acara Pidana guna peradila Tentara.
Dengan dikeluarkannya kedua undang-undang diatas, maka peraturan-peraturan di bidang peradilan militer yang ada pada zaman sebelum proklamasi, secara formil dan materil tidak diperlakukan lagi.
Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1946 Penradilan tentara di bagi menjadi 2 (dua) tingkat, yaitu :
Mahkamah Tentara
Mahkamah Tentara Agung.
Peradilan Tentara berwenang mengadili perkara pidana yang merupakan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh :
Prajurit Tentara (AD) Republik Indonesia, Angkatan laut dan Angkatan Udara
Orang yang oleh presiden dengan PP ditetapkan sama dengan prajurit
Orang yang tidak termasuk golongan (a) dan (b) tetapi berhubungan dengan kepentingan ketentaraan. 
Mahkamah Tentara merupakan pengadilan tingkat pertama yang berwenang mengadili perkara dengan tersangka prajurit berpangkat Kapten ke bawah.
Mahkamah Tentara Agung, pada tingkat pertama dan terakhir untuk perkara :
Terdakwanya serendah-rendahnya berpangkat Mayor
Seorang yang jika dituntut di pengadilan biasa diputus oleh PT atau MA
Perselisihan kewenangan antara Mahkamah-mahkamah tentara
Mahkamah Tentara Agung pada tingkat kedua dan terakhir, mengadili perkara yang telah diputus oleh mahkamah tentara. Persidangan di pisahkan menjadi dua yakni persidangan untuk perkara kejahatan dan perkara pelanggaran.
Pada tahun 1948 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1948, yang mengubah beberapa ketentuan susunan, kedudukan dan daerah hukum yang telah diatur sebelumnya. Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1948 ini mengatur peradilan tentara dengan susunan :
Mahkamah Tentara
Mahkamah Tentara Tinggi
Mahkamah Tentara Agung

Masa Berlakunya UUDS 1950 (1950-1959)
Ketentuan yang telah ada pada masa RIS tetap berlaku kecuali yang tidak sesuai dengan tujuan negara kesatuan. Daerah hukum Mahkamah Tentara mengalami perubahan (penambahan dan pengurangan) seperti:
Jakarta, tambah Kab. Kep. Riau (Tanjung Pinang)
Surabaya, tambah Kediri
 Medan, dikurangi Kab. Kep. Riau tapi ditambah dengan Tapanuli
Padang, dikurangi Tapanuli dan ditambah Kampar (Pekanbaru)
Kalimantan
Pengadilan Tinggi Tentara dipindah dari Jakarta ke Surabaya.
Pada periode 1950-1959 di negar kita terjadi keadaan darurat, sebagai dampak dari politik federalisme kontra unitarisme. Seperti pemberontakan Andi azis di Makassar, Peristiwa APPRA di Bandung, RMS di Maluku, peristiwa DI/TII di Jabar, Jateng, Aceh dan Sulawesi Selatan serta peristiwa yang tidak kalah besar ialah peristiwa PRRI/Permesta di Sumtera dan Sulawesi.
Berangkat dari kondisi diatas, dan demi untuk tetap menegakkan hukum di lingkungan militer, maka di bentuklah Peradilan Militer Khusus seperti;
Mahkamah Tentara Luar Biasa : Putusan mahkamah ini tidak dapat di mintakan banding
Mahkamah Angkatan Darat/Udara pertempuran : Putusan mahkamah ini merupakan tingkat pertama dan terakhir.

Peradilan Militer 1997 – Sekarang
Pada tahun 1997 diundangkan UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer. Undang-undang ini lahir sebagai jawaban atas perlunya pembaruan aturan peradilan militer, mengingat aturan sebelumnya dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Undang-undang ini kemudian mengatur susunan peradilan militer yang terdiri dari :
Pengadilan Militer
Pengadilan Militer Tinggi
Pengadilan Militer Utama
Pengadilan Militer Pertempuran.

     Dengan diundangkannya ketentuan ini, maka Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang susunan dan kekuasaan pengadilan atau kejaksaan dalam lingkungan peradilan ketentaraan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 22 PNPS Tahun 1965 dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian halnya dengan Undang-undang Nomor 6 tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada pengadilan tentara, sebagaimana telah di ubah dengan UUndang-undang Nomor 1 Drt tahun 1958 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Dasar Hukum Peradilan Militer
    Satu landasan hukum yang cukup penting dalam memberikan hukuman kepada militer yang melakukan pelanggaran dapat dilihat dalam UU Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit. Dalam UU tersebut Komandan adalah atasan yang oleh atau atas dasar UU tersebut diberi kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada setiap Prajurit TNI yang berada di bawah wewenang komandonya apabila Prajurit TNI tersebut melakukan pelanggaran hukum disiplin, diantaranya adalah:

Undang-Undang Nomor 39  Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara/Militer (KUHPM).
Undang-Undang Nomor 8  Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Surat Keputusan bersama Menhankam dan Menteri Kehakiman No.  KEP/ 10/M/XII/1983 M.57.PR.09.03.th.1983  tanggal 29 Desember 1983 tentang Tim Tetap Penyidikan Perkara Pidana Koneksitas.
Keputusan Pangab Nomor : KEP/01/P/I/1984 tanggal 20 Januari 1985 lampiran “K” tentang organisasi dan prosedur Badan Pembinaan Hukum ABRI.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.14/1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kedudukan dan Susunan Peradilan Militer

     Peradilan militer berkedudukan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan TNI untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memerhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara. Hal itu dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Peradilan militer dilakukan di lingkungan pengadilan militer, pengadilan militer tinggi, pengadilan militer utama, dan pengadilan militer pertempuran. Kedudukan pengadilan militer utama ada di buku kota negara Indonesia dan memiliki daerah hukum seluruh wilayah Indonesia. Peradilan militer mempunyai wewenang memeriksa dan memutus perkara pidana terhadap kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota militer.

     Berdasarkan UU No : 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, susunan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer terdiri dari :

Pengadilan Militer.
Mengadili pada tingkat pertama perkara pidana yang   dilakukan oleh militer/prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah.

Pengadilan Militer Tinggi.
Mengadili pada tingkat pertama perkara pidana yang dilakukan oleh militer/prajurit berpangkat Mayor ke atas dan Mengadili pada tingkat pertama dalam perkara sengketa Tata Usaha Militer.

Pengadilan Militer Utama.
Mengadili pada tingkat banding perkara pidana yang diputus oleh Pengadilan Militer Tinggi pada tingkat pertama yang dimintakan banding dan Mengadili pada tingkat banding perkara sengketa Tata Usaha Militer yang diputus oleh Pengadilan Militer Tinggi pada tingkat pertama yang dimintakan banding.

Pengadilan Militer Pertempuran.
Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang terjadi di medan pertempuran. Maksud dari tingkat pertama dan terakhir adalah bahwa dalam perkara tersebut tidak ada upaya hukum banding dan hanya ada kasasi  ke MA. Pengadilan Militer Pertempuran dibentuk apabila diperlukan dan sifat-nya mobil/bergerak/mengikuti jalannya pertempuran, sehingga dilaksanakan secara cepat. Pengadilan Militer Pertempuran dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) dan ditindaklanjuti dengan Keputusan Panglima TNI (hingga  sekarang belum ada).

Mahkamah Militer Luar Biasa.
Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang ditentukan oleh Presiden. Dalam hal ini tidak ditentukan subyek dari tindak pidana tersebut, apakah itu militer atau sipil namun ditentukan langsung oleh Presiden. Pelaksanaan Mahmillub melalui Keputusan Presiden (Keppres). Adapun fungsi dari Mahmillub adalah untuk mempercepat proses penyelesaian perkara. Terhadap putusan Mahmillub  tidak ada banding yang ada adalah kasasi. 

Asas-asas Peradilan Militer
     Tidak berbeda dengan peradilan pada umunya, Asas-Asas Penting juga dianut peradilan militer, diantaranya:
Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Ini adalah merupakan penjabaran dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman khususnya Pasal 5 ayat (2).

Praduga Tak Bersalah
Terdapat dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggp tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Asas Oportunitas
Menurut Z. Abidin “Asass hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah menunjukan delik demi kepentingan umum.”

Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum
KUHAP mengatur asas ini dalam Pasal 153 ayat (3) dan (4) menyatakan :“Untuk keperluan pemeriksaan Hakim Ketua sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan dan terdakwanya anak-anak.”

Semua Orang Diperlakukan Sama Didepan Hukum
Asas ini dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, yaitu : “Penngadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”

Peradilan Dilakukan oleh Hakim karena Jabatannya dan Tetap
Ini berarti bahwa keputusan diambil oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap.

Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
KUHAP mwngatur tentang bantuak hukum tersebut dalam Pasal 69 sampai Pasal 74 dimana tersangka/terdakwa mendapat kebebasan yang antara lain :
Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditahan atau ditangkap.
Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.
Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkatan pemeriksaan pada setiap waktu.
Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik atau penuntut umum kecuali untuk delik yang menyangkut keamanan Negara.
Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan.
Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima dari dan kepada tersangka/terdakwa.

Asas Inkusator dan Akusator
Dalam Asas Inkusator, tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan, posisis tersangka tidak sejajar melainkan berada dibawah pemeriksaan sehingga dalam pemeriksaan pendahuluan yang dianut dalam asas ini lebih mengutamakan pengakun dari tersangka. Namun dalam Pasal 184 KUHAP dan Pasal 172 hukum acara peradlan militer mengganti pengakuan tersangka dengan keterangan tersangka, sehingga Asas Inkusator ditinggalkan dan diganti Asas Akusator yang menempatkan tersangka sejajar dengan pemeriksaan.

Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan
Pemeriksaan disidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi.
      Ini lah yang membedakan peradilan militer dengan peradilan lainya, diatas, asas-asas di atas hukum acara peradilan militer memberlakukan pula asas sebagai berikut:
Asas Kessatuan Komando
Dalam hukum acara pidanan militer tidak dikenal adanya pra peradilan dan pra penuntutan.

Asas Komandan Bertanggung Jawab Terhadap Anak Buahnya
Dalam tata kehidupan dan cirri-ciri organisasi mliter, komandan berfungsi sebagai pimpinan, guru, bapak, dan pelatih, sehingga komandan bertanggung jawab penuh terhadap anak buahnya.

Asas Kepentingan Militer
Dalam hukum peradilan militer, ada keseimbangan antara kepentingan militer dengan kepentingan hukum.

Kompetensi Peradilan Militer
Pengadilan Militer
Pengadilan militer memeriksa dan memutus perkara pidana pada tingkat pertama yang terdakwanya  :
Prajurit berpangkat kapten kebawah.
Mereka yang dipersamakan / anggota golongan yang dipersamakan termasuk tingkat kapten kebawah.
Mereka yang atas keputusan mahkamah agung harus diadili di pengadilan militer.

Pengadilan militer tinggi
Pada tingkat pertama:
Memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya.
Prajurit atau salah satu prajurit berpangkat mayor ke atas.
 Mereka yang dipersamakan dengan tingkat kepangkatan mator keatas.
Mereka yang berdasarkan keputusan mahkamah agung, harus diadili dipengadilan militer.

Pada tingkat kedua
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha ini:
Memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang telah diputus oleh pengadilan militer.
Memutus pada tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar pengadilan militer dalam daerah hukumannya.

Pengadilan militer utama 
Memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa tata usaha tni yang telah diputus pada tingkat pertama oleh pengadilan militer yang dimintakan banding.
Memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa wewenang mengadili:
antar pengadilan yang berkedudukan didaerah hukum pengadilan militer tinggi yang berlainan.
antar pengadilan militer tinggi.
antar pengadilan tinggi dan pengadilan militer 
Memutus perbedaan pendapat antara pepera dengan oditur tentang diajukan tidaknya perkara kepengadilan. 
Melakukan pengawasan terhadap:
penyelenggaraan pengadilan militer (pengadilan / tinggi / pertempuran).
tingkah laku dan perbuatan.
meneruskan perkara kepada mahkamah agung yang dimohonkan kasasi atau peninjauan kembali.

Pengadilan militer pertempuran.
Memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan yustisia bel peradilan militer didaerah pertempuran.

Bersifat mobil dan berdaerah hukum di daerah pertempuran.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari pemaparan materi makalah diatas yang berjudul “Kedudukan peradilan militer dalam struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia” dapat ditarik simpulan. Ada lima tahapan di dalam sejarah peradilan militer di indonesia yaitu; masa pendudukan belanda dan jepang, masa awal kemerdekaan (1945-1950), masa berlakunya uuds (1950-1959), dan peradilan militer (1997 – sekarang).
Peradilan militer memiliki dasar hukum yang disertai tahapan keberadaanya, dasar hukum yang dinilai paling mendasari peradilan militer adalah UU Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit.
Kedudukan peradilan militer iadalah  sebagai lembaga peradilan bagi anggota satuan TNI dan selingkupanya ayang diciptakan dengan tujuan pemisahan peradilan sehingga dapat dilakukan dengan seksama. Peradilan militer memilki susunan peradilan yang cukup jauh berbeda dengan peradilan umum lainya.
Tidak berbeda dengan peradilan pada umunya, Asas-Asas Penting juga dianut peradilan militer, diantaranyal; Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan, Praduga Tak Bersalah, Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum, Semua Orang Diperlakukan Sama Didepan Hukum, Peradilan Dilakukan oleh Hakim karena Jabatannya dan Tetap, Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum, Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan.
Masing-masing dari susunan tersebut memiliki kompetensi dan fungsinya masing-masing sebagai mana yang telah diuraikan di atas.

B.  Kritik dan Saran
Sekian hasil dari makalah kami yang berjudul “Kedudukan Peradilan Militer Dalam Struktur Peradilan Di Indonesia”. kami sebagai penulis sekaligus penyusun sangat menerima berbagai sumbangan pemikiran dari pembaca baik berupa kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata Assalamu’alaikum wr. Wb.



DAFTAR PUSTAKA

Hersoebeno. Pemeriksaan Permulaan Dalam Sistem Peradilan Militer. Jakarta: Perguruan Tinggi Hukum Militer. 1994.
Mertokusumo, Sudikno. Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya Di Indonesia Sejak 1942. Yogyakarta: Liberty. 1970.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Sejarah Hukum. Bandung:  Alumni. 1983.
Seno Adji, Oemar. Peradilan Bebas dan Contempt Of Court. Jakarta: Diadit Media. 2007.
Loqman, Loebby. Pra Peradilan Di Indonesia. Jakarta: Ghalia. 1984.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ta’rif dan Pembahasannya

Jinayah dan Jarimah

Ilmu Bantu Dalam Hukum Pidana