Kekuasaan Kehakiman Oleh Mahkamah Agung Menurut Undang-Undang Dasar 1945

Kekuasaan Kehakiman oleh Mahkamah Agung Menurut UUD 1945

     Keberadaan kekuasaan kehakiman tidak dapat dilepaskan dari teori klasik tentang pemisahan kekuasaan, dalam mana legislatif, eksekutif dan yudisial berada di tangan tiga organ yang berbeda. Tujuan diadakannya pemisahan kekuasaan ini adalah untuk mencegah jangan sampai kekuasaan pemerintah dalam arti kekuasaan eksekutif dilakukan secara sewenang-wenang, yang tidak menghormati hak-hak yang diperintah.
     Pada taraf itu ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of power). Ajaran pemisahan kekuasaan oleh oleh Emmanuel Kant disebut sebagai doktrin Trias Politica (Tri = tiga, As = poros (pu sat), Politica = kekuasaan) atau tiga pusat/poros kekuasaan negara sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Lois. 
     Menurut E. Utrecht, teori trias politika dari Montesquieu tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh negara-negara modern dewasa ini, karena paling tidak ada 2 (dua) keberatan terhadap teori ini:
Ajaran pemisahan kekuasaan dari trias politika membawa akibat tidak adanya pengawasan yang dapat dilakukan terhadap Ketiga lembaga negara yang dikenal di dalamnya, hal mana menyebabkan Ketiga lembaga negara tersebut dapat bertindak sewenang-wenang, dan ini jelas bertentangan dengan tujuan dari teori trias politika itu sendiri; 
     Hampir semua negara modern saat ini mempunyai tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya (welfare staat), untuk ini tidak memungkinkan lagi diadakan pemisahan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negaranya. Karena tujuannya itu, maka Pemerintah suatu “welfare staat”, disamping memiliki kekuasaan eksekutif juga harus mempunyai kekuasaan-kekuasaan lainnya. 
     Menurut Muhammad Yamin Ketiga konstitusi Indonesia yang pernah berlaku, yaitu UUD 1945, KRIS 1949, dan UUDS 1950, selalu disusun atas ajaran trias politika, sehingga pembagian atas tiga cabang kekuasaan berlaku. 
     Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) menegaskan bahwa Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 
     Kewenangan Mahkamah Agung diatur didalam Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang. Kewenangan tersebut tercantum di dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yakni Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi.
     Selanjutnya kewajiban Mahkamah Agung diatur didalam Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Pertama) yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi. 
     Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang Ketua Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden.  
Keanggotaan Mahkamah Agung terdiri dari hakim agung (paling banyak 60 orang). Hakim agung dapat berasal dari sistem karier (hakim) dan non karier. Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk kemudian mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. 
     Tap MPR X Tahun 1998 menetapkan kekuasaan kehakiman bebas dan terpisah dari kekuasaan eksekutif, kebijakan satu atap kemudian diatur dan dijabarkan dalam UU Nomor 35/1999 tentang Perubahan UU Nomor 14/1970, dan telah dicabut serta dinyatakan tidak berlaku oleh UU Nomor 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun tentang MA diatur dalam UU Nomor 5/2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14/1985. Selanjutnya, Keppres Nomor 21/2004 tentang Pelaksanaan Pengalihan Urusan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Lembaga Peradilan dari Depkeh ke MA. 
     Mahkamah Agung (MA) merupakan puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan Kehakiman itu seperti ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Banyak yang menafsirkan bahwa dalam perkataan merdeka dan terlepas dari ‘pengaruh’ kekuasaan pemerintah itu, terkandung pengertian yang bersifat fungsional dan sekaligus institusional. Tetapi, ada yang hanya membatasi pengertian perkataan itu secara fungsional saja, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah itu tidak boleh melakukan intervensi yang bersifat atau yang patut dapat diduga akan mempengaruhi jalannya proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian perkara yang dihadapi oleh Hakim. Karena itu penjelasan kedua pasal itu mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung, langsung dikaitkan dengan jaminan mengenai kedudukan para Hakim. Maksudnya ialah agar para Hakim dapat bekerja profesional dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah, kedudukannya haruslah dijamin dalam undang-undang. 
     Karena itu, kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu haruslah dipahami dalam konteks kemerdekaan para Hakim dalam menjalankan tugasnya. Karena itu, menurut pandangan ini, kedudukan para Hakim yang merdeka itu tidak mutlak harus diwujudkan dalam bentuk pelembagaan yang tersendiri. Jalan pikiran demikian inilah yang berlaku selama ini, sehingga tidak pernah terbayangkan bahwa kekuasaan Mahkamah Agung dapat dikembangkan dalam satu atap kekuasaan kehakiman yang mandiri secara institusional. Celakanya, praktek yang terjadi sejak Indonesia merdeka sampai berakhirnya era Orde Baru cenderung menunjukkan bahwa proses peradilan di lingkungan lembaga-lembaga pengadilan di seluruh tanah air juga seringkali justru dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah. Akibatnya, kekuasaan kehakiman kita bukan saja tidak merdeka secara institusional administratif, tetapi juga secara fungsional-prosesual dalam proses penyelesaian perkara keadilan. 
     Sebagai badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung (MA) merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam melaksakan tugasnya terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain serta melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ta’rif dan Pembahasannya

Ilmu Bantu Dalam Hukum Pidana

Jinayah dan Jarimah